Sejak 19 Januari 2025, gencatan senjata secara resmi diberlakukan di Jalur Gaza setelah genosida berlangsung selama 15 bulan. Meski di satu sisi ada perasaan bahagia karena gencatan senjata akhirnya diberlakukan di Gaza, namun di sisi lain penduduk Gaza masih hidup dalam kesulitan, terutama bagi yang menderita cedera atau penyakit, sebab saat ini kondisi fasilitas kesehatan di Gaza sangat kritis. Rumah sakit di Gaza banyak yang berhenti beroperasi karena kerusakan parah, pasokan obat-obatan sangat minim, dan banyak staf perawatan kesehatan telah gugur atau diculik, salah satunya Direktur Rumah Sakit Kamal Adwan, dr. Hussam Abu Safiya, yang diculik dan belum diketahui kondisinya hingga saat ini.
Penculikan dr. Abu Safiya terjadi pada akhir tahun lalu, tepatnya pada 27 Desember 2024. Saat itu, suara tank yang bergemuruh di jalan-jalan di luar Rumah Sakit Kamal Adwan membangunkan semua orang. Kemudian melalui pengeras suara, terdengar perintah yang menginstruksikan agar semua orang mengungsi saat itu juga, tidak peduli apakah itu pasien yang sakit, korban terluka, staf medis, maupun orang-orang terlantar yang mencari tempat berlindung di rumah sakit.
Saat itu, semua orang menyadari bahwa Kompleks Medis Kamal Adwan di Beit Lahiya di Gaza utara akan menghadapi serangan Israel, seperti yang pernah terjadi sebelumnya. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), rumah sakit tersebut adalah fasilitas kesehatan utama terakhir yang saat itu masih beroperasi di Gaza utara. Selama agresi genosida Israel, sebagaimana fasilitas-fasilitas kesehatan lainnya, Rumah Sakit Kamal Adwan juga memiliki fungsi ganda sebagai tempat perlindungan bagi ratusan warga Palestina yang rumahnya telah dihancurkan oleh Israel dan tidak punya tempat lain untuk dituju.
Sekitar pukul 6 pagi, seorang pasien bernama Izzat al-Aswad memberi kesaksian bahwa ia mendengar pasukan Israel memanggil dr. Abu Safiya, direktur rumah sakit, melalui pengeras suara. Sebelum pergi, dr. Abu Safiya sempat memberitahu orang-orang di rumah sakit bahwa mereka telah diperintahkan untuk mengungsi, dan itu adalah kali terakhir mereka melihat dr. Abu Safiya sebelum ia diculik oleh pasukan Israel. Tak lama setelah serangan itu, pasukan Israel merilis rekaman video yang memperlihatkan dr. Abu Safiya memasuki kendaraan militer atas perintah tentara, tetapi selama berhari-hari setelah itu keberadaannya tetap tidak diketahui.
Hingga hari ini, kabar tentang kondisi dan tempat penahanan dr. Hussam Abu Safiya masih dipertanyakan. Israel sama sekali tidak memberikan informasi mengenai beliau, sementara dunia terus menuntut pembebasan dokter Palestina yang sangat berdedikasi tersebut. Sepanjang 15 bulan genosida di Jalur Gaza, dr. Abu Safiya bukanlah satu-satunya tenaga kesehatan yang menjadi target penangkapan dan penyiksaan dari pasukan Israel. Masih banyak kasus-kasus serupa yang terjadi sebelumnya, sebagai bukti agar dunia tidak lupa bahwa Israel adalah penjajah keji yang menyerang tanpa pandang bulu, termasuk menargetkan fasilitas dan tenaga kesehatan.
Dokter Hussam Abu Safiya : “Darah Saya Tidak Lebih Berharga dari Rekan dan Pasien Saya”

“Saya berada di Gaza dalam seluruh agresi (yang dilancarkan) Israel–2008-2009, 2012, 2014, dan 2021. Selama perang-perang itu, kami dapat pergi (ke daerah yang lebih aman di dalam Gaza)dan diberikan apa yang kami butuhkan. Namun, ini bukanlah perang. Saya belum pernah mengalami hal yang lebih sulit dari ini.”
– Albina Abu Safiya, istri dr. Hussam Abu Safiya
Sebelum penangkapannya pada bulan lalu, dr. Hussam Abu Safiya telah menghadapi banyak tragedi yang menargetkan diri dan keluarganya. Pada 25 Oktober 2024, setelah dibebaskan dari penahanan singkat bersama beberapa rekannya, ia mendapat kabar bahwa pesawat nirawak Israel telah menghabisi nyawa putranya yang berusia 15 tahun, Ibrahim. Ia adalah salah satu putra dr. Abu Safiya yang mengikuti jejak ayahnya. Menurut tuturan sang ibu, Ibrahim menjadi sukarelawan di rumah sakit, ikut merawat pasien dan membantu staf medis dari berbagai departemen sejak ditutupnya perbatasan Rafah.
Ibrahim wafat akibat serangan Israel yang menargetkan RS Kamal Adwan pada dini hari tanggal 25 Oktober 2024. Begitu mendengar kabar kepergian putranya, dr. Abu Safiya tidak dapat menahan tangisnya ketika mendapati jenazah anaknya berada di antara para korban di halaman RS Kamal Adwan, hanya berjarak sekitar 200 meter dari tempat beliau bekerja.
Sekitar sebulan kemudian, dr. Abu Safiya sendiri terluka parah ketika quadcopter Israel menargetkan rumah sakit dengan bahan peledak, sehingga pecahan peluru beterbangan ke kantornya. Tepatnya tanggal 23 November 2024, Israel menembakkan bom suara dari pesawat nirawak ke ruangan tempat beliau berada. Sayangnya, dr. Abu Safiya tidak dapat meninggalkan ruangan dengan cukup cepat, sehingga bom tersebut meledak dan melukai pahanya.
Namun, saat itu tidak ada dokter spesialis yang dapat merawatnya, sehingga staf medis hanya memberinya pertolongan pertama sederhana dan beberapa obat penghilang rasa sakit. Meski cedera, dr. Abu Safiya tetap melanjutkan pekerjaannya dengan menggunakan kruk untuk sementara waktu. Ia terus memikirkan pasien, rekan, dan orang-orang yang terlantar di rumah sakit. “Ini tidak akan menghentikan kami,” beliau mengatakan. “Saya terluka di tempat kerja, dan itu merupakan suatu kehormatan. Darah saya tidak lebih berharga daripada darah rekan kerja saya atau orang-orang yang kami layani. Saya akan kembali melayani pasien saya segera setelah saya pulih.”
Di tengah kesibukannya sebagai seorang dokter di Gaza, dr. Abu Safiya juga tidak melupakan perannya sebagai kepala keluarga dari istri dan enam anak-anak beliau. Oleh karena itu, dr. Abu Safiya memutuskan untuk mengajak keluarganya tinggal di RS Kamal Adwan tempatnya bekerja agar mereka tidak tinggal berjauhan. “Beliau meminta kami untuk ikut bersamanya ke Kamal Adwan, dan keluarga kami tetap tinggal di sana bersama-sama. Sejak hari pertama genosida, dr. Abu Safiya tidak pernah berhenti bekerja di Kamal Adwan. Kami hanya menemuinya sekitar empat jam sehari. Ia menghabiskan waktunya untuk merawat pasien, mendampingi pasien dan staf medis, sambil terus memantau apa yang terjadi di rumah sakit.” Kata Albina Abu Safiya, istri dari dr. Abu Safiya, ketika menceritakan tentang suaminya.
Sang istri menambahkan bahwa ia dan keluarganya sebenarnya bisa untuk keluar dari Jalur Gaza menuju ke Kazakhstan karena Albina adalah warga negara Kazakhstan. Namun, dr. Abu Safiya menolak untuk pergi agar tetap bisa merawat pasien di RS Kamal Adwan. “Ketika tentara Israel menyerbu Rumah Sakit Kamal Adwan pada 12 Desember 2023, mereka menangkap direktur RS saat itu, dr. Al-Kahlout. dr. Abu Safiya kemudian diangkat sebagai direktur baru, dan tanggung jawabnya langsung menjadi sangat besar karena sebagian besar dokter lainnya mengungsi bersama keluarga mereka di selatan, dan sejumlah dari mereka meninggalkan Gaza sama sekali. Kami berkesempatan untuk mengungsi ke Kazakhstan lebih dari sekali tetapi dr. Abu Safiya menolak, dan saya tetap tinggal bersamanya agar dia tidak tinggal sendirian di Gaza,” demikian Albina menjelaskan.
Laporan awal oleh Al Jazeera menunjukkan bahwa dr. Abu Safiya ditahan di penjara Sde Teiman, sebuah kamp penjara di padang pasir yang telah menjadi lokasi ‘penyiksaan sistematis’ terhadap tawanan Palestina. Beliau memasuki sel di Sde Teiman dengan tangan dan kaki terikat serta mata ditutup. dr. Abu Safiya menunjukkan tanda-tanda kelelahan, keletihan, dan tekanan psikologis. Begitu tentara Israel membawanya ke dalam sel dan melepaskannya, tawanan lain dari Jalur Gaza utara langsung mengenalinya dan mendekat untuk membantunya, demikian kesaksian Mustafa Hassouna (39) dan Muhammad Ramlawi (38), dua tawanan Palestina yang baru-baru ini dibebaskan dari pusat penahanan tersebut.
Pada 9 Januari 2025, dr. Abu Safiya dipindahkan dari Sde Teiman ke Penjara Ofer di dekat Ramallah di Tepi Barat, tempat ia ditawan hingga sekarang, demikian laporan dari +972 Magazine, berdasarkan hasil wawancara dengan istri beliau. Hingga 22 Januari 2025, ia dilarang bertemu dengan pengacaranya, Nasser Ouda, dan penahanannya telah diperpanjang hingga 13 Februari 2025. Namun, hingga saat ini masih belum ada informasi lebih lanjut mengenai kondisi dr. Abu Safiya di dalam penjara Israel.
Perempuan, Pasien, Korban Terluka, Tak Ada yang Lolos dari Penargetan Israel

Beberapa saat setelah dr. Abu Safiya dipanggil oleh pasukan Israel, tentara Israel menuntut agar semua pasien pria menanggalkan pakaian mereka hingga hanya menyisakan celana dalam mereka sebagai syarat agar diizinkan pergi. Dalam kondisi menggigil, ketakutan, dan terluka, para pria diperintahkan untuk berjalan dari rumah sakit ke pos pemeriksaan yang telah didirikan Israel sekitar dua jam perjalanan dari tempat mereka.
Di pos pemeriksaan, mereka dipaksa untuk memberikan nama lengkap dan difoto. Kemudian nomor dicoret di dada dan leher mereka oleh seorang tentara, untuk menandai bahwa mereka telah digeledah. Beberapa pria kemudian dibawa untuk diinterogasi. “Mereka memukul saya dan orang-orang di sekitar saya,” kata Izzat al-Aswad, salah seorang pasien. “Mereka memukul orang-orang yang terluka seperti saya langsung di luka-luka kami.”
Shorouq al-Rantisi (30), seorang perempuan perawat di departemen laboratorium Kamal Adwan, termasuk di antara para perempuan yang diculik dari rumah sakit. Para perempuan diminta berjalan ke pos pemeriksaan yang sama, yang berada di sebuah sekolah, kemudian diperintahkan untuk menunggu selama berjam-jam dalam udara dingin. “Kami bisa mendengar para pria dipukuli dan disiksa. Itu tak tertahankan,” katanya.
“Pasukan Israel menyeret para perempuan itu dengan menjambak kepala mereka menuju area penggeledahan,” kata al-Rantisi. “Mereka meneriaki kami, menuntut kami untuk melepas jilbab kami. Perempuan yang menolak dipukuli dengan kejam,” ia menceritakan lebih lanjut. “Gadis pertama yang dipanggil untuk digeledah disuruh untuk membuka pakaian. Ketika dia menolak, seorang tentara memukulinya dan memaksanya untuk mengangkat pakaiannya. Seorang tentara kemudian menyeret saya dengan menjambak kepala saya kemudian tentara lain memerintahkan saya untuk mengangkat bagian atas pakaian saya, lalu bagian bawah, lalu memeriksa identitas saya,” lanjutnya.
Al-Rantisi mengatakan para perempuan itu akhirnya dibawa dan ditinggalkan di sebuah bundaran. Mereka diberitahu bahwa mereka tidak dapat kembali ke Beit Lahiya. “Bagaimana kami bisa pergi dan menelantarkan pasien? Tidak seorang pun dari kami pernah berpikir untuk pergi sampai kami dipaksa,” katanya. “Rumah sakit dan halamannya dibom tanpa henti, siang dan malam, seolah-olah itu hal yang biasa,” tambah al-Aswad. “Quadcopter menembaki siapa pun yang bergerak di halaman … mereka menargetkan generator dan tangki air, sementara staf medis berjuang untuk merawat pasien…”
Al-Aswad dan orang-orang yang tidak dibawa untuk diinterogasi kemudian dibebaskan setelah seharian penuh mengalami penyiksaan dan penghinaan. “Para tentara memerintahkan kami untuk pergi ke sebelah barat Kota Gaza dan tidak pernah kembali,” katanya. “Kami berjalan melewati reruntuhan dan puing-puing, kedinginan, hingga orang-orang datang menemui kami di dekat Kota Gaza, menawarkan bantuan dan selimut,” demikian ia mengakhiri kesaksiannya mengenai penyerangan Israel terhadap RS Kamal Adwan.
Kisah Dokter-Dokter yang Mencintai Gaza dengan Sepenuh Jiwanya

Dengan kaki palsu dan tekad yang kuat, dr. Khaled Al-Saeedni tetap melanjutkan pekerjaannya untuk menyelamatkan nyawa di Rumah Sakit Syuhada Al-Aqsa di Deir Al-Balah, yang terletak di jantung Kota Gaza. Meskipun mengalami cedera, namun dokter anak tersebut tetap aktif bergerak di bangsal anak-anak rumah sakit. Dengan stetoskop di tangannya, beliau memeriksa anak-anak yang membutuhkan perawatan. Perjalanan hidup dr. Al-Saeedni merupakan perjalanan yang penuh kegigihan dan ketahanan.
Pada Juni 2024, serangan udara Israel di kamp Al-Bureij di dekat rumahnya membuat beliau terluka parah. Pecahan peluru mengenai kaki kanannya, menyebabkan komplikasi yang diperburuk oleh diabetes yang dideritanya. Karena kurangnya perawatan medis yang memadai akibat blokade yang sedang berlangsung, kakinya terpaksa diamputasi untuk mencegah infeksi menyebar lebih jauh.
Meskipun dari luar terlihat tangguh, dr. Al-Saeedni sebenarnya menghadapi kondisi yang mengancam kesehatannya. Ia menderita penyumbatan arteri di kakinya yang tersisa, yang menurut para dokter kemungkinan juga memerlukan amputasi. Meskipun Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menghubunginya untuk memindahkannya ke luar negeri agar bisa mendapatkan perawatan medis yang lebih memadai, hambatan birokrasi dan logistik mencegahnya untuk pergi.
“Saya tidak bisa membayangkan berhenti dari pekerjaan yang telah saya tekuni selama 23 tahun ini,” katanya kepada Kantor Berita Safa, sambil merenungkan beban emosional akibat cedera yang dialaminya. Setelah menerima dan memasang kaki palsu, ia barulah menemukan harapan lagi dan kembali bekerja. Beliau menyatakan, “Saya membutuhkan anak-anak sama seperti mereka membutuhkan saya.”
Kisah lainnya datang dari Gaza selatan. dr. Khaled El Serr, seorang dokter bedah di Gaza selatan, yang terakhir kali berbicara dengan keluarganya pada pertengahan Maret 2024, sepekan sebelum pasukan Israel menyerbu rumah sakit di Gaza selatan tempat ia bekerja. “Tidak seorang pun pernah melihat atau mendengar tentangnya lagi,” kata sepupunya, Osaid El Serr, seorang residen bedah di Amerika Serikat. “Kami bahkan tidak tahu apakah dia masih hidup atau sudah meninggal.” Menurut Amnesty International, dr. El Serr ditangkap oleh militer Israel, mengutip keterangan dari rekan kerja dan tawanan Palestina yang telah dibebaskan. Namun, militer menolak untuk mengakui bahwa mereka menahannya, sehingga sampai saat ini nasib dokter bedah tersebut belum diketahui.

Dalam kasus lain, Direktur Rumah Sakit Al-Shifa di Kota Gaza, dr. Mohammad Abu Salmiya, ditahan setelah pasukan Israel pertama kali menyerbu rumah sakit tersebut — yang merupakan rumah sakit terbesar di Gaza. Beliau dibebaskan pada 1 Juli 2024, kemudian dr. Abu Salmiya mengatakan pada sebuah konferensi pers bahwa ia dan banyak tawanan lain telah menjadi sasaran penyiksaan ekstrem Israel hingga jarinya patah dan ia dipukul di bagian kepala berulang kali.
Bagian terburuk dari penahanan Israel adalah kehilangan nyawa, dan dokter Palestina tidak luput dari penargetan yang disengaja tersebut. Salah satu dokter yang meninggal dalam tahanan Israel adalah dr. Adnan al-Bursh (50), kepala ortopedi di Rumah Sakit Al-Shifa. Ia meninggal pada April 2024 di Penjara Ofer di Tepi Barat. Apa yang menimpa dr. Adnan al-Bursh memicu gelombang kritik dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan kelompok-kelompok hak asasi manusia. Tlaleng Mofokeng, pelapor khusus PBB untuk hak perawatan kesehatan, dalam rilis berita PBB mengatakan bahwa dokter tersebut “dilaporkan dipukuli di penjara, karena jasadnya menunjukkan tanda-tanda penyiksaan.”

Kisah serupa juga dialami oleh dr. Iyad Rantisi (53), seorang ginekolog yang bekerja di Rumah Sakit Kamal Adwan di Gaza utara. Beliau juga meninggal di dalam penjara Israel, tepatnya di Penjara Shikma pada 11 November 2023 atau enam hari setelah ia ditangkap, menurut laporan dari kantor berita Israel Haaretz. Ketika dr. Iyad Rantisi ditangkap pada November 2023, keluarganya tidak mendapatkan kabar sama sekali hingga bulan Juni 2024. Mereka baru mendapat kabar sekitar enam bulan setelahnya, hanya untuk mengetahui bahwa dr. Rantisi telah meninggal di penjara Israel. “Kata-kata terakhir yang saya ucapkan kepadanya adalah, ‘Semoga Allah melindungimu, ayahku, cintaku.'” kata Dina (19), putri beliau. “Saya tidak percaya kalau ayah sudah tiada,” kata Dina. “Bahkan sekarang, saya tidak bisa membayangkan tidak akan ada lagi ayah dalam hidup saya.”
Bebaskan Dokter Abu Safiya! Bebaskan Seluruh Tenaga Kesehatan Palestina!

Dokter Hussam Abu Safiya, juga para dokter dan tenaga kesehatan lainnya, merupakan bukti ketahanan orang-orang Palestina dalam menghadapi serangan genosida Israel selama 15 bulan terakhir, terutama dalam menghadapi penargetan terhadap rumah sakit dan tenaga kesehatan yang disengaja oleh Israel. Dengan mengorbankan raga dan jiwa mereka, para tenaga kesehatan di Gaza berjuang untuk menyelamatkan sebanyak mungkin nyawa, meski taruhannya adalah keselamatan diri mereka sendiri.
Medical Aid for Palestinians, sebuah badan amal Inggris, dilansir dari NY Times pada Agustus 2024, melaporkan bahwa “Rata-rata dua pekerja kesehatan ditargetkan setiap hari, setara dengan satu dari setiap 40 pekerja kesehatan, atau 2,5 persen dari tenaga kesehatan Gaza, kini telah meninggal.” Hingga tahun berganti, pasukan Israel masih tetap berulang kali mengebom, mengepung, dan menyerang rumah sakit di Jalur Gaza selama genosida berlangsung. Selama itu, petugas medis sudah semakin banyak yang gugur, terluka, ditahan, dan disiksa.
Sejak dimulainya genosida pada Oktober 2023, tercatat ada 654 serangan terhadap fasilitas kesehatan, menurut laporan WHO pada Januari 2025. Lebih dari 1.050 petugas kesehatan, termasuk perawat, paramedis, dokter, dan tenaga medis lainnya telah meninggal, dan banyak di antaranya wafat di tempat kerja mereka. Di samping itu, puluhan lainnya telah ditahan, dan sedikitnya tiga orang telah meninggal dalam tahanan Israel.

Pada akhir 2024, hanya 17 dari 36 rumah sakit di Gaza yang berfungsi sebagian. Layanan kemudian ditingkatkan oleh 11 rumah sakit lapangan, tetapi kontrol Israel terhadap masuknya pekerja bantuan membuat rumah sakit lapangan sering kekurangan dokter dan pasokan medis. Sebuah komisi PBB menyimpulkan bahwa “serangan Israel yang gencar dan disengaja terhadap tenaga dan fasilitas medis” merupakan kejahatan perang. Komisi Penyelidikan Internasional Independen PBB untuk Wilayah Palestina yang Dijajah menegaskan bahwa hal itu merupakan “kesengajaan untuk menghancurkan sistem perawatan kesehatan Gaza sebagai bagian dari serangan yang lebih luas terhadap Gaza”.
Saat ini, gencatan senjata memang telah diberlakukan di Jalur Gaza, namun bukan berarti seluruh permasalahan di Gaza juga selesai. Masih banyak tawanan Palestina yang belum dibebaskan, termasuk dr. Abu Safiya, meski hukum internasional telah melarang penangkapan pekerja medis. Penduduk yang menderita cedera dan masalah kesehatan akibat genosida juga sulit untuk memulihkan diri di tengah kurangnya rumah sakit dan tenaga kesehatan yang tersisa di Gaza. Hal tersebut menjadi bukti bahwa gencatan senjata memang tidak bisa menjadi solusi final dari penjajahan sistematis yang berlangsung di Jalur Gaza.
Oleh sebab itu, meski gencatan senjata telah diberlakukan, namun tuntutan untuk Israel tidak boleh dihentikan, agar mereka segera mengembalikan dr. Hussam Abu Safiya, tenaga medis, dan para tawanan lainnya dalam kondisi hidup, mengizinkan pasokan bantuan memasuki Gaza, dan memfasilitasi penduduk Gaza untuk membangun kembali kota mereka, termasuk fasilitas kesehatan yang sangat mereka butuhkan pada saat ini.
Salsabila Safitri, S.Hum.
Penulis merupakan Relawan Departemen Penelitian dan Pengembangan Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana jurusan Sastra Arab, FIB UI.
Sumber :
https://www.bbc.com/news/articles/cj30deeggd7o
https://www.972mag.com/hussam-abu-safiya-albina-kamal-adwan/
https://www.amnesty.org/en/documents/mde15/8923/2025/en/
https://www.middleeasteye.net/news/war-gaza-family-mourns-doctor-tortured-death-israeli-forces
https://www.aljazeera.com/news/2024/11/24/dying-in-hell-palestinian-medics-jailed-by-israel
https://www.theguardian.com/world/2025/jan/15/the-devastating-impact-of-15-months-of-war-on-gaza
https://www.nytimes.com/interactive/2024/10/09/opinion/gaza-doctor-interviews.html
https://www.democracynow.org/2024/8/27/hrw_report
https://www.nytimes.com/2024/08/02/world/middleeast/gaza-doctors-medical-workers-israel.html
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di sini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini