Ini adalah kisah tentang perempuan pemberani yang tidak hanya kehilangan anggota keluarganya, tetapi juga harus menantang maut untuk bisa keluar dari Gaza. Namanya Doktor Syaima, ia adalah seorang dosen di Universitas Islam Gaza. Agresi Israel yang berlangsung sejak 7 Oktober 2023 telah membuatnya kehilangan segala yang ia miliki, mulai dari rumah, pekerjaan, hingga anggota keluarganya; semua lenyap dalam sekejap.
Rumahnya yang memiliki tiga lantai dihancurkan oleh rudal Israel tanpa peringatan. Saat itu, ia sedang berada di lantai paling bawah, sementara saudara laki-laki dan anak-anaknya berada di lantai atas. Ada sembilan orang yang meninggal akibat serangan itu, sementara ia sendiri tertimbun dalam reruntuhan bangunan. Selama satu jam Dr. Syaima masih berusaha untuk tersadar, namun kemudian pingsan.
Ia kehilangan 3 anaknya. Anak yang pertama adalah seorang hafidz Al-Qur’an yang baru merampungkan hafalan 30 juz. Anak terakhirnya, Sarah, pada hari terakhirnya tidak ingin berpisah dengan ibunya. Sarah terus berada di pelukan ibunya hingga tertidur semalaman. Anak-anaknya bahkan sempat mengunjungi kakek nenek mereka dan mengucapkan “selamat tinggal” sebanyak tiga kali. Seolah menjadi isyarat akan perpisahan mereka untuk terakhir kalinya.
Dalam kondisi tertimbun, Dr. Syaima mati-matian berupaya menyelamatkan diri dari reruntuhan rumahnya, meski harus menyeret-nyeret kaki kanannya yang patah untuk bergerak, sementara kepala dan punggungnya terluka dan berdarah-darah. Setelah siuman, ia dilarikan ke Rumah Sakit As-Syifa dan mendapat berita bahwa seluruh keluarganya yang berada di rumah telah meninggal. Saking terkejutnya dengan musibah itu, ia tidak dapat menangis. Ia tidak mampu untuk menanggung pedihnya kehilangan orang-orang terkasih dalam waktu bersamaan.
Doktor Syaima menderita luka dalam di dada dan punggungnya, sehingga ia sulit untuk bernapas. Namun, dalam kondisi yang begitu payah, ia tidak mendapatkan pengobatan yang layak di rumah sakit, karena masih banyak pasien yang mengalami kondisi yang lebih parah darinya. Kondisinya dianggap lebih baik daripada pasien lain yang ada pada saat itu.
Di rumah sakit pun Dr. Syaima harus tidur di lantai saking banyaknya pasien dan pengunsgi yang berlindung di rumah sakit kala itu. Tidak sampai di situ, ketika RS As-Syifa menjadi sasaran pengeboman Israel, Dr. Syaima dengan tubuh penuh luka harus pergi bersama rombongan pasien lain yang dipaksa meninggalkan RS. Ia melakukan salat semampunya, layaknya salat Khauf pada masa perang.
Ketika ia dan rombongan pasien tiba di Jalan Salahuddin, militer Zionis Israel tengah memadati jalan tersebut dengan tank-tank militernya. Para penduduk diperbolehkan lewat, dengan syarat harus berjalan kaki dan mengangkat tangannya sebagai isyarat menyerah. Ketika itu, Dr. Syaima yang tidak dapat menangisi musibah yang menimpa diri dan keluarganya, akhirnya menangis. Perempuan pemberani itu bukan menangis karena takut, melainkan karena merasa terhina. “Saya dipaksa mengangkat tangan tanda menyerah padahal saya tidak ingin menyerah.” Ia merasa direndahkan.
Di antara rombongan itu, ada seorang ibu yang membawa bayi. Ia diperintahkan untuk membuang bayinya jika ia ingin selamat. Dengan terpaksa, ibu tersebut menuruti perintah keji itu. Jika ada yang berani mengambil bayinya, maka akan dibunuh. Nasib bayi itu tidak diketahui hingga kini. Kondisi yang tidak kalah menyedihkan adalah begitu banyak jenazah bergelimpangan di Jalan Salahuddin.
Dalam kesendirian, Dr. Syaima tidak tahu kemana harus pergi. Ia hanya mengikuti arah orang-orang berjalan, hingga sampailah ia di sebuah sekolah dan masuk ke dalam satu kelas yang dihuni oleh lima hingga enam keluarga. Seluruh orang berjejalan di dalamnya, tanpa alas dan selimut, padahal saat itu mulai memasuki musim dingin. Semuanya mengenakan pakaian seadanya. Kondisi tersebut diperburuk dengan tidak adanya makanan dan minuman. Untuk pertama kalinya ia juga harus melihat seorang anak kecil yang hanya memakan sepotong roti untuk tiga hari hingga satu pekan.
Ketika Dr. Syaima mendapatkan bantuan berupa uang tunai senilai 100 dolar AS, ia memutuskan untuk membeli tenda agar dapat beristirahat dengan layak. Namun, banyaknya asap dari dapur-dapur darurat yang masuk ke dalam tendanya membuat dadanya terus terasa sesak, terlebih dengan kondisi luka dalam yang masih dideritanya. Musim dingin dengan curah hujan yang tinggi menambah kesulitan sebab air hujan sering kali membanjiri tenda. Akibatnya, sekali lagi ia terpaksa meninggalkan tenda tersebut dan mengungsi ke tempat lain.
Doktor Syaima tiba di RS yang merupakan sumbangan dari Malaysia. Di sana ia tidak mendapatkan tempat karena seluruh ruangan sudah sangat penuh. Ia terpaksa tidur di bagian atap RS, meski dalam kondisi musim dingin, di tengah suara pesawat tempur dan rudal yang tiada henti.
Ia minta izin untuk tidur di dalam rumah sakit setelah menemukan ruangan kecil yang dulunya digunakan sebagai tempat menyusui di ruang ICU anak-anak. Dokter memperbolehkannya untuk berada di sana, tetapi hanya pada malam hari. Maka, pada pagi hingga sore hari, ia mencari tempat yang lain.
Selama satu pekan Doktor Syaima menjalani rutinitas seperti itu dan mencoba menguatkan diri. Ia kemudian bertekad untuk tidak memandangi foto anak-anaknya yang memenuhi ponselnya, agar ia bisa tidur nyenyak. Ia menyerahkan semua kepada Allah dan menghibur dirinya bahwa anak-anaknya sudah bahagia di surga. Ia harus beristirahat untuk mengembalikan kekuatan.
Namun, pada suatu malam, pukul 02.00 dini hari, seorang perawat masuk sambil membawa jenazah bayi. Kemudian lampu dimatikan dan pintu ditutup. Ia terkejut. Ternyata ruangan yang selama ini digunakannya adalah tempat penyimpanan jenazah bayi. Selama ini ia tidur dengan mayat. Ia kembali teringat dengan anak-anaknya yang telah syahid.
Kepada dirinya, Doktor Syaima berkata, “Tenangkan dirimu. Bukankah engkau sudah mengalami kondisi yang lebih berat dari ini? Engkau sudah melihat jenazah di mana-mana. Palingkan pandanganmu dari pendingin jenazah tersebut dan berusahalah untuk tidur.” Tengah malam berikutnya, seorang perawat kembali membawa jenazah bayi. Ia merasa benteng pertahanannya hancur. Air matanya tumpah bersama penyerahan diri kepada Allah.
Ia memutuskan untuk meninggalkan Gaza dan berdoa agar Allah mengeluarkannya dari tempat tersebut. Ia membaca ayat yang merupakan doa Nabi Yunus alaihissalam ketika ingin keluar dari perut paus, “Laa ilaaha illa anta, subhanaka, inni kuntu mina zhalimin.”
Selepas bermunajat, ponselnya berdering. Ia tidak tahu siapa yang meneleponnya pada tengah malam. Setelah menghapus air mata dan menenangkan diri, ia menjawab panggilan tersebut. Seorang kakek meminta Dr. Syaima untuk menemani cucu perempuannya berobat di luar Gaza. Kakek tersebut mendapatkan informasi dari kementerian kesehatan di Gaza bahwa Doktor Syaima termasuk dalam daftar korban luka yang direkomendasikan untuk mendapat pengobatan di luar Gaza. Paru-paru cucunya terluka, sementara ayah dan ibunya syahid. Kakek itu tidak mendapat izin untuk menemani cucunya ke luar Gaza. Dalam dua jam Doktor Syaima harus ada di gerbang perbatasan Rafah. Demikianlah kebesaran Allah dalam menjawab doa dan mengatur hamba-Nya sehingga Dr. Syaima dapat keluar dari Gaza.
Ketika hendak menuju perbatasan Rafah, ia bingung harus menggunakan apa. Namun sebagai perempuan Gaza, ia meyakini bahwa tidak ada yang mustahil. Ia berjalan kaki hingga di tengah perjalanan bertemu mobil dan menumpang hingga ke Gerbang Rafah. Singkat cerita, Dr. Syaima bertemu Nour, anak kecil yang dititipkan kepadanya, dan bersama memasuki Mesir.
Perjuangan baru kembali harus dihadapinya ketika ambulans menurunkan mereka di tengah Gurun Sinai. Mereka berdua dikelilingi oleh anjing-anjing dan tentara bersenjata. Nour menangis karena menyangka telah ditangkap oleh tentara Israel. “Tenang, Nour, mereka adalah tentara Perancis,” Dr. Syaima mencoba menenangkan Nour–ia melihat gambar bendera Prancis di seragam tentara yang menemuinya.
Mereka berdua kemudian dibawa ke sebuah kapal perang–yang ternyata difungsikan sebagai rumah sakit. Sebagian korban luka ada yang dibawa ke RS Mesir, ada pula yang menjalani pengobatan di kapal perang milik Prancis dan Italia.
Nour dan Dr. Syaima menjalani pengobatan di atas kapal Prancis dan tidak boleh keluar kapal. Selama 45 hari ia menyimpan kerinduannya untuk dapat melihat sinar matahari\. Meskipun di kapal itu ia mendapatkan pengobatan, ia merasa seperti disekap. Doa Nabi Yunus pun ia panjatkan agar dikeluarkan dari kapal yang bagai penjara ini. Bagi warga Gaza, ayat-ayat Al-Qur’an sangat sesuai dengan situasi mereka–seolah benar-benar diturunkan untuk mereka sebagai pegangan dalam setiap keadaan.
Di atas kapal perang itu, ia mendapat kabar menyakitkan lainnya. Rumah saudara laki-lakinya menjadi sasaran rudal. Saudaranya syahid beserta anak dan istrinya. Tragedi itu semakin menegaskan bahwa Doktor Syaima menjadi satu-satunya yang selamat dalam keluarganya. Orang tua dan seluruh saudaranya telah syahid. Namun, ia tetap bersyukur, sebab hingga saat ia menuturkan ceritanya, suami dan seorang anak lelakinya masih berada di Gaza dalam keadaan selamat.
Allah menjawab doanya. Doktor Syaima dan Nour akan diterbangkan ke Qatar untuk mendapat pengobatan di Doha selama empat bulan. Selepas pengobatan, keluarga Nour menghubunginya dan meminta agar Nour tinggal di Istanbul bersama neneknya.
Perjalanan penuh perjuangan yang dilalui bersama Nour, membuat Dr. Syaima menganggap Nour sebagai pengganti Sarah, anak bungsunya yang telah syahid. Ia kerap menyebut Nour dengan nama Sarah. Saat ini, Dr. Syaima tinggal di Turki. Ia mendapat undangan untuk menjadi dosen di sana.
Fitriyah Nur Fadilah, S.Sos., M.I.P.
Penulis merupakan Ketua Departemen Penelitian dan Pengembangan Adara Relief International yang mengkaji realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana dan master jurusan Ilmu Politik, FISIP UI.
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini