Dr. Sevjan Shamy adalah perempuan paling tua di antara perempuan Palestina penyintas agresi Israel yang hadir di tengah-tengah kami. Tidak ada satu pun dari kami yang bertanya soal usia, namun raut wajahnya menyiratkan bahwa usia Doktor Sevjan telah melampaui angka 60 tahun.
“Allah Subhanahu Wa Ta’ala menguji saudara-saudara kita. Ujian yang saya alami tidak sebanding dengan yang dialami oleh Dr. Syaima. Allah membuat perjanjian dengan orang-orang beriman bahwa Allah akan membeli diri, jiwa, dan harta mereka. Semoga Allah menerima semua pengorbanan yang kami persembahkan untuk membela agama Allah ini,” dengan rendah hati ia memulai kisahnya.
Sebagai pembuka, Dr. Sevjan menjelaskan letak tempat tinggalnya. Beliau tinggal di Jalan Mukhabarat, yang terletak di perbatasan antara Kota Gaza dan Jabalia di utara. Di depan rumahnya terdapat kawasan Al-Karama yang terkenal dengan gedung-gedung pencakar langitnya, sementara di sisi yang mengarah ke laut terlihat menara-menara di kawasan Mukhabarat. Dua kawasan penting ini menjadi sasaran pengeboman sabuk api yang dilancarkan oleh Zionis. Seluruh bangunan hancur tak bersisa. Israel dengan sengaja menghancurkannya agar tank-tank mereka dapat merangsek dengan leluasa ke dalam wilayah Gaza.
Menurut Dr. Sevjan, pada pagi hari tanggal 7 Oktober 2023, warga Gaza beraktivitas sebagaimana biasanya. Tak ada aktivitas yang berbeda ataupun yang aneh. Ada yang bersiap-siap untuk pergi ke sekolah, kampus, ke tempat kerja, atau sekadar melakukan aktivitas rutin lainnya. Namun, tiba-tiba pukul 6 tepat terdengar suara rudal diluncurkan, bukan hanya satu, melainkan tidak terhitung. Dr. Sevjan, sebagaimana warga Gaza lainnya berusaha mencari tahu apa yang terjadi. Namun, tidak ada berita apa pun. Saat itu ia tidak mengetahui apa yang terjadi.
Hingga akhirnya, berita dan gambar di sosial media mulai membahas tentang apa yang terjadi. Semua orang membicarakan tentang peristiwa yang terjadi di wilayah permukiman Yahudi yang terletak di perbatasan Gaza, sehingga mereka menyangka mungkin saatnya untuk merdeka sudah tiba. Semua orang berbahagia. Namun ternyata, waktu yang dinanti belum saatnya tiba.
Setelah tanggal 7 Oktober, serangan rudal menghujani Gaza tanpa henti. Selama empat hari mereka mendengar suara dentuman bom dan rudal yang tidak berhenti siang malam. Dunia bagaikan kiamat. Selama hari-hari tersebut mereka tidak keluar rumah sama sekali. Setiap keluarga berkumpul di tengah rumah, menjauhi jendela untuk menghindari pecahan kaca dari jendela.
Pada hari kelima, wilayah Al-Karama menjadi target serangan sabuk api (lingkaran pertempuran). Zionis terus menyerang tanpa henti, hingga seluruh bangunan di wilayah tersebut hancur.
Rumah Dr. Sevjan hanya berjarak 100 meter dari wilayah Al-Karama. Menghadapi keadaan tersebut, ia dan keluarganya memilih untuk menyibukkan diri dengan membaca Al-Qur’an, zikir, dan doa. “Kami menyangka mungkin saatnya wilayah kami juga akan diserang seperti itu,” paparnya.
Tepat pada pukul 12 tengah malam, tiba-tiba saja tembakan rudal berhenti. Ia dan keluarganya memberanikan diri untuk turun ke lantai dasar dan memutuskan untuk mengungsi ke rumah kerabat yang tidak terlalu jauh jaraknya.
Namun, mereka tidak dapat berdiam di satu tempat. Seringkali ada ancaman bahwa bangunan yang mereka tempati atau bangunan terdekatnya akan menjadi sasaran rudal. Akibatnya, mereka terpaksa berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, dan mendiami rumah-rumah orang yang telah kosong dan tidak dikenal.
Pada hari ke-7, Zionis menyebarkan selebaran dari pesawat bahwa wilayah Al-Mukhabarat, Al-Karama, dan Makusi harus dikosongkan. Dengan kata lain, mereka harus keluar dari Kota Gaza dan mengungsi ke wilayah di luar Wadi (lembah) Gaza. Penyerangan akan di mulai dari wilayah mereka tinggal, yaitu Al-Mukhabarat.
Dengan terpaksa, Dr. Sevjan dan keluarganya keluar dari wilayah tempat mereka mengungsi karena menjadi bagian yang akan dibumihanguskan. Mereka akhirnya kembali berpindah, dan kali ini destinasi yang dituju adalah wilayah Gaza Tengah, tempat anak perempuannya tinggal. Meskipun sebenarnya, wilayah tersebut juga tidak dapat dikatakan benar-benar aman sebab suara ledakan rudal dan bom masih kerap kali terdengar. Apalagi rumah tersebut terletak di pesisir pantai, yang sering dijadikan sasaran tembak kapal-kapal perang Zionis.
Namanya Keluar sebagai Warga Turki yang akan Dievakuasi
Dr. Sevjan merupakan warga Palestina yang juga memiliki kewarganegaraan Turki. Ibunya merupakan warga Turki dan tinggal di kawasan Cyprus (Yunan, Turki). Ketika pemerintah Turki memutuskan untuk mengevakuasi warga negaranya, namanya termasuk di antara mereka yang harus dievakuasi. Awalnya Dr. Sevjan menolak, dan ingin tetap bertahan di Gaza. Namun, kondisi di Gaza terus memburuk, serangan rudal yang tidak pernah berhenti, serta kebutuhan dasar menjadi sangat langka–tidak ada gas, air, listrik, internet, dan kebutuhan pokok lainnya. Bahkan untuk memasak mereka harus menggunakan kayu bakar yang diambil dari reruntuhan bangunan, pohon, ataupun pintu kayu rumah mereka. Mereka harus mencuci secara manual dengan menggunakan tangan. Jika hendak mengecas ponsel, mereka harus pergi ke masjid yang ada di dekat rumah mereka, karena masjid tersebut menggunakan panel surya.
Dengan berat hati, ia pun menyetujui untuk dievakuasi pemerintah Turki, sebagai bagian ikhtiar untuk keselamatan keluarganya. Akibat agresi genosida Israel, hampir seluruh keluarga suaminya telah syahid, sedangkan keluarga dari pihaknya sebagian besar berada di Rafah, Deir Balah, dan Gaza Tengah. Namun, ia tidak mendengar kabar saudara laki-lakinya yang tinggal di kota Gaza. Apakah masih hidup, terluka, ataupun syahid. Banyak juga dari keluarganya yang cacat dan terluka. Sungguh, jikalau tidak karena terpaksa, tak mungkin ia akan meninggalkan Gaza.
Fitriyah Nur Fadilah, S.Sos., M.I.P.
Penulis merupakan Ketua Departemen Penelitian dan Pengembangan Adara Relief International yang mengkaji realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana dan master jurusan Ilmu Politik, FISIP UI.
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini