“Tanah itu akan selalu menghubungkan orang-orang Palestina dengan gagasan tentang rumah – bukan tembok, bukan bangunan, bukan puing-puing atau batu bata. Oleh karena itu, penghancuran rumah-rumah warga Palestina mungkin akan membuat warga Palestina kehilangan tempat tinggal, namun mereka tidak akan pernah menjadi tunawisma atau tidak mempunyai tanah. Karena rumah kami adalah tanah kami.”
(Yousef M. Aljamal, The Guardian)
Sekilas Tentang Hari Tanah Palestina

Pada bulan Maret
Tahun Intifada
Tanah ini menceritakan kepada kita
Seluruh rahasia kekerasannya
(Mahmoud Darwish)
Pada tahun ini, Palestina akan memperingati Land Day atau Hari Tanah ke-49 pada 30 Maret 2025. Hari bersejarah ini dilatarbelakangi oleh peristiwa yang terjadi pada tanggal yang sama di tahun 1976. Ketika itu pasukan Israel menyita ribuan hektar tanah Palestina di wilayah yang dijajah tahun 1948, yang masih memiliki penduduk mayoritas dari kalangan Arab Palestina. Lahan Palestina seluas 21.000 dunam diambil alih secara paksa oleh Israel, hingga memicu kemarahan dari penduduk palestina.
Menyaksikan tindakan sewenang-wenang pasukan Israel, penduduk Palestina tidak tinggal diam. Mereka memutuskan untuk melawan dengan melakukan protes, dari wilayah al-Jalil (Galilea) ke Naqab (Negev) di Tepi Barat. Konfrontasi pun tak terelakkan, pasukan Israel dengan brutal menyerang penduduk Palestina, membunuh 6 orang, melukai 49 orang, dan menangkap ratusan lainnya setelah menyerang mereka.
Pada 2008, penduduk Palestina menggunakan momen Hari Tanah untuk melaksanakan protes yang dikenal dengan “The Great March of Return” atau “Pawai Kepulangan Akbar”. Pawai ini adalah aksi damai yang diikuti oleh seluruh kalangan penduduk Palestina, mulai dari pemuda, anak-anak, perempuan, bahkan lansia. Tidak ada ancaman dan kekerasan dalam pawai tersebut, tetapi pasukan Israel tetap mencari-cari alasan untuk menyerang. Sebanyak 17 orang dibunuh dan lebih dari 1.400 peserta aksi terluka. Jiwa mereka seakan menjadi bayaran atas usaha membebaskan tanah mereka yang dicuri.
Dilatarbelakangi oleh peristiwa-peristiwa tersebut dari tahun ke tahun, Hari Tanah dianggap sebagai peristiwa penting untuk mengingatkan kembali betapa eratnya hubungan antara penduduk Palestina dengan tanahnya. Momen ini juga menandai untuk pertama kalinya orang-orang Palestina di wilayah jajahan Israel tahun 1948 menyelenggarakan protes besar sebagai tanggapan terhadap tindakan Israel yang sewenang-wenang. Pada hari itu, penduduk Palestina dengan gagah berani mengambil tindakan dalam kapasitas kolektif untuk menentang penjajahan.
Penduduk Palestina, yang berada di tanah airnya hingga yang menetap di diaspora, seluruhnya mengingat tanggal 30 Maret sebagai Hari Tanah. Hari bersejarah ini telah menjadi simbol sekaligus tantangan besar bagi penduduk Palestina untuk mendobrak penghalang yang disebabkan oleh penjajahan dan blokade Israel terhadap tanah Palestina. Hari Tanah menjadi pengingat akan perjuangan penduduk Palestina selama lebih dari 76 tahun melawan apartheid Israel dan pihak-pihak yang bertujuan untuk melakukan pembersihan etnis di tanah Palestina
Hari Tanah dan Idulfitri berdarah di Gaza

Meski suasana Hari Tanah tahun ini nyaris sama seperti tahun sebelumnya— jatuh pada bulan Ramadan dan terjadi di tengah genosida Israel di Jalur Gaza, bagaimanapun, Hari Tanah tahun ini memiliki kepedihan yang berbeda, karena hadir hanya satu hari menjelang Idulfitri. Pada saat orang-orang di seluruh belahan dunia menyambut Hari Kemenangan dengan sukacita, berkumpul dengan orang-orang terkasih di rumah yang hangat dengan makanan dan minuman yang berlimpah, warga Palestina di Jalur Gaza kembali harus menderita akibat serangan mematikan, perang kelaparan, dan wabah penyakit sebagai imbas dari pengkhianatan Israel terhadap kesepakatan gencatan senjata.
Pada tanggal 27 Maret 2025, organisasi kemanusiaan Doctors Without Borders/Médecins Sans Frontières (MSF) menyatakan bahwa warga Palestina di Jalur Gaza secara fisik dan psikologis tidak siap merayakan Idulfitri. “Tahun ini, Idulfitri datang ketika warga Gaza terpaksa mengungsi sambil membawa jasad dan sisa-sisa tubuh anak-anak mereka. Mereka menguburkan orang-orang tercinta alih-alih mempersiapkan perayaan atau membeli kebutuhan lebaran. Tidak ada yang memikirkan Idulfitri saat ini,” ujar Nour al-Saqa, petugas komunikasi MSF.
Ia menjelaskan bahwa situasi di Jalur Gaza saat ini benar-benar katastrofis dari segala aspek, baik dalam hal ketersediaan pangan, keamanan, maupun keselamatan. Ratusan ribu warga Palestina telah dipaksa mengungsi setelah militer Israel menggempur permukiman mereka dengan serangan udara yang membunuh dan menghancurkan segalanya. Banyak dari mereka harus meninggalkan rumah saat sedang berpuasa, tanpa kepastian akan mendapatkan makanan yang layak untuk sahur dan berbuka puasa.
Pada 28 maret 2025, UNRWA juga menerbitkan laporan mingguan yang memberikan informasi terbaru tentang Jalur Gaza. Laporan tersebut menunjukkan bahwa lebih dari 142.000 orang telah mengungsi paksa dari Gaza terhitung sejak 18 hingga 23 Maret 2025. Laporan juga menambahkan bahwa lebih dari 180 anak dilaporkan terbunuh di Gaza pada 18 Maret, hari ketika Israel melanggar gencatan senjata dan menandai “salah satu jumlah kematian anak terbesar dalam satu hari selama setahun terakhir”.
UNRWA juga menekankan bahwa bantuan dan pasokan kemanusiaan belum masuk ke Gaza sejak 2 Maret ketika pasukan Israel memberlakukan pengepungan total. Pengepungan kini telah berlangsung lebih dari tiga minggu, melampaui durasi pengepungan total yang pertama kali diberlakukan pada Oktober 2023 ketika genosida dimulai, yang mengakibatkan krisis kemanusiaan yang kritis.
Kementerian Kesehatan Gaza mengumumkan pada 25 Maret 2025 bahwa sekitar tujuh persen dari populasi Gaza yang berjumlah 2,3 juta jiwa telah terbunuh atau terluka akibat serangan genosida Israel sejak Oktober 2023. Munir al-Bursh, Direktur Jenderal Kemenkes, menyatakan, “Sekitar tujuh persen populasi Gaza telah menjadi korban genosida, baik karena terbunuh maupun cedera.” Ia menambahkan bahwa lebih dari 25.000 korban luka sangat membutuhkan perawatan jangka panjang dan rehabilitasi.
Rumah sakit di Gaza mengalami krisis pasokan medis yang kritis, menyebabkan 80 persen pasien tidak dapat mengakses obat-obatan penting, demikian disampaikan oleh Al-Bursh kepada Sama News Agency. Al-Bursh menegaskan bahwa sektor kesehatan di Gaza mengalami kemerosotan drastis, dan kematian pasien bisa terjadi kapan saja akibat kelangkaan sumber daya medis.
Ia juga mengungkapkan bahwa 4.500 kasus amputasi telah terjadi di Gaza, termasuk 800 anak-anak dan 540 perempuan. Israel juga masih terus menyerang fasilitas medis dan rumah sakit, memperburuk kualitas layanan kesehatan di Gaza. Sementara itu, blokade terhadap pasokan medis, larangan masuknya obat-obatan, serta pembatasan terhadap rumah sakit lapangan semakin memperparah kondisi. Serangan udara yang berlangsung tanpa henti juga telah menyebabkan lonjakan pasien luka-luka di ruang gawat darurat, ruang operasi, dan unit perawatan intensif. Situasi tersebut membuat tenaga medis kewalahan menangani korban, sehingga banyak korban seringkali tidak bisa tertolong.
Hari Tanah dan Tepi Barat yang Sudah Tidak Layak Huni

Tak hanya di Gaza, warga Palestina di Tepi Barat juga telah menjadi korban perampasan tanah sejak bertahun-tahun yang lalu. Menurut sebuah laporan yang diterbitkan oleh dua kelompok hak asasi manusia, Peace Now dan Kerem Navot pada Maret 2025, Israel dan pemukim kolonial pada saat ini telah menguasai 14 persen tanah Palestina di Tepi Barat. Sekitar setengah dari tanah ini telah disita sejak Desember 2022, menandai eskalasi serius Israel di Tepi Barat.
Saat ini, ada lebih dari 750.000 pemukim Israel yang tinggal di permukiman ilegal di Tepi Barat, dan banyak yang telah mencatat akta properti untuk memberikan legalitas demi menyita rumah-rumah Palestina. Ini adalah salah satu dari beberapa strategi yang digunakan pemukim yang didukung pemerintah Israel untuk mengusir warga Palestina, menurut analis Palestina dan kelompok hak asasi lokal. Pemukim juga seringkali merusak rumah, mendirikan pos-pos ilegal, menyerang petani, serta menghancurkan tanaman dan mencuri ternak, di bawah dukungan dan pengawasan tentara Israel.
“Ada banyak alat yang digunakan pemukim untuk memaksa warga Palestina pergi dari tanahnya,” kata Diana Mardi, seorang peneliti Bimkom, sebuah kelompok hak asasi manusia Israel. “Mereka cenderung menggunakan kekerasan untuk membuat orang Palestina mencapai batas kesabaran hingga mereka merasa harus meninggalkan rumah mereka,” katanya kepada Al Jazeera.

Masyarakat petani dan Badui adalah kelompok yang paling berisiko terkena serangan dan penggusuran oleh pemukim Israel. Laporan oleh Peace Now dan Kerem Navot menemukan bahwa setidaknya 60 persen komunitas penggembala Palestina telah terusir dari tanah mereka sejak 2022. Selain itu, 14 pos ilegal telah didirikan di tanah yang digunakan petani, penggembala, dan Badui Palestina. Laporan itu menambahkan bahwa pemukim cenderung menggunakan penggembalaan hewan untuk merambah tanah Palestina dan mengintimidasi petani.
Serangan Israel, yang terutama difokuskan pada kamp Jenin, Nur Shams, dan Tulkarm baru-baru ini, semakin memperburuk situasi di Tepi Barat. Sebanyak 3.250 unit hunian di Kamp Pengungsi Jenin kini tidak lagi layak huni setelah mengalami kehancuran total atau sebagian akibat operasi militer Israel yang berlangsung sejak 21 Januari, demikian disampaikan oleh Wali Kota Jenin, Mohammad Jarrar, pada 28 Maret 2025. “Situasi di Kamp Jenin sangatlah katastrofik,” ujar Jarrar. “Buldozer Israel terus beroperasi, menghancurkan, meledakkan, dan membakar rumah-rumah Palestina.”
Jarrar menjelaskan bahwa Israel telah menolak petisi yang diajukan oleh Otoritas Palestina untuk menghentikan rencana penghancuran 93 bangunan tempat tinggal, yang mencakup sekitar 300 unit rumah. “Jika keputusan pembongkaran ini dilaksanakan, kita akan menghadapi bencana yang lebih besar di kamp ini,” tambahnya.
Menurutnya, kamp tersebut kini benar-benar tidak layak huni dan membutuhkan rekonstruksi besar-besaran. “Jenin dan kamp pengungsinya telah mengalami berbagai operasi militer Israel selama bertahun-tahun,” katanya. Sebuah komite khusus memperkirakan kerugian yang ditimbulkan oleh operasi militer Israel di Jenin dan kamp pengungsinya mencapai sekitar US$310 juta dolar AS.
Selain itu, lebih dari 1.000 warga Palestina di distrik sekitar kamp dipaksa meninggalkan rumah mereka oleh tentara Israel, sementara ratusan keluarga lainnya terpaksa mengungsi karena khawatir akan keselamatan diri dan anak-anak mereka. Jika kondisi ini terus dibiarkan, warga Palestina di Tepi Barat bisa kehilangan seluruh tanah mereka beserta seluruh kehormatan dan hak asasi manusia yang seharusnya mereka dapatkan.
Hari Tanah Palestina Adalah Peringatan Bagi Dunia

Dalam beberapa tahun terakhir, istilah “houseless” telah menggantikan istilah sebelumnya, yaitu “homeless,” karena menurut sebagian orang istilah ini menunjukkan bahwa hampir setiap orang memiliki “home” yang terdiri dari teman, keluarga, tanah, dan komunitas. Pergeseran makna istilah ini cukup relevan dengan apa yang dialami oleh banyak warga Palestina, yang menganggap tanah lebih berharga daripada rumah yang berupa bangunan. Hubungan antara penduduk Palestina dengan tanah air mereka ini mewakili bentuk kecintaan terhadap tanah air mereka, yang kini bahkan ditunjukkan oleh banyak orang dari lintas-negara, bahkan lintas-benua.
Pada Hari Tanah tahun 2025 ini, Palestina menjadi pusat perhatian dunia, khususnya bagi pihak-pihak yang memberikan dukungan terhadap warga Palestina di Gaza. Banyak orang mulai menunjukkan keberpihakan mereka dalam membela hak-hak, keadilan, dan kebebasan Palestina serta membentuk perjuangan gabungan untuk melawan gerakan penjajah yang disebut zionisme. Perjuangan melawan zionisme adalah bentuk perjuangan warga dunia dalam melawan rasisme dan penjajahan di dunia ini.
Pada peringatan Hari Tanah tahun ini, Palestina telah menunjukkan bahwa tidak ada yang lebih berharga bagi penduduk daripada tanah air mereka. Kesamaan tujuan untuk mempertahankan tanah air merupakan bentuk patriotisme Palestina dalam mewujudkan perjuangan demi memulihkan keharmonisan dan persatuan nasional di antara seluruh pembela Palestina. Momen ini juga mengungkapkan harapan sekaligus penderitaan sebuah bangsa yang kemerdekaannya dihalangi oleh kekuatan global dan berbagai pihak di dunia yang berusaha untuk melenyapkan orang-orang Palestina dari tanah mereka sendiri.
Pada hari bersejarah ini, terungkap dengan jelas bahwa perjuangan untuk membebaskan Palestina masih belum berakhir dan kita semua wajib ikut terlibat di dalamnya, sebagaimana yang dikatakan oleh Ghassan Kanafani: “Perjuangan Palestina bukanlah perjuangan bagi rakyat Palestina saja, namun perjuangan bagi setiap revolusioner, perjuangan massa yang tereksploitasi dan tertindas di era kita.”
Salsabila Safitri, S.Hum.
Penulis merupakan Relawan Departemen Penelitian dan Pengembangan Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana jurusan Sastra Arab, FIB UI dan saat ini sedang menempuh pendidikan magister di program studi linguistik, FIB UI.
Sumber:
https://www.aljazeera.com/features/2025/3/28/the-many-ways-israeli-settlers-steal-palestinian-homes
https://www.middleeastmonitor.com/20250324-un-israel-has-849-checkpoints-in-occupied-west-bank/
https://english.palinfo.com/news/2025/03/27/336328/
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di sini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini