“Saya benar-benar merasa sendirian,” kata Dr. Mustafa Abu Sway, anggota Departemen Wakaf Islam Al-Quds (Yerusalem), organisasi yang ditunjuk oleh Yordania untuk mengawasi pengelolaan Masjid Al-Aqsa. Inilah kali pertama dalam hidupnya ia mendapati hanya ia dan segelintir karyawan Wakaf Islam yang beribadah di Masjid Al-Aqsa, kompleks seluas 144.000 meter persegi, tanpa adanya jemaah lain yang biasanya meramaikan masjid.
Setelah menyerang Iran pada Jumat pagi (13/5), Israel segera memberlakukan karantina wilayah menyeluruh di Tepi Barat yang diduduki, termasuk Al-Quds (Yerusalem), dengan mendirikan penghalang, menutup jalan, dan membatasi pergerakan, dengan tujuan mengisolasi kota-kota Palestina dari kota-kota lain di sekitarnya.
Penutupan dan pos pemeriksaan sebetulnya telah menjadi hal biasa di wilayah apartheid-pendudukan selama beberapa dekade terakhir, dan jumlahnya menjadi lebih banyak setelah 7 Oktober 2023. Namun setelah menyerang Iran, tentara Israel benar-benar mengurangi pergerakan warga Palestina hingga hampir terhenti total — menutup kota-kota dengan gerbang besi, menutup pos pemeriksaan antara Tepi Barat dan Al-Quds (Yerusalem), dan menutup perbatasan King Hussein (Allenby) dengan Yordania.
Al-Aqsa di antara pembatasan dan perambahan kendali Israel
Israel berdalih bahwa penutupan dilakukan demi mengalihkan militernya ke garis depan perang yang terjadi di lima front. Lebih jauh lagi, pasukan Israel juga mengusir jemaah dari Masjid Al-Aqsa dan menyegel seluruh gerbangnya sesaat setelah mereka melaksanakan salat Subuh pada Jumat (13/5). Israel kemudian menerapkan larangan total terhadap jemaah untuk beribadah di Al-Aqsa hingga waktu yang tidak ditentukan. Israel merampas hak beribadah puluhan ribu jemaah yang biasanya hadir untuk mengikuti salat Jumat di Masjid Al-Aqsa.
Syekh Omar al-Kiswani, Direktur Masjid Al-Aqsa, mengatakan hanya ada 150 orang yang menghadiri salat Jumat pada hari itu. Ia menegaskan bahwa dalam kondisi tersebut, salat lima waktu akan tetap dilaksanakan di Masjid Al-Aqsa seperti biasa, sekalipun hanya dengan kehadiran karyawan Wakaf Islam.
Sementara itu jemaah yang dilarang memasuki masjid, melaksanakan salat Jumat di jalan-jalan dan di tangga Kota Tua, khususnya di area Gerbang Singa, Jalan Pemakaman Al-Yusufiya, Al-Musrara, dan Gerbang Herodes. Mayoritas dari mereka adalah penduduk Al-Quds, sebab penduduk yang berasal dari wilayah Palestina lainnya sama sekali tidak diizinkan memasuki Kota Tua Al-Quds.

“Sejak dimulainya operasi militer Israel di Iran, pemerintah telah menerapkan tindakan keras yang sangat mengganggu kehidupan sehari-hari, membatasi kebebasan beribadah, dan melanggar hak-hak dasar warga Palestina di kota tersebut,” terang LSM Israel Ir Amim dan Bimkom dalam sebuah pernyataan pada awal pekan ini.
Aoun Bazbaz, direktur urusan internasional, diplomasi, dan pariwisata Wakaf Islam di Al-Quds mengungkapkan kekhawatirannya jika Israel akan menggunakan eskalasi ketegangan dengan Iran sebagai dalih untuk mengambil alih kendali lebih lanjut atas Masjid Al-Aqsa.
“Selain karyawan Wakaf Islam, tidak ada yang diizinkan memasuki Al-Aqsa sejak itu,” kata Bazbaz. Ia menambahkan bahwa penutupan dan pembatasan terhadap Al-Aqsa merupakan bagian dari rencana Israel untuk menciptakan fakta baru di lapangan. “Sementara dunia – dan khususnya dunia Islam – terfokus pada Gaza dan Iran, Israel diam-diam memajukan rencananya di Al-Aqsa.”
Barbaz menegaskan bahwa selama lebih dari 20 tahun Israel telah berupaya membagi Al-Aqsa, baik dalam hal waktu maupun ruang (spasial). Menurutnya, pembagian tersebut hampir 100 persen telah terwujud. “Ada waktu-waktu ketika pemukim melakukan penggerebekan atau penyerbuan ke Al-Aqsa dan hal itu telah dianggap biasa”.
Tidak hanya menyerbu Masjid Al-Aqsa, pemukim Yahudi juga secara terbuka melakukan peribadatan di Al-Aqsa. Menurut Pemerintah Provinsi Al-Quds (Yerusalem), pada Paskah Yahudi bulan April lalu, lebih dari 6000 pemukim ilegal memasuki halaman masjid dan pemakaman kuno Bab Al-Rahma yang berada di bagian timur masjid, untuk melakukan ritual Talmud.
Memang, pada Maret 2019, Asaf Fried, juru bicara asosiasi organisasi yang didedikasikan untuk “hak-hak Yahudi” di Masjid Al-Aqsa, mengatakan kepada Jerusalem Post: “Kami membutuhkan tempat untuk beribadah dan kami menginginkan bangunan itu berada di dekat Golden Gate (Bab al-Rahma).” Kelompok tersebut, yang memiliki rencana untuk membangun hingga empat sinagoge di sekitar Bab al-Rahma, ingin melihat Masjid Al-Aqsa dibagi sebagaimana Masjid Ibrahimi di Al-Khalil (Hebron), yang sebagiannya tetap sebagai masjid sedangkan sebagian lainnya menjadi sinagoge.

Bab Al-Rahma merupakan “harta” Wakaf Islam selama lebih dari 1.400 tahun dan menjadi tempat para sahabat Nabi Muhammad dimakamkan. Namun, menurut Barbaz, Bab Al-Rahma pada saat ini telah dianggap sebagai tempat ibadah bagi para pemukim – seperti sebuah kuil atau sinagog yang belum dideklarasikan. “Mereka (para pemukim) menari di sana, berterima kasih kepada (Menteri Keamanan Nasional Israel) Ben Gvir atas apa yang telah dilakukannya terhadap Al-Aqsa,” katanya.
Jika pembatasan ketat dan penutupan ini terus terjadi tanpa adanya upaya untuk menghentikan, Barbaz mengatakan bahwa ia tidak akan terkejut jika nantinya Israel akan memberlakukan pendaftaran melalui aplikasi dalam jaringan (daring/online) bagi jemaah yang hendak salat di Masjid Al-Aqsa. Selain itu, meskipun Bab al-Rahma di Masjid Al-Aqsa telah dipertahankan sebagai situs umat Islam, namun dengan meningkatnya pelanggaran Israel di situs tersebut, warga Palestina di Al-Quds (Yerusalem) khawatir bahwa skenario terburuk bisa saja terjadi.
Fase Konsolidasi Al-Aqsa, mungkinkah?
Senada dengan kekhawatiran yang dirasakan Barbaz, Ziad Ibhais, seorang penulis yang mengkhususkan diri dalam urusan Al-Quds, memperingatkan bahwa Israel jelas bermaksud untuk menjadikan keputusan buka-tutup Masjid Al-Aqsa sebagai deklarasi “kedaulatan” Israel terhadap Al-Aqsa. Hal ini, jelasnya, merupakan upaya untuk menegakkan narasi bahwa Israel adalah satu-satunya pihak yang memiliki otoritas atas Al-Aqsa, yang dapat memutuskan siapa yang dapat beribadah, bagaimana, dan kapan.
Ibhais menekankan bahwa tingkat kendali atas pembukaan dan penutupan Masjid ini menandai fase baru yang tidak terlihat dalam eskalasi atau intifada sebelumnya, yakni penutupan total bagi jemaah. Menurutnya, dalam pola pikir Zionis, kendali total atas penutupan Al-Aqsa menandakan selesainya suatu tahap. Tahapan penutupan atau isolasi Al-Aqsa dari jemaah dan penjaga telah terjadi. Hal ini, pada gilirannya, dapat menjadi pembuka pintu menuju sebuah fase baru, yaitu konsolidasi.
Fase konsolidasi akan terwujud ketika pengelolaan Al-Aqsa yang awalnya menjadi hak Wakaf Islam, kemudian menjadi berada di bawah “pengelolaan bersama”, dengan tujuan akhirnya adalah Israel akan mengendalikan pengelolaan Masjid Al-Aqsa untuk memastikan kehadiran Yahudi secara permanen di sana. Kini, inisiatif yang mengusulkan pembangunan sinagog di halaman timur Al-Aqsa (Bab Al-Rahma) terus bergema, bersama dengan usulan lain untuk mengubah identitas Masjid — yang mungkin saja terjadi jika kebungkaman terus berlanjut dalam menghadapi penutupan dan perambahan ini.
Jalan panjang yang berliku untuk mengubah status quo

Dalam konteks pembatasan atau penutupan Masjid Al-Aqsa, Syekh Ikrima Sabri, Khatib Masjid Al-Aqsa dan Kepala Dewan Tinggi Islam di Al-Quds menjelaskan bahwa seluruh tindakan Israel bertujuan untuk mengubah status quo Masjid Al-Aqsa, yang telah terjadi sejak 1967, dan memaksakan kendali Israel secara penuh. Menurut Syekh Sabri, hal ini adalah bagian dari rencana yang lebih luas untuk menjadikan Kota Al-Quds (Yerusalem) sebagai kota Yahudi.
Israel memulai langkah yang lebih besar untuk mengendalikan Masjid Al-Aqsa sejak 2002 ketika polisi Israel mengambil alih kewenangan untuk mengatur masuknya wisatawan dan pemukim ke Al-Aqsa, yang sebelumnya hanya ditangani oleh Wakaf Islam-Yordania. Perubahan ini menempatkan sebagian prosedur masuk dan keluar Masjid Al-Aqsa berada di bawah kendali Israel, mengakhiri sistem satu pintu melalui Wakaf Islam untuk menjaga kesucian masjid.
Langkah berikutnya terjadi pada 2008, ketika polisi Israel mulai memberlakukan waktu khusus untuk penyerbuan pemukim, menentang Wakaf Islam, dan sering menggunakan kekerasan terhadap jemaah dan penjaga. Pada 14–15 September 2015, penutupan penuh Masjid Al-Aqsa bagi umat Islam diberlakukan selama Rosh Hashanah, dalam upaya untuk membersihkan ruang bagi pemukim ekstremis.

Penutupan lainnya terjadi pada 14 Juli 2017 dalam peristiwa “The Battle of The Gates” ketika tiga warga negara Palestina-Israel dari Kota Umm al-Fahm menembak dua polisi Israel di dalam pintu masuk Bab Hutta, tepat di luar Masjid Al-Aqsa. Pihak Israel menanggapinya dengan menutup seluruh Kompleks Al-Aqsa untuk pertama kalinya sejak 1969, sebelum memasang detektor logam dua hari kemudian.
Menyadari bahwa detektor logam bukan sekadar tindakan pengamanan biasa, tetapi lebih merupakan penegasan kendali Israel atas al-Aqsa, warga Palestina di Al-Quds (Yerusalem) melancarkan protes terbuka terhadap tindakan tersebut.
Pada 23 Maret 2020, Al-Aqsa ditutup oleh Wakaf Islam karena pandemi COVID-19, kemudian dibuka kembali setelah lebih dari dua bulan. Puluhan jemaah yang mengenakan masker diizinkan masuk ke kompleks tersebut pada malam yang dingin dan berangin. “Allahu Akbar, kami akan melindungi Al-Aqsa dengan jiwa dan darah kami,” jemaah bersorak menuntaskan kerinduan mereka untuk kembali beribadah di masjid suci tersebut.
Babak baru pembatasan kehadiran jemaah di Al-Aqsa dimulai pada September 2023, tiga pekan sebelum 7 Oktober. Ketika itu pendudukan Israel memberlakukan aturan baru yang melarang itikaf di Al-Aqsa dan membatasi kehadiran jemaah dari Kota Tua Al-Quds, yakni hanya mereka yang berusia di atas lima puluh tahun yang diizinkan untuk beribadah di Masjid al-Aqsa.
Al-Aqsa, tempat segala cinta bermula dan bermuara

Bukan sekadar untuk beribadah, lebih dari itu, bagi penduduk Palestina, Al-Aqsa adalah rumah, tempat segala cinta bermula dan bermuara. Al-Aqsa adalah pusat kehidupan mereka, tempat berkumpul, beristirahat, serta tempat anak-anak bermain dan belajar. “Memisahkan kami dari Al-Aqsa sama saja dengan melucuti paru-paru kami,” demikian tutur Zahra Qaws, salah seorang penduduk Kota Tua Al-Quds, Palestina.
Dengan demikian, sekalipun penutupan dan pembatasan Israel terhadap Al-Aqsa terus diberlakukan dari waktu ke waktu, hal itu tidak lantas membuat penduduk Palestina berputus asa, sebaliknya mereka terus mencari cara untuk tetap bisa mempertahankan kehadiran umat Islam di sana. Mereka yang berusaha untuk tetap mendatangi Al-Aqsa adalah orang-orang memiliki tekad dan kesabaran tak terbatas.
Pada setiap hari Jumat, misalnya, akan ada puluhan ribu jemaah dari kota-kota di seluruh wilayah Tepi Barat yang diduduki, berangkat menuju Al-Aqsa sebelum fajar. Hanya mereka yang termasuk dalam kategori usia dan jenis kelamin yang “diizinkan” untuk hari Jumat tersebut yang dapat melakukan perjalanan ini. Mereka harus melewati labirin persyaratan izin yang terus berubah, pos pemeriksaan militer Israel, pemeriksaan “keamanan”, dan tindakan pengawasan, yang semuanya tidak menjamin bahwa pada akhirnya, mereka akan diizinkan untuk melewati dan memasuki Al-Quds, kota tempat Al-Aqsa berada.
Apa yang seharusnya menjadi tindakan pengabdian yang sederhana ini telah menjadi perjalanan yang sulit yang ditandai oleh ketidakpastian, penghinaan, dan pertemuan dengan tentara bersenjata lengkap dengan perlengkapan anti huru hara. Meskipun menghadapi kendala yang tidak logis, semangat mendatangi Al-Aqsa tetap hidup; sebab Al-Aqsa adalah napas yang harus mereka jaga.

(Issam Rimawi/ Anadolu)
Bagi orang-orang Palestina, perjalanan menuju Al-Aqsa itu sendiri bukan hanya perjalanan menuju tempat beribadah, melainkan juga sebuah tindakan keimanan dan ketahanan, sebuah pengingat bahwa, bagi warga Palestina, bahkan hak untuk beribadah adalah perjuangan melawan pendudukan.
Israel mungkin dapat melarang dan membatasi individu tertentu atau bahkan penduduk Palestina secara keseluruhan, untuk mendatangi Masjid Al-Aqsa, tetapi Israel tidak akan mampu mengendalikan bagaimana warga Palestina memahami dan mengartikulasikan iman mereka. Adalah umum untuk mendengar seruan ketahanan dari pengeras masjid di Palestina. “Wahai Muslim, wahai orang-orang yang berjaga… datangilah Masjid Al-Aqsa.” Tidak heran jika menjadi kebiasaan bagi orang-orang Palestina ketika melewati ambang pintu Masjid al-Aqsa, mereka berdoa: “Wahai Tuhanku, aku berniat untuk berjaga.”
Seorang warga Al-Quds (Yerusalem) berkata, “ Pada masanya, mereka yang mendatangi dan beribadah di Al-Aqsa adalah murabitin (orang-orang yang berjaga). Namun sekarang, kita semua adalah murabitin.” Dalam pembatasan dan penutupan Al–Aqsa oleh Israel, akan selalu ada orang yang berjaga, di tempat terakhir yang dapat mereka jangkau, entah itu di depan gerbang-gerbang Al-Aqsa yang tertutup, entah di depan Gerbang Kota Tua Al-Quds tempat akses masuk mereka ditolak. Tujuan mereka sama; menjawab panggilan Al-Aqsa dan melepaskan belenggu kendali Israel atas Al-Aqsa.
Namun, tugas berjaga dan mempertahankan Al-Aqsa bukanlah tugas Palestina sendirian, Panggilan Al-Aqsa juga berlaku untuk seluruh umat Islam di dunia. Adakah kita mendengar?
(LMS)
Sumber:
https://www.972mag.com/west-bank-lockdown-israel-iran/
https://www.aljazeera.com/features/2017/8/22/the-battle-for-al-aqsa-has-just-started
https://www.aljazeera.com/news/2020/5/31/coronavirus-al-aqsa-mosque-reopens-after-more-than-2-months
https://english.palinfo.com/jerusalem/2025/06/18/341545/
https://www.jerusalemstory.com/en/graphic/how-israel-restricts-muslims-access-pray-al-aqsa-mosque
https://www.middleeasteye.net/news/israel-places-al-aqsa-mosque-under-lockdown-amid-iran-war
https://www.silwanic.net/article/news/79724/al-aqsa-mosque-closed-prayers-not-absent