Sejak awal 2025, tentara Israel telah membunuh 16 anak Palestina di Tepi Barat yang diduduki, meskipun mereka “tidak menimbulkan ancaman nyata” bagi tentara, menurut organisasi hak asasi manusia internasional Defense for Children International (DCI).
Direktur program akuntabilitas DCI, Ayed Abu Eqtaish, mengatakan bahwa kegagalan untuk meminta pertanggungjawaban tentara Israel atas pelanggaran mereka terhadap warga Palestina “secara efektif telah memberi mereka lampu hijau untuk terus melakukan tindakan tersebut.”
Ia menyoroti meningkatnya kemudahan tentara Israel dalam menembaki anak-anak Palestina, yang menyebabkan peningkatan jumlah korban jiwa dan luka-luka. Salah satu kasus yang disebutkan adalah penembakan terhadap Ayman Al-Haimouni, seorang anak Palestina berusia 13 tahun yang dibunuh pada 21 Februari di kota Hebron, Tepi Barat selatan. Abu Eqtaish menegaskan bahwa “anak tersebut tidak menimbulkan ancaman bagi tentara saat ia ditembak mati.”
Pada 10 Februari, harian Israel Haaretz melaporkan bahwa tentara Israel telah memperluas aturan keterlibatan (rules of engagement) di Tepi Barat, sehingga menyebabkan lonjakan jumlah korban sipil Palestina.
Menurut laporan yang mengutip komandan unit militer Israel, Komando Pusat tentara Israel telah menerapkan aturan yang sama seperti yang digunakan di Jalur Gaza, yakni memperbolehkan pembunuhan terhadap warga Palestina tak bersenjata, terlepas dari apakah mereka dicurigai melakukan sesuatu atau tidak.
Laporan tersebut juga mengungkap bahwa perintah tersebut dibuat untuk mempermudah tentara Israel menarik pelatuk atas perintah Komandan Komando Pusat, Avi Blot. Bahkan, beberapa tentara Israel yang terlibat dalam operasi militer di Tepi Barat menyatakan bahwa Blot mengizinkan mereka menembak untuk membunuh warga Palestina tanpa harus menangkap mereka terlebih dahulu.
Para tentara itu menjelaskan bahwa tingginya jumlah korban sipil Palestina yang tidak bersenjata di Tepi Barat adalah hal yang “tidak biasa,” dan mengaitkannya dengan perintah Blot yang mengizinkan penembakan terhadap siapa pun yang dicurigai menanam bahan peledak atau “mengutak-atik tanah.”
Selain menembak mati anak-anak dan warga sipil, tentara Israel juga dilaporkan berulang kali menghalangi ambulans yang membawa korban terluka, bahkan menyerang keluarga korban Abu Eqtaish. Tindakan ini telah berubah menjadi praktik militer sistematis.
Sejak 21 Januari 2025, militer Israel telah melakukan operasi besar-besaran di Tepi Barat utara yang membunuh setidaknya 64 orang dan menyebabkan ribuan warga mengungsi.
Menurut Kementerian Kesehatan Palestina, sejak serangan Israel di Jalur Gaza dimulai pada 7 Oktober 2023, sedikitnya 927 warga Palestina telah terbunuh dan hampir 7.000 lainnya terluka dalam serangan yang dilakukan oleh tentara Israel dan pemukim ilegal Yahudi di Tepi Barat.
Pada Juli 2024, Mahkamah Internasional (ICJ) menyatakan bahwa pendudukan Israel atas wilayah Palestina adalah “tidak sah” dan menuntut agar semua permukiman di Tepi Barat serta Al-Quds bagian timur (Yerusalem Timur) dievakuasi. Sementara itu, Israel juga menghadapi kasus genosida di Mahkamah Internasional atas agresi yang berlangsung di wilayah Palestina.
Sumber:
https://www.middleeastmonitor.com
https://www.palestinechronicle.com
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di sini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini