Di gang-gang sempit di Kamp Pengungsi Al-Am’ari dekat Kota Ramallah, Tepi Barat, suara Mohammed Khader yang berusia 84 tahun bergetar mengingat kenangan Nakba.
“Kamp ini adalah saksi Nakba dan merupakan simbol perjuangan kami hingga kami kembali ke tanah air kami,” kata Khader kepada Anadolu.
Nakba, atau Malapetaka dalam bahasa Arab, diperingati oleh warga Palestina pada tanggal 15 Mei untuk mengenang pengusiran ratusan ribu orang dari rumah dan tanah mereka pada tahun 1948 setelah berdirinya Israel.
Khader berasal dari Desa Al-Na’ani di Distrik Ramla tengah, Palestina.
“Saya menghabiskan seluruh masa kecil saya di Kamp Al-Am’ari, tempat kami menetap sejak 1949 dan, sejak itu, saya tidak pernah tinggal di luar kamp ini,” katanya.
Pria tua Palestina itu mengatakan ayahnya dibunuh oleh pasukan Israel pada tahun 1951 bersama tujuh temannya di dekat Desa Abu Shusha, sebelah barat Al-Quds (Yerusalem), ketika mereka berusaha untuk kembali ke rumah dan mengambil barang-barang mereka yang tertinggal.
“Desa saya terkenal dengan budidaya semangka dan melon, kebun jeruk, sumur artesis, sekolah, dan stasiun kereta api,” kenangnya.
“Masyarakat hidup sederhana, yang kaya membantu yang miskin, dan para penghuni kamp masih memiliki kualitas yang sama hingga hari ini.”
Khader mengatakan keluarganya dulu tinggal di rumah pedesaan yang mandiri sebelum Nakba.
“Sekarang, keluarga kami tinggal di tengah-tengah beberapa bangunan yang berdekatan di kamp tersebut,” tambahnya.
Khader mengunjungi desanya beberapa kali setelah perang Timur Tengah tahun 1967, dan mendapati desanya hanya tinggal puing-puing, hanya tersisa satu rumah, sumur air, dan menara masjid.
Kematian dan Penganiayaan
Khader masih ingat pembantaian warga Palestina oleh milisi Israel pada tahun 1948.
“Kami meninggalkan rumah kami di tengah serangan Zionis untuk mengungsi ke Kota Ramla lalu ke Ramallah,” kenangnya.
“Dalam perjalanan, saya menyaksikan pemandangan yang tak terlupakan, termasuk seorang wanita yang dibantai,” kata pria yang sudah sepuh itu.
“Kami dihentikan oleh patroli Zionis, tiga pemuda dibawa keluar dan dua di antaranya dibunuh di depan kami,” katanya.
“Di Masjid Dahmash di Lod dekat Ramla, 40 warga Palestina terbunuh. Saya melihat semua peristiwa di hadapan saya ini seolah-olah terjadi kemarin.
“Kami berjalan berhari-hari tanpa makanan atau minuman. Kami melewati masa-masa sulit. Kami menemukan seorang anak di pinggir jalan dan kami membawanya ke Ramallah. Beberapa hari kemudian, keluarganya yang mengungsi mengenalinya. Semua ini terjadi di bawah tekanan dan pembunuhan yang dilakukan oleh Zionis.
“Kekejaman ini dilakukan untuk mengusir orang-orang dan mencegah mereka berpikir untuk kembali ke rumah mereka,” kata Khader.
Hak untuk Kembali
Khader menyamakan serangan brutal Israel di Jalur Gaza dan serangan pemukim di Tepi Barat dengan Nakba tahun 1948.
“Selama Nakba, Inggris mendukung Israel dan saat ini, Amerika Serikat dan negara-negara Eropa seperti Jerman, Perancis dan Inggris kembali mendukung Israel.”
“Kami menghadapi Nakba baru setiap hari.”
Lebih dari 35.100 warga Palestina telah terbunuh, sebagian besar dari mereka adalah perempuan dan anak-anak, dan lebih dari 79.000 lainnya terluka dalam serangan mematikan Israel di Gaza sejak Oktober lalu.
Khader mengatakan rumahnya berulang kali digerebek dan digeledah oleh pasukan Israel dan putra-putranya ditahan. Namun, ia tetap melihat Kamp Pengungsi Al-Am’ari sebagai simbol kepulangannya suatu hari nanti ke rumahnya di Ramla.
“Kami tidak dapat hidup tanpa negara kami, tempat kami dilahirkan, dan suatu hari kami akan kembali,” kata Khader dengan penuh tekad.
“Negeri ini tidak bisa dihuni oleh orang-orang Yahudi yang tidak adil dan telah melakukan begitu banyak ketidakadilan.”
Sumber: https://www.middleeastmonitor.com
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini