Ramadan baru saja berlalu. Seharusnya masih berbekas di ingatan kita bagaimana perjuangan menahan lapar, haus, dan hawa nafsu sejak fajar hingga matahari terbenam. Masih segar juga dalam ingatan kita bagaimana lega dan bahagianya perasaan kita tatkala waktu berbuka puasa tiba. Dan pastinya, tak akan terlupakan momen Idul Fitri tahun ini, ketika kita kembali bisa berkumpul bersama orang-orang tercinta setelah sekian lama tidak berjumpa.
Namun, pernahkah terbayang, ada seorang manusia yang berpuasa selama berbulan-bulan tanpa berbuka? Tiada Idul Fitri baginya, sebab ia dipisahkan jauh dari keluarganya, diisolasi dari lingkungan sekitarnya. Faktanya, hal tersebut nyata terjadi di Palestina. Khader Adnan, seorang tawanan yang ditangkap tanpa alasan oleh pasukan Zionis, telah “berpuasa” selama 86 hari di dalam dinginnya sel penjara Israel.
Bukan tanpa alasan, Khader Adnan melakukan mogok makan demi menyuarakan keadilan bagi dirinya dan ribuan tawanan lain yang mengalami nasib sama sepertinya. Tanpa bersuara, Adnan memilih jalan tersebut untuk menuntut tegaknya hukum tanpa harus menumpahkan darah. Oleh karena itu, ia rela mengorbankan tubuhnya sendiri demi melindungi keluarganya dan seluruh penduduk Palestina.
Pada hari Selasa (2/5), Khader Adnan (45) telah berpulang di tengah-tengah puasa panjangnya. Ia meninggalkan seorang istri dan sembilan anak yang masih kecil. Kepergiannya meninggalkan luka mendalam bagi Palestina dan semua orang yang peduli pada kemanusiaan. Raganya telah pergi, tapi tidak dengan perjuangannya. Sudah saatnya kita menyuarakan kisah getirnya, menyampaikan pesan-pesan wasiatnya, dan meneruskan semangat perjuangannya.
Kisah Hidup Sang Tawanan dan Puasanya yang Abadi
Khader Adnan Musa lahir pada 24 Maret 1978 di Kota Arraba, Jenin, Tepi Barat. Adnan menyelesaikan pendidikan sekolah dasar dan sekolah menengah di kampung halamannya hingga lulus pada 1996 dengan nilai yang sangat baik. Setelah menyelesaikan sekolah, Adnan melanjutkan pendidikannya di Universitas Birzeit di Ramallah. Adnan lulus dengan baik dan memperoleh gelar sarjana matematika, kemudian mendaftar program magister ekonomi di universitas yang sama. Usai menuntaskan pendidikannya, Adnan memilih untuk berwirausaha. Ia membuka sebuah toko roti di Kota Qabatia yang terletak di selatan Jenin.

Khader Adnan memulai karir politiknya sejak ia masih duduk di bangku sarjana. Ia saat itu bergabung dengan Jihad Islam, yang kemudian menjadi salah satu sebab ia berkali-kali dijebloskan ke penjara Israel. Penangkapan pertama Adnan terjadi pada tahun 1999, ketika ia memimpin demonstrasi mahasiswa untuk memprotes kedatangan Menteri Prancis Lionel Jospin ke Universitas Birzeit. Adnan melempari kendaraan Menteri Prancis tersebut dengan batu, membuatnya ditangkap dan menjalani hukuman penjara pertamanya.
Selama menempuh pendidikan perkuliahan, Khader Adnan telah beberapa kali ditangkap meskipun pada akhirnya dibebaskan setelah beberapa waktu dipenjara. Tahun 2004 menjadi tahun pertama Khader Adnan melakukan aksi mogok makan. Pada saat itu, Adnan melakukan mogok makan selama 25 hari untuk memprotes penahannya yang dilakukan tanpa alasan maupun pengadilan, atau yang lebih dikenal sebagai penahanan administratif.
Pada tahun 2005, Khader Adnan menikah dengan Randa Jihad Musa, seorang perempuan cerdas lulusan hukum Islam dari Universitas An-Najah di Nablus. Sejak penangkapan pertamanya hingga menikah dengan Randa, Adnan tercatat telah lima kali ditangkap dan dipenjara dengan jangka waktu yang berbeda-beda. Setelah menikah pun, Adnan masih masih dipenjara tiga kali selama periode 2005 hingga 2011.

Pada 17 Desember 2011, Khader Adnan kembali ditangkap di rumahnya di Arraba. Saat itu, istrinya Randa sedang dalam kondisi hamil dan mereka memiliki dua anak perempuan yang masih kecil. Setelah ditangkap dari rumahnya, Khader Adnan diinterogasi dan disiksa selama 18 hari oleh pasukan Israel sebelum dipenjara di bawah aturan penahanan administratif untuk kedua kalinya.
Selama masa penahanannya di penjara Israel, Khader Adnan melakukan mogok makan hingga mencapai 67 hari–mogok makan terlama yang dilakukan oleh tawanan Palestina pada saat itu. Aksi mogok makan yang dilakukan oleh Adnan menarik perhatian dunia dan memicu protes solidaritas, terutama di Tepi Barat dan Gaza. Khader Adnan akhirnya mengakhiri mogok makannya pada Februari 2012 setelah membuat kesepakatan dengan Otoritas Israel.
Namun, masa bebasnya tidak berlangsung lama, sebab pada tahun 2014 pasukan Israel kembali menangkapnya. Adnan dihukum enam bulan penjara tanpa alasan, yang kemudian diperpanjang lagi. Kembali memprotes penangkapannya yang sewenang-wenang, Khader Adnan melakukan mogok makan lagi selama 54 hari hingga akhirnya ia dibebaskan pada 12 Juli 2015.

Beberapa tahun kemudian, Adnan kembali ditangkap pada 2021, yang menjadi kali keempat ia menjadi tahanan administratif. Sama seperti sebelumnya, Khader Adnan kembali melakukan protes dengan mogok makan selama 25 hari. Sejak penangkapan pertamanya, Khader Adnan tercatat telah 12 kali ditangkap dan telah menghabiskan 8 tahun di penjara Israel sebelum penangkapan terakhirnya yang terjadi pada 5 Februari 2023.
Pada tengah malam, pasukan Israel menyerbu rumah keluarga Khader Adnan di Arraba, Jenin, setelah meledakkan pintunya. Khader Adnan ditangkap secara paksa di hadapan istri dan anak-anaknya yang masih kecil (yang tertua berusia 14 tahun dan yang termuda berusia 1 tahun). Pada saat itu juga, Adnan menyeru bahwa ia akan melakukan mogok makan. Tentara yang menangkapnya semakin mengamuk dan menghancurkan barang-barang di rumahnya sebelum membawa Adnan pergi.
Khader Adnan kemudian menjalani interogasi dan ditahan di sel isolasi di pusat interogasi Al-Jalameh. Otoritas Israel kemudian membawanya ke pengadilan militer Salem untuk “mempertimbangkan kasusnya”, tetapi melarang pihak Adnan untuk memberitahu tanggal sidangnya ke pengacara. Kali ini, pengadilan militer Israel menuduhnya terlibat dengan kelompok terlarang dan melakukan hasutan kekerasan, yang membuatnya harus mendekam di penjara lagi, jauh dari istri dan anak-anaknya.
Selama masa penahanannya, Khader Adnan menghadapi penyiksaan yang berat oleh para sipir penjara. Mereka sering memaksa Adnan untuk menjalani interogasi, juga menggeledah selnya walaupun tidak pernah menemukan apa pun di dalamnya. Semakin hari, kesehatan Khader Adnan juga semakin menurun akibat mogok makan yang ia lakukan, ditambah dengan tekanan berat yang ia alami di penjara. Berat badannya turun drastis, bahkan Adnan sampai tidak bisa berjalan dan harus menggunakan kursi roda. Namun, kondisi kritisnya tersebut sama sekali tidak membuat Otoritas Israel memberikan perlakukan khusus padanya. Sebaliknya, Israel justru melarang Khader Adnan untuk mendapat perawatan di rumah sakit.
Khader Adnan melakukan aksi mogok makannya selama 87 hari, hingga ia ditemukan tak bernyawa di sel penjaranya pada 2 Mei 2023. Ia telah melawan kejamnya penjajahan Israel dengan satu-satunya senjata yang ia miliki, yaitu tubuhnya. Sejak awal Khader Adnan telah menyadari bahwa harga dari perjuangannya hanya ada dua; kebebasan atau nyawanya. Tapi bagi Khader Adnan, ia hanya memiliki satu misi: melawan penjajahan dan apartheid Israel.
Suami dan Ayah yang Menjadi Teladan
Khader Adnan wafat meninggalkan seorang istri dan sembilan orang anak yang masih berusia di bawah 15 tahun. Ditangkap dan dipenjara berkali-kali nampaknya tidak menghalangi tanggung jawab Adnan sebagai kepala keluarga di rumahnya, meskipun istrinya berkata bahwa mereka bisa bertatap muka mungkin hanya selama lima tahun sejak pernikahan mereka. Kepergian Adnan tentunya meninggalkan luka mendalam, namun respon keluarga Adnan dalam menerima berita duka tersebut sungguh menjadi perhatian.
Beberapa waktu setelah berita wafatnya Khader Adnan menyebar, Pusat Informasi Tawanan menyatakan bahwa mereka menemukan surat wasiat milik Khader Adnan, yang ditulisnya sekitar sebulan sebelum ia meninggal. Berikut beberapa potongan kalimat yang ada di dalam surat tersebut:
“Saya mengirimkan pesan ini ketika lemak dan daging saya meleleh, tulang saya mati rasa, dan kekuatan saya semakin lemah di penjara Ramla di Palestina yang tercinta.”
“Istriku, saya meminta agar kamu dan anak-anak selalu bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, untuk berpegang teguh pada tali agama-Nya yang kokoh, dan untuk menyerukan kebenaran setiap saat. Umm Abdurrahman dan anak-anakku: Maali, Bisan, Abdurrahman, Muhammad, Ali, Hamza, Maryam, Omar, dan Zainab, serta semua kerabat dan tetangga, mohon maafkan saya.”
“Saya berwasiat kepada Anda semua untuk tidak meninggalkan hak siapa pun, baik moral maupun materi. Jangan biarkan penjajah membedah jasad saya atau membawa bagian dari tubuh saya bersama mereka. Saya berharap Tuhan menerima saya sebagai syahid di hadapan wajah-Nya yang mulia.”
Setelah berita wafatnya Khader Adnan dikonfirmasi, pers segera berkumpul di rumah keluarga Khader Adnan di Arraba, Jenin. Ketika menemui para jurnalis yang berkumpul di depan rumahnya, Randa Musa, istri Khader Adnan, alih-alih bersedih, ia justru berseru: “Kami tidak menerima belasungkawa di sini. Kami hanya akan menerima ucapan ‘selamat’. Kematian suami saya adalah suatu kebanggaan. Kesyahidan ini seperti pernikahan, momen kebanggaan bagi kami dan mahkota di kepala kami,” demikian ia mengatakan.
Anak-anak Khader Adnan pun sama. Mereka tidak menangis atau meratapi kepergian ayah mereka, melainkan langsung turun ke jalan, menyeru masyarakat untuk melakukan aksi solidaritas untuk ayah mereka. Anak-anak Khader Adnan yang masih kecil tersebut tertangkap kamera menyerukan slogan-slogan perjuangan dengan lantang, yang kemudian diikuti oleh penduduk di sekitar yang mengiringi mereka.

Video: https://twitter.com/QudsNen/status/1653272207387422720?t=x3F1YlrKKRnSclG1Ufz6pA&s=19
Sekilas, ketegaran keluarga Khader Adnan tampak begitu mengagumkan. Kehilangan orang tercinta dengan cara yang “wajar” saja sudah cukup menyakitkan, tetapi mereka bisa menerima kematian Khader Adnan yang tragis ini dengan kepala tegak. Akan tetapi, ketegaran dan ketabahan yang mereka miliki sekarang sesungguhnya adalah buah dari perjuangan panjang yang pahit lagi berduri, bertahun-tahun sejak sebelum Khader Adnan mengambil keputusan yang merenggut nyawanya tersebut.
Ada yang menarik ketika istri Khader Adnan, Randa Musa, diwawancarai pada 2018 oleh Middle East Eye tentang suaminya. Randa menceritakan bahwa sebelum Khader Adnan melakukan mogok makannya yang keempat, ia sempat bertanya kepada suaminya, “Bagaimana bisa? Kamu tahu apa yang akan terjadi pada tubuhmu pada hari ke-12, 20, dan 50. Kamu sebelumnya telah merasakan sakit dan perihnya kelaparan hingga muntah dan kehilangan pendengaran, bahkan merasa perutmu seperti melahap dirinya sendiri. Bagaimana bisa kamu melakukannya lagi?”
Randa Musa menyatakan bahwa suaminya menjawab pertanyaannya dengan sangat bijaksana. Dengan lembut namun penuh keyakinan, ia menjawab, “Bagaimana bisa seorang perempuan memilih untuk melahirkan lebih dari satu kali, meskipun telah merasakan sakitnya? Ada keindahan dan cinta ketika kita memberi kehidupan. Seperti itulah rasanya ketika kita menemukan kehidupan dalam melawan penjajahan, saat kita bisa membayangkan rasanya kebebasan dan mampu memperjuangkannya.”
Khader Adnan juga mengatakan bahwa hidupnya sama sekali tidak berharga apabila kebebasan telah direnggut darinya, dan baginya salah satu bentuk kebebasan itu adalah saat ia bisa berada di tengah-tengah keluarganya. Randa Musa mengatakan bahwa Adnan seringkali meredakan rasa khawatirnya dengan berkata, “Sesaat saja bersamamu dan anak-anak bisa melawan semua rasa sakit yang saya alami selama menjalani mogok makan.”
Di balik ketegaran mereka yang tampak di permukaan, Randa juga menceritakan bahwa mereka harus melalui proses yang berat, terutama bagi anak-anak. Randa mengatakan bahwa anak-anaknya berubah secara emosional dan psikologis ketika Khader Adnan melakukan mogok makan berkali-kali. Sangat berat ketika di satu sisi Randa harus menenangkan anak-anaknya, namun di sisi lain ia sendiri pun takut untuk membayangkan suatu saat akan menerima pesan bahwa suaminya telah meninggal di dalam penjara.
Randa mengatakan bahwa suatu ketika saat Khader Adnan masih melakukan mogok makan di penjara, salah satu anak laki-laki mereka pulang dari sekolah kemudian memukuli saudaranya. Randa yang menyaksikan hal tersebut kemudian memanggil putranya itu, kemudian mengajaknya bicara dan bertanya apa yang telah terjadi. Putranya menjelaskan bahwa teman-temannya di sekolah selalu mengejeknya, mengatakan bahwa “Ayahmu mogok makan. Dia akan mati.”
Terlepas dari berbagai situasi menyakitkan yang mereka hadapi, Randa mengatakan akan melawan semua rasa takut dan kekhawatirannya demi mendukung perjuangan suaminya. Oleh karena itulah, saat suaminya berjuang di penjara, Randa pun turut berjuang dengan berkeliling dari satu kota ke kota lainnya. Ia sampaikan kondisi suaminya kepada orang-orang untuk mengumpulkan sebanyak mungkin dukungan.
Sebagai keluarga, Randa memiliki keyakinan bahwa anak-anaknya pun pasti percaya bahwa pengorbanan ayahnya merupakan bentuk rasa cintanya terhadap tanah air mereka. Randa juga menegaskan bahwa meskipun ia dilanda rasa takut akan kehilangan suaminya, ia tetap percaya bahwa rasa cinta terhadap tanah air akan menguatkannya untuk bersama-sama berjuang dengan suaminya dalam menyuarakan keadilan.
Seorang Pejuang yang Dirindukan
Hanya berselang beberapa jam setelah berita kematian Khader Adnan menyebar, Gaza menyuarakan protes dengan menembakkan roket ke wilayah Israel yang kemudian dibalas dengan serangan udara di sejumlah wilayah. Serangan tersebut menewaskan satu orang dan melukai sejumlah penduduk lainnya, sebelum akhirnya diberlakukan gencatan senjata untuk mencegah jatuhnya lebih banyak korban.
Di kampung halaman Khader Adnan di Arraba, Jenin, masyarakat berbaris dengan membawa poster wajahnya, menyerukan slogan-slogan perlawanan. Anak-anak lelaki Khader Adnan didudukkan di bahu laki-laki dewasa, memimpin demonstrasi di usia mereka yang masih sangat belia. Di beberapa wilayah lain seperti Gaza dan Birzeit, anak-anak sekolah dan para penduduk juga memasang poster Khader Adnan, menunjukkan aksi solidaritas terhadap perjuangannya dalam melawan penjajahan Israel.

Komite Internasional Palang Merah (ICRC) juga telah menyeru Israel untuk berhenti menahan jenazah Khader Adnan dan segera menyerahkannya kepada pihak keluarga untuk dapat dimakamkan secara layak. Tidak ada yang bisa menerima jika Israel merendahkan Khader Adnan dengan menahan jenazahnya atau menguburnya secara acak di “Pemakaman Angka”. Khader Adnan sudah cukup menderita selama hidupnya, tidak perlu menambah penderitaannya dengan menyiksa jasadnya yang sudah tak bernyawa.
Banyaknya pihak yang berduka atas kepergiannya menjadi bukti bahwa Khader Adnan adalah tokoh perjuangan yang dicintai oleh masyarakat. Istrinya, Randa Musa, menjelaskan bahwa Khader Adnan tidak hanya bertanggung jawab terhadap keluarganya, melainkan ia juga sering turun ke jalan bersama masyarakat. Di rumahnya, Khader Adnan dihormati sebagai kepala keluarga, pun ketika di jalan ia juga ditaati karena ia menjadi satu dengan semua orang yang ia temui.
Randa Musa mengatakan, “Ketika Khader Adnan berbicara tentang tawanan, masyarakat telah mengetahui bahwa dia juga adalah seorang tawanan. Ketika dia berbicara tentang mogok makan, masyarakat pun tahu dia adalah seseorang yang melakukan mogok makan. Ketika dia berbicara tentang membela prinsip di hadapan musuh, masyarakat tahu dia telah mengabdikan hidupnya untuk keadilan. Ketika dia berbicara tentang keburukan penjajahan, masyarakat pun telah mengetahui cobaan berat yang sudah ia alami.”
Dan kini, setelah raganya meninggalkan kita semua, Khader Adnan pun seolah masih berbicara tentang perlawanan, sebab semua orang kini harus mengetahui kisahnya, bahwa ia adalah seorang pejuang yang menolak keras penjajahan, dan perjuangannya tidak boleh selesai di titik ini, melainkan harus terus digaungkan hingga tiada tersisa sedikit pun penjajah di muka bumi ini.
Para Pendahulu yang Telah Berpulang
Khader Adnan dan kisah tragisnya di penjara Israel merupakan satu di antara sekian banyak kasus memilukan yang terjadi akibat kekejaman penahanan administratif Israel. Aturan penahanan administratif merupakan pembunuhan terhadap hak asasi manusia dengan dalih aturan hukum, membuat Otoritas Israel bebas menangkap siapa pun yang mereka mau dan memenjarakan mereka tanpa tuduhan, tanpa bukti, tanpa pengacara, dan yang paling mengerikan, tanpa batas waktu yang pasti.
Saat ini penjara Israel masih penuh sesak oleh 4.900 tawanan Palestina, termasuk 30 perempuan dan 160 anak-anak. 1.016 di antara mereka adalah tahanan administratif, sama seperti Khader Adnan, dan di antara ribuan tahanan administratif tersebut ada delapan anak di bawah umur yang bahkan tidak mengetahui mengapa mereka dipenjara[1]. Satu yang mereka ketahui: terlahir menjadi seorang Palestina hanya memiliki dua pilihan, berjuang atau mati dalam perjuangan.
Pada peringatan Nakba tahun lalu yang jatuh pada tanggal 15 Mei, sekitar 5.000 tawanan politik Palestina dilaporkan masih dihukum di 23 penjara dan pusat penahanan Israel[2]. Nakba, pengusiran besar-besaran penduduk Palestina dari desa-desa mereka, merupakan tragedi yang mengubah hidup hampir seluruh penduduk Palestina. Lebih dari 800.000 penduduk terusir dari rumah mereka sendiri, sisanya dibunuh atau dipenjara, sebagai upaya pembersihan etnis oleh Israel.
Baca selengkapnya tentang Nakba disini
Banyaknya jumlah tawanan Palestina sejak peristiwa Nakba sudah tak terhitung, namun Quds News Network (QudsNen) telah berhasil mengumpulkan data tawanan Palestina sejak tahun 1967. Setelah meninggalnya Khader Adnan, QudsNen melaporkan bahwa sebanyak 237 tawanan Palestina telah meninggal di dalam jeruji besi Israel sejak tahun 1967 hingga 2023. Banyaknya korban yang berjatuhan disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya yaitu buruknya kondisi penjara Israel, kelalaian medis yang disengaja, dan tekanan berat yang harus dihadapi para tawanan seperti pelecehan maupun siksaan verbal dan fisik. Belum lagi jika mereka dihukum di sel isolasi yang penuh tikus dan serangga di dalamnya, sel yang seakan menjadi neraka bagi para tawanan Palestina.
Sebelum Khader Adnan, tujuh pejuang Palestina lainnya juga telah mengalami nasib yang sama; meninggal akibat mogok makan memprotes ketidakadilan yang menimpa mereka. Para tawanan tersebut adalah Abdul Qadir Abu Al-Fahm yang meninggal tahun 1970, Rasem Halawa, Ali Al-Jaafari, dan Anis Dawleh, ketiganya meninggal tahun 1980, Isaac Maragha dan Mahmoud Freitekh, keduanya meninggal berselang setahun yaitu pada 1983 dan 1984, Hussein Obeidat yang meninggal tahun 1992, dan terakhir Khader Adnan yang meninggal pada 2 Mei 2023.
Pada akhirnya, aturan-aturan Israel yang dibuat oleh pihak-pihak tanpa rasa kemanusiaan tersebut hanya akan menambah daftar korban lainnya pada waktu-waktu mendatang. Di balik aturan-aturan tersebut, rezim apartheid yang berkuasa sengaja membuat dunia menormalisasi penjajahan yang mereka lakukan. Buta dan bisunya lembaga internasional dan pihak-pihak berwenang untuk mengambil tindakan tegas juga seakan mengaminkan tercapainya tujuan keji Israel tersebut. Penahanan administratif hanyalah satu di antara sekian banyak aturan apartheid lain yang mereka sebut sebagai “hukum”, tapi kenyataannya hanyalah dalih untuk menutupi senjata yang mereka targetkan kepada saudara-saudara kita di Palestina.
Khader Adnan, salah satu pejuang penentang penjajah, kini telah berpulang. Ia telah bersuara lantang di dalam diamnya, ia telah berjuang dengan tubuhnya, ia telah mengerahkan satu-satunya senjata yang ia miliki hingga batas penghabisan. Satu lagi pejuang kemerdekaan telah gugur, tetapi hanya jasadnya yang pergi, karena semangatnya akan menjadi abadi di jiwa para pejuang, termasuk di jiwa orang-orang yang membaca tulisan ini hingga tuntas. Sebab perjuangan selalu bermula dari pemikiran, dan pemikiran tidak akan pernah bisa diperoleh dan dipertahankan tanpa adanya perjuangan.
Salsabila Safitri, S.Hum.
Penulis merupakan Relawan Departemen Penelitian dan Pengembangan Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana jurusan Sastra Arab, FIB UI.
Sumber:
https://www.middleeasteye.net/news/palestinian-prisoner-khader-adnan-dies-israel-prison
https://english.wafa.ps/Pages/Details/135578
https://edition.cnn.com/2023/05/02/middleeast/khader-adnan-dies-hunger-strike-intl-hnk/index.html
https://www.bbc.com/news/world-middle-east-65452946
https://www.newarab.com/opinion/israeli-prisons-dehumanisation-palestinians
http://www.womenfpal.com/news/2023/5/2/من-هو-الشهيد-خضر-عدنان؟
http://www.womenfpal.com/news/2023/5/2/تنديد-واسع-باستشهاد-الاسير-خضر-عدنان-داخل-سجون-الاحتلال
http://www.womenfpal.com/details/2023/5/2/ماذا-قال-الشهيد-الاسير-خضر-عدنان-في-وصيته؟
- https://www.addameer.org/statistics ↑
- https://www.tasnimnews.com/en/news/2022/05/17/2712266/one-million-palestinians-detained-by-israel-since-nakba-day ↑
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini