Agresi Israel sejak 7 Oktober tahun lalu telah memaksa lebih dari 90 persen penduduk Gaza meninggalkan rumah mereka. Hal tersebut menyebabkan mereka terpaksa tinggal berdesakan di pengungsian sementara, di tengah tumpukan sampah dan puing-puing.
Pada Agustus saja, UNRWA mengatakan bahwa Israel telah mengeluarkan 12 perintah evakuasi yang berdampak bagi sekitar 250.000 orang di Gaza. Banyaknya perintah evakuasi tersebut menimbulkan pertanyaan di kalangan warga Gaza, “Kemana lagi kami harus pergi ?”. Seringkali Israel mengeluarkan perintah evakuasi dengan dalih agar mereka berpindah ke zona aman, namun istilah “zona aman” nyatanya merupakan bualan Israel semata.
Blokade Gaza dan agresi Israel selama 10 bulan telah menjadikan Gaza sebagai wilayah yang tidak layak huni. Sebuah laporan dari organisasi perdamaian yang berbasis di Belanda, PAX for Peace, berjudul “Perang dan Sampah di Gaza,” mengungkapkan adanya krisis pengelolaan limbah di wilayah tersebut.
Laporan tersebut mencatat bahwa ada setidaknya terdapat 225 lokasi pengumpulan sampah dengan berbagai ukuran di Jalur Gaza. Namun demikian, operasi militer Israel telah merusak kendaraan pengangkut sampah dan menghalangi akses ke area pembuangan.
Akibatnya, ratusan ribu ton sampah padat menumpuk di jalan-jalan dan ladang. Menurut perkiraan UNRWA, sekitar 330.000 ton sampah padat telah menumpuk di seluruh Gaza. Jika digambarkan, jumlah tersebut cukup untuk mengisi lebih dari 150 lapangan sepak bola.
Laporan tersebut juga memperingatkan bahwa situasi ini merupakan ancaman tersembunyi bagi pengungsi Palestina, dengan menambahkan bahwa suhu yang tinggi, infrastruktur kesehatan yang rusak, kerawanan pangan, dan kurangnya pelayanan medis, turut memperburuk kondisi tersebut.
Pada Juni, UNICEF memperingatkan bahwa penyakit mematikan akan segera merebak di Jalur Gaza, karena masyarakat di sana harus hidup berdampingan dengan tumpukan sampah dan limbah mentah. Kekhawatiran akan wabah penyakit meningkat ketika beberapa bagian garis pantai Mediterania Gaza mulai berubah warna menjadi coklat. Hal tersebut meningkatkan kekhawatiran di kalangan para ahli kesehatan mengenai penyebaran limbah yang tidak diolah dan potensi wabah penyakit di wilayah tersebut.
Bukan sebuah ramalan, namun sebuah keniscayaan bahwa wabah penyakit akan muncul jika melihat kondisi di Gaza pada hari-hari ini. Pada Juli, kasus polio pertama ditemukan di Deir al-Balah, yang diderita oleh seorang anak berusia 10 bulan yang tidak divaksin. Poliomielitis, salah satu wabah penyakit mematikan, kini muncul kembali di Gaza. Kementerian Kesehatan Gaza berkoordinasi dengan UNICEF mendeteksi bahwa komponen virus polio tipe 2 ditemukan di wilayah Gaza yang terkepung.
PBB menyatakan bahwa terdeteksinya virus penyebab polio dalam air limbah merupakan ancaman kesehatan serius yang membuat ribuan penduduk berisiko tertular polio. Sampel virus tersebut dilaporkan ditemukan dalam limbah yang terkumpul dan mengalir di antara tenda-tenda pengungsian. Selain itu, persediaan air minum yang sudah langka di Jalur Gaza yang padat penduduk juga berisiko terkontaminasi virus tersebut. Peningkatan serangan militer Israel terhadap sumur air, sanitasi, dan pengolahan limbah, serta penghalangan pasokan kebersihan penting ke Jalur Gaza, dilaporkan telah menciptakan kondisi yang mendukung penyebaran penyakit ini.
Anak-anak Gaza: Target Utama Virus Polio
Dilahirkan di tengah agresi Israel, Abdul Rahman Abu al-Jidyan yang berusia 10 bulan mulai merangkak lebih awal. Namun suatu hari, dia terdiam kaku, kaki kirinya tampak lumpuh.
“Abdul Rahman adalah bayi yang energik,” kata ibunya, Nevine Abu al-Jidyan, sambil menahan air mata. “Tiba-tiba, semuanya berubah. Tiba-tiba, dia berhenti merangkak, berhenti bergerak, berhenti berdiri, dan berhenti duduk.”
Anak tersebut merupakan penderita kasus polio pertama yang terkonfirmasi di Gaza dalam 25 tahun terakhir, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Polio (poliomielitis) merupakan penyakit yang sangat menular yang disebabkan oleh virus dan mudah menyerang anak-anak di bawah usia 5 tahun. Satu dari 200 infeksi dapat menyebabkan kelumpuhan yang tidak dapat disembuhkan. Di antara mereka yang mengalami kelumpuhan, 5–10% meninggal karena otot pernapasan mereka tidak dapat berfungsi.
Penyakit ini menyerang sistem saraf dan dapat menyebabkan kelumpuhan total dalam hitungan jam. Virus ini ditularkan dari orang ke orang, terutama melalui jalur fekal-oral atau melalui media umum seperti air atau makanan yang terkontaminasi dan berkembang biak di usus.
Gejala awal polio meliputi demam, kelelahan, sakit kepala, muntah, leher kaku, dan nyeri pada tungkai. Meskipun polio terutama menyerang anak-anak di bawah usia 5 tahun, nyatanya siapa pun dari segala usia yang belum divaksinasi dapat tertular penyakit ini.
Keluarga Abdul Rahman yang terdiri dari 10 orang meninggalkan rumah mereka di kota Beit Lahiya, Gaza utara. Mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya hingga akhirnya menetap di sebuah tenda di kota Deir al-Balah di pusat Gaza.
“Anak saya tidak divaksin karena kami mengungsi terus-menerus,” kata ibunya. “Kami berlindung di tenda ini dengan kondisi kesehatan yang sangat buruk, tanpa obat, tanpa fasilitas, tanpa suplemen.”
Sebelum agresi dimulai, cakupan imunisasi di Gaza sangat tinggi yaitu mencapai sekitar 99 persen. Namun, kini cakupan tersebut menurun menjadi sekitar 86–87 persen. Kelompok yang paling terdampak adalah anak-anak di bawah usia satu tahun, yang merupakan kelompok termuda.
Ibu dari delapan anak tersebut mengatakan bahwa dia “terkejut” mengetahui bahwa anaknya terkena polio. WHO mengatakan bahwa ada setidaknya dua anak lainnya yang mengalami kelumpuhan yang dilaporkan di Jalur Gaza, dan sampel tinja mereka telah dikirim ke laboratorium di Yordania.
Dr. Hamid Jafari, salah satu direktur pemberantas polio di Yordania menuturkan, “mengingat lamanya gangguan layanan imunisasi, tidak mengherankan bahwa dari tiga kasus kelumpuhan akut yang telah diselidiki, dua sampel yang diuji di laboratorium virus polio nasional di Yordania, terdeteksi mengandung virus polio tipe dua”, terangnya dalam salah satu acara talkshow mengenai keamanan dan kesehatan Global yang membahas tentang polio di Gaza yang diselenggarakan oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS).
Ia menjelaskan bahwa gangguan imunisasi pada kelompok usia termuda telah menyebabkan terdeteksinya virus polio pada anak Gaza yang berusia 10 bulan. Di sisi lain, upaya untuk memulihkan dan meningkatkan imunisasi rutin sedang dilakukan. Namun, berdasarkan pengalamannya di banyak tempat, ia menambahkan bahwa setidaknya dua kampanye vaksinasi skala besar dengan vaksin polio oral tipe dua yang baru harus dilakukan dan mencapai cakupan yang sangat tinggi untuk menghentikan penularan.
“Saya berharap dia bisa kembali seperti saudara-saudaranya, duduk dan bergerak,” ungkap Nevine Abu Al-Jidyan seraya memandang anak bungsunya yang terbaring diam di car seat yang diubah fungsinya menjadi tempat tidur bayi, sementara tujuh anaknya yang lain berkumpul di sekelilingnya.
Kasus Baru setelah 25 Tahun Gaza Terbebas dari Polio
Polio telah diberantas dan hilang dari wilayah Gaza sejak 25 tahun yang lalu. Pencapaian ini secara terbuka dipuji oleh Ted Tulchinsky, yang menjabat sebagai Koordinator Kesehatan di Tepi Barat dan Jalur Gaza dalam Kementerian Kesehatan Israel dari tahun 1978 hingga 1994.
Kesaksiannya penting karena selama masa jabatannya, Tulchinsky mengawasi departemen kesehatan pemerintahan militer yang didirikan Israel di Tepi Barat dan Jalur Gaza sejak tahun 1967.
Tulchinsky menceritakan bahwa pada 1978, Israel berkonsultasi dengan Natan Goldblum dan Joseph Melnick, dua ahli epidemiologi terkemuka dari Universitas Baylor, untuk mengembangkan strategi anti-polio yang lebih efektif. Mereka merekomendasikan untuk menambahkan tiga dosis tambahan dari jenis vaksin yang berbeda, di samping empat dosis yang biasanya diberikan kepada bayi selama tahun pertama mereka. Strategi ini pertama kali diterapkan di Jalur Gaza dan terbukti sangat efektif sehingga penyakit polio berhasil diberantas dari wilayah tersebut dalam waktu yang relatif singkat.
Meskipun Tulchinsky tidak menyebutkannya secara eksplisit, ada kemungkinan bahwa seperti dalam banyak kasus lainnya, Jalur Gaza berfungsi sebagai laboratorium untuk metode baru Israel. Sistem vaksinasi Goldblum-Melnick ini, yang menurut Tulchinsky dijuluki sebagai sistem Gaza, kemudian diterapkan di Israel untuk mengendalikan wabah polio di sana pada 1988. “Sebagai hasil dari episode ini,” tulis Tulchinsky, “Israel mengadopsi sistem Gaza, dan pemberantasan total polio dengan cepat tercapai.”
Tidak jelas bagaimana polio bisa muncul kembali di Jalur Gaza, tetapi yang dapat dipastikan adalah bagaimana penyakit ini menyebar. Israel secara sistematis telah menghancurkan infrastruktur kesehatan, sanitasi, pengolahan air, dan listrik di Jalur Gaza, terutama sejak Oktober 2023, yang menyebabkan runtuhnya sistem yang sudah rapuh.
Air yang terkontaminasi, limbah yang tidak diolah, dan sampah yang tidak diangkut, ditambah dengan kepadatan penduduk yang tinggi akibat kampanye genosida dan pemindahan paksa warga sipil oleh Israel, menciptakan kondisi ideal untuk penyebaran penyakit ini.
Mengutip pernyataan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres, yang berbicara pada Desember lalu, “Warga Gaza dipaksa bergerak seperti pinball manusia, terpental di antara bagian selatan yang semakin menyempit, tanpa akses terhadap kebutuhan dasar untuk bertahan hidup. Kondisi di tempat penampungan sangat penuh sesak dan tidak higienis. Orang-orang harus merawat luka terbuka mereka sendiri. Ratusan orang antre berjam-jam hanya untuk menggunakan satu kamar mandi atau toilet, dan mereka mengenakan pakaian yang belum mereka ganti selama dua bulan.”
Vaksin Sebenarnya: Menghentikan Agresi Israel
Berbagai seruan untuk menghentikan agresi di Gaza sudah diteriakan oleh para pejabat kesehatan. Josep Borrell, salah satu pejabat tinggi PBB, menyerukan untuk gencatan senjata tiga hari segera di Gaza untuk memungkinkan anak-anak menerima vaksin virus polio.
Dalam akun X (Twitter) ia menulis “Penyebaran cepat polio mengancam semua anak di Gaza yang sudah lemah akibat pengungsian, kekurangan, dan malnutrisi.” Borrell mendesak gencatan senjata kemanusiaan selama 3 hari segera untuk memungkinkan vaksinasi oleh WHO dan UNICEF.
Pada Ahad (25/8) kemarin, 1,26 juta dosis vaksin polio OVP2 beserta 500 alat pendingin vaksin tiba di Gaza. Vaksinasi akan dilakukan oleh 708 tim, termasuk di rumah sakit, rumah sakit lapangan, dan pusat perawatan kesehatan primer di setiap kotamadya di Jalur Gaza. Sekitar 2.700 petugas kesehatan, termasuk tim mobilisasi dan pekerja penjangkau komunitas, akan mendukung pelaksanaan dua putaran kampanye vaksinasi ini.
Upaya ini juga akan didukung oleh kampanye peningkatan kesadaran untuk mengurangi risiko infeksi polio. Menurut UNICEF, setidaknya 95 persen anak-anak di Gaza perlu menerima kedua dosis vaksin untuk mencegah penyebaran penyakit dan mengurangi risiko kemunculannya kembali, mengingat sistem kesehatan, air, dan sanitasi yang sangat terganggu di Jalur Gaza.
Ia juga menambahkan bahwa kampanye vaksinasi, yang direncanakan akan diselesaikan dalam dua atau tiga putaran, awalnya diharapkan dimulai pada akhir Agustus. Namun, hal itu tidak mungkin dilakukan di tengah pertempuran, serangan udara, dan kondisi jalan yang tidak aman.
Oleh sebab itu, Hamas dan Israel telah sepakat untuk memberlakukan jeda kemanusiaan selama tiga hari di tiga wilayah Gaza dalam pertempuran di Jalur Gaza guna memungkinkan vaksinasi sekitar 640.000 anak terhadap polio.
Rik Peeperkorn, pejabat senior Organisasi Kesehatan Dunia untuk wilayah tersebut menjelaskan bahwa operasi vaksinasi akan dimulai di Gaza tengah selama jeda pertempuran tiga hari, kemudian berlanjut ke Gaza selatan dengan jeda serupa, dan terakhir ke Gaza utara. Peeperkorn menambahkan bahwa ada kesepakatan untuk memperpanjang jeda kemanusiaan di setiap zona hingga hari keempat jika diperlukan.
Namun, sejak awal Israel memang bertujuan untuk membuat Gaza menjadi tempat yang tidak layak huni. Dalam 10 bulan agresi genosida di Gaza, dunia telah menyaksikan 1001 cara Israel dalam menghapus eksistensi warga Palestina, termasuk dalam lingkup kesehatan di Gaza.
Israel telah menghalangi masuknya bahan bakar, vaksin, pasokan medis, dan air minum ke Jalur Gaza. Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant mengumumkan pada 9 Oktober, “Kami menerapkan pengepungan total di Gaza. Tidak akan ada listrik, makanan, air, atau bahan bakar. Semua akan ditutup.”
Strategi sadisme kolektif ini lebih dari sekadar balas dendam. Giora Eiland, seorang pensiunan mayor jenderal yang sebelumnya menjabat sebagai kepala Dewan Keamanan Nasional Israel dan kini merupakan penasihat pemerintah serta penulis kolom di surat kabar Yedioth Ahronoth, menulis pada 29 Oktober:
“Israel harus menciptakan ‘bukan hanya kehancuran di Kota Gaza’, tetapi juga bencana kemanusiaan dan kekacauan pemerintah yang total. Satu-satunya cara untuk mencapai kemenangan adalah dengan menghancurkan seluruh sistem di Gaza dan menimbulkan kesulitan yang mendalam.”
Pada 19 November, ia mendesak pemerintah untuk melanjutkan pengepungan di Jalur Gaza. Ia juga menekankan bahwa wabah parah di Jalur Gaza selatan akan menciptakan kemenangan dan akan mengurangi jumlah korban tentara Israel.
Sambil menunggu persiapan kampanye vaksinasi, virus polio, yang kini menjadi senjata agresi Israel, akan terus menyebar. Polio, penyakit yang hampir diberantas secara global, kini dibiarkan menginfeksi anak-anak Gaza, membuat mereka kehilangan kemampuan untuk menggunakan anggota tubuhnya.
Polio adalah penyakit yang tidak memiliki obat, dan virus ini sangat berbahaya. Satu-satunya cara untuk melindungi warga Gaza dari infeksi adalah melalui pencegahan. Namun, upaya pencegahan ini tidak cukup dengan gencatan senjata sementara dan vaksinasi selama tiga hari saja.
Diperlukan langkah yang lebih mendalam yaitu menghentikan agresi brutal yang mencekik warga Gaza dan membangun kembali reruntuhan sisa kekejaman Israel yang telah merusak lingkungan dan sistem kesehatan di Gaza. Tanpa perubahan ini, kita hanya akan menyaksikan lumpuhnya Gaza yang semakin parah tanpa akhir.
Mengutip Keprihatinan Komisaris Jenderal UNRWA Philippe Lazzarini, “polio tidak akan membedakan anak-anak Palestina dan Israel.” Dengan membiarkan Gaza terkepung oleh polio, Israel sebenarnya sedang membahayakan dirinya sendiri. Jika situasi ini terus dibiarkan, hanya tinggal menunggu waktu hingga polio menyebar ke penduduk Israel.
Yunda Kania Alfiani, S.Hum
Penulis merupakan anggota Departemen Research and Development Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana jurusan Ilmu Sejarah, FIB UI.
Referensi:
- Poliomyelitis
- Polio and the destruction of Gaza’s health infrastructure
- Highly infectious poliovirus found in Gaza sewage samples
- Israel’s Gaza attacks have created serious environmental crisis: Experts
- Terkait Polio, Anak-Anak Gaza Tak Punya Kemewahan Waktu
- Polio Vaccines Arrive in Gaza, but Distributing Them Is the Next Challenge
- Gaza’s Looming Polio Threat—Gaza: The Human Toll
- Humanitarian pauses vital for critical polio vaccination campaign in the Gaza Strip
- Belgium: minister warns of polio outbreak in Gaza
- Gaza’s Doctors Face a New Battle: The War on Polio
- A 10-month-old Palestinian baby suddenly stopped crawling. Polio had struck Gaza
- Polio vaccination in Gaza hinges on ‘security and access guarantees’: WHO
- UN upholds safety and efficacy of Gaza polio vaccine
- Polio: Israel’s dirty bioweapon is bringing Gaza to its knees
- UN agency to launch polio vaccination campaign in Gaza
- Gaza Tenggelam dalam Limbah karena Serangan Israel Menghancurkan Sistem
- Israel, Hamas agree to zoned three-day pauses for Gaza polio vaccinations, WHO says
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di sini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini