oleh: Fitriyah Nur Fadhilah
Trump bersama dengan Benyamin Netanyahu pada 8 Januari 2020 lalu telah mengumumkan perjanjian damai Israel – Palestina yang dinamai ‘Deal of Century’. Perjanjian ini patutu dipertanyakan karena tidak mengikutsertakan Palestina di dalam perumusannya, sebagai pihak terkait. Sehingga keabsahan maupun masa depan perjanjian ini cukup disangsikan. Tidak hanya Palestina yang meradang, sejumlah negara Timur Tengah ikut berang dengan perjanjian sepihak ini. Investasi senilai 50 miliar dolar AS untuk wilayah Palestina dan sekitarnya dinilai sepadan dengan konsekuensi yang ditawarkan menurut AS dan Israel. Bagi Palestina, menerima perjanjian ini sama saja dengan menggadaikan kedaulatan Palestina, bahkan hanya membuat Palestina menjadi tahanan abadi Israel. Sejumlah usaha ( baca : tekanan) telah dilakukan secara massif oleh AS agar perjanjian ini terlaksana. Oleh karenanya tulisan ini akan mengulas mengenai bagaimana pengaruh Deal of Century terhadap kondisi sosial politik di Palestina jika perjanjian ini dilaksanakan.
Konferensi Bahrain : Rencana Ekonomi ‘Menjual’ Palestina
Sebelum Trump mengeluarkan kebijakan Deal of Century pada awal tahun 2020, AS telah menginisiasi konferensi pendahuluan pada 25 – 26 Juni 2019 di Menema, Bahrain. Konferensi ini ditujukan untuk mensosialisasikan rencana ekonomi AS terhadap Palestina. Bahkan konferensi ini diberi nama “Peace to Prosperity – The Economic Plan : A New Version of the Palestinian People” (perdamaian menuju kesejahteraan, rencana ekonomi baru untuk masyarakat Palestina). AS hanya membuka bagian perencanaan ekonomi Palestina dalam perjanjian ‘Deal of Century’ di konferensi tersebut. Dana sejumlah 50 miliar dolar AS bagi Palestina dan negara di sekitarnya dijadikan ‘pancing’ agar negara-negara dunia, khususnya Timur Tengah setuju dengan perjanjian yang ditawarkan oleh AS.
Jared Kushner, penasihat senior Gedung Putih sekaligus wakil AS dalam konferensi Bahrain ini mengungkapkan bahwa dana 50 miliar dolar AS tersebut akan dapat dinikmati oleh Palestina dan negara lainnya (Mesir, Jordan dan Libanon – negara tetangga yang ikut menampung pengungsi Palestina), apabila terjadi kesepakatan perdamaian politik. Sebagai iming-iming, Palestina dijanjikan akan diberikan 28 miliar dolar AS, Jordan akan mendapatkan 7,5 miliar dolar AS, Mesir akan mendapatkan 9 miliar dolar AS dan Libanon sebesar 6 miliar dolar AS.
Kushner juga menjanjikan bahwa dengan dana bantuan ini akan terjadi kesejahteraan bagi perkonomian di Palestina. Angka pengangguran dipastikan akan turun dari 30 persen menjadi di bawah 10 persen, sehingga angka kemiskinan akan berkurang hingga 50 persen. Melalui 190 proyek yang telah tertera secara rinci dalam Bahrain Plan, angka GDP akan naik secara signifikan ari 17 persen ke angka 40 persen. Nilai investasi yang akan ditanamkan di Palestina juga akan naik menjadi 500 persen. Sektor-sektor kunci perekonomian Palestina seperti pariwisata, manufaktur, industry digital, pertanian dan manufaktur juga akan mengalami kenaikan investasi. Selain itu, untuk menghubungkan antara Jalur Gaza dan Tepi Barat yang selama ini terpisah, akan dibangun jalan tol senilai 5 miliar dolar.[1]
Uni Emirat Arab (UEA) setuju dengan gagasan yang dilontarkan Kushner. Menurut Menteri Keuangan UAE yang mewakili menghadiri konferensi Bahrain, perjanjian ini patut untuk diberikan peluang. Senada dengan UEA, Arab Saudi yang diwakili oleh Menteri Keuangannya mendukung rencana ekonomi yang akan dilakukan untuk meningkatkan perekonomian Palestina.[2]
Palestina, sebagai pihak yang terkait, menolak keras perjanjian ini. PLO yang memboikot perjanjian ini mengatakan bahwa perjanjian ini minim akan visi politik, sehingga hal ini akan memberikan garansi terhadap kegagalan implementasinya. Perjanjian ini juga akan membuat Palestina menjadi ‘tahanan abadi’.[3]
Pelakon Dibalik Deal of Century
Sejak dari awal perjanjian Deal of Century memang tidak direncakan untuk menjadi perjanjian netral yang dapat menciptakan perdamaian, sebagaimana jargonnya, bagi Palestina Israel. Ketiga perumus utama perjanjian ini, yakni Jared Kushner, Jason Grenblatt maupun David Friedmann merupakan seorang yahudi ortodox yang memiliki kedekatan dan keberpihakan terhadap Israel.
- Jared Kushner
Selain sebagai penasihat senior di Gedung Putih, Jared merupakan menantu dari Trump. Besarnya kepercayaan Trump terhadap Kushner hingga ia mengatakan “If Kushner can’t produce peace in the Middle East, nobody can. [All] my life, I’ve been hearing that’s the toughest deal to make, but I have feeling Jared is going to do a great job.” Kedekatan Jared terhadap Israel berasalah dari ayahnya. Sejak lama ayahnya (Charles Kushner) telah berteman dengan Netanyahu. Ia merupakan pendonor besar bagi aktivitas pemukiman ilegal Israel. Antara tahun 2011 hingga 2013 Charles telah mendonasikan bantuan dana sebesar 60 ribu US dolar untuk pemukiman di wilayah Tepi Barat.[4] Besarnya kontribusi ini hingga membuat sekolah tempat Jared mengenyam pendidikan dasar berubah dari ‘The Hebrew Youth Academy’ menjadi ‘The Joseph Kushner Hebrow Academy’ untuk menghormati ayahnya.[5]
- Jason Greenblatt
Jason Greenblatt merupakan seorang yahudi ortodox lulusan dari universitas Yeshiva. Ia dahulunya adalah pengacara untuk organisasi Trump. Dalam perjanjian ini ia berperan sebagai pemimpin tim negosiasi Amerika. Sama seperti tim-nya yang lain, ia merupakan aktivis yang menyerukan pendudukan pemukiman yahudi ilegal. Melihat latar belakangnya yang memiliki akses terbatas ke Palestina, sejumlah pihak meragukan kemampuannya untuk menegosiasikan perjanjian ini kepada Palestina.[6]
- David Friedman
Ia merupakan duta besar AS untuk Israel. Ia merupakan tokoh yang radikal, di mana ia mendukung Israel untuk mengambil alih seluruh wilayah Palestina dan tidak menyetujui ide ‘solusi dua negara’. Di tahun 2016 ia mengeluarkan perkataan yang kontroversial bahwa yahudi AS yang menentang penjajahan Israel di Tepi Barat lebih buruk dari kuburan. Hal kontroversial lainnya yang ia lakukan adalah meminta kepada Departemen Dalam Negeri AS untuk berhenti menyebut wilayah pendudukan sebagai ‘diduduki’.[7]
Tekanan AS terhadap Palestina untuk Keberhasilan Deal of Century
Untuk memuluskan jalannya perjanjiannya ‘Deal of Century’ ini, Trump telah melakukan sejumlah kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat Palestina jauh sebelum kebijakan ini diumumkan ke publik. Di tahun 2018, Trump mengurangi berbagai bantuan untuk program-program yang dapat menguntungkan Palestina. AS mengurangi dana bantuan untuk Palestina hingga mencapai 500 juta dollar AS. Dana yang dipotong ini termasuk bantuan untuk kemanusiaan seperti makanan dan program infrastruktur di Tepi Barat dan Gaza, juga Rumah Sakit di daerah Jerusalem Timur. Pada Februari 2019 AS juga menghentikan dana bantuan untuk membantu Tepi Barat dan Gaza.[8]
Di tahun yang sama Trump juga menghentikan dana bantuan untuk UNRWA (United Nation Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East). AS sebelumnya merupakan pemberi donor terbesar bagi organisasi PBB ini. Hampir satu pertiga kebutuhan dana UNRWA didapatkan dari AS. Kebijakan ini dikeluarkan UNRWA dianggap memfasilitasi para pengungsi untuk tetap berstatus menjadi pengungsi dan memiliki hak untuk kembali, dibandingkan menaturalisasi dirinya menjadi penduduk berkewarganegaraan setempat.[9]
Satu-satunya bantuan dana yang masih disalurkan AS untuk Palestina adalah pelatihan untuk kekuatan keamananpemerintah otoritas Palestina di wilayah Tepi Barat untuk menambah loyalitas mereka terhadap Mahmud Abbas. Pelatihan ini juga ditujukan untuk meningkatkan kerja sama keamanan dengan Israel.[10]
AS juga menekan dukungan warganya terhadap Palestina. Di tingkat Federal, Senat AS meloloskan legislasi anti BDS (Bcycott, Divestment, Sanction) pada 4 Februari 2019. UU ini ditujukan untuk melarang negara bagian ataupun daerah melakukan kontrak dengan pihak-pihak yang melakukan kebijakan BDS-nya di perusahaan ataupun lembaga miliknya. Sedangkan dalam tingkat negara bagian, berbagai kebijakan anti BDS diterapkan di berbagai negara bagian di AS.[11] Di Kansas, ada seorang guru yang disidang di pengadilan hanya karena ia melakukan boikot terhadap Israel. Sedangkan di Kansas, pemerintahan setempat mengeluarkan kebijakan kepada perusahaan-perusahaan yang melakukan kerja sama dengan pemerintahan Arizona untuk mengeluarkan pernyataan tertulis bahwa mereka tidak lagi melakukan boikot terhadap Israel.
[1] Diakses pada tanggal 20 Maret 2019 pukul 14.30 dalam https://fortune.com/2019/06/30/bahrain-summit-middle-east/.
[2] Diakses pada tanggal 20 Maret 2020 pukul 15.16 dalam https://www.aljazeera.com/news/2019/06/led-bahrain-workshop-palestine-latest-updates-190624092422392.html
[3] Ibid.
[4] Grace Wermenbol, “Israel – Palestine and The Deal of Century,” http://library.fes.de/pdf-files/id/15681.pdf.
[5] Diakses pada tanggal 31 Maret 2020 pukul 13.30 dalam https://www.jewishvirtuallibrary.org/jared-kushner.
[6] Ibid., hlm. 5.
[7] Dalam laporan Hak Asasi Manusia yang diterbitkan oleh Depatemen Dalam Negeri tahun 2018, AS berhenti menyebut wilayah Palestina dan Dataran Tinggi Golan sebagai wilayah yang diduduki, lihat dalam Muriel Asseburg, “The Deal of Century for Israel – Palestine,” https://www.swp-berlin.org/fileadmin/contents/products/comments/2019C20_ass.pdf.
[8] Grace Wermenbol, “Israel – Palestine and The Deal of Century,” Op. Cit., hlm. 7.
[9] Muriel Asseburg, “The Deal of Century for Israel – Palestine,” https://www.swp-berlin.org/fileadmin/contents/products/comments/2019C20_ass.pdf.
[10] “U.S. Legislations in Opposition to Palestinian Rights”, diakses pada tanggal 29 Maret 2020 pukul 14.05 dalam http://www.addameer.org/sites/default/files/publications/addameer_americanlawfactsheet.pdf.
[11] Meskipun akhirnya dilakukan judisial review terhadap UU tersebut karena melanggar amandemen AS tentang kebebasan untuk berpendapat., lihat dalam http://www.addameer.org/sites/default/files/publications/addameer_americanlawfactsheet.pdf.