Sumber daya manusia yang berkualitas merupakan aset yang sangat penting bagi suatu bangsa untuk membangun dan menghasilkan kemakmuran bagi negara. Akan tetapi, Indonesia masih menghadapi permasalahan gizi yang berdampak serius terhadap kualitas sumber daya manusia (SDM). Masalah gizi merupakan masalah kesehatan masyarakat yang dibedakan antara kebutuhan gizi makro dan gizi mikro. Asupan zat gizi makro dan zat gizi mikro memiliki berbagai fungsi penting yang sangat luas untuk pertumbuhan tubuh. Pemenuhan gizi yang belum tercukupi sejak dalam kandungan hingga bayi lahir dapat menyebabkan terjadinya berbagai masalah kesehatan, baik pada ibu maupun sang bayi.
Salah satu gangguan kesehatan akibat kekurangan gizi yang berdampak pada bayi yaitu stunting atau tubuh pendek akibat kurang gizi kronik. WHO mendeskripsikan keadaan stunting merupakan kegagalan pencapaian pertumbuhan linier yang disebabkan oleh kondisi kesehatan yang tidak optimal atau kurang gizi. Gizi yang baik selama 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) akan membantu bayi untuk tumbuh sehat dan mencegah stunting. Adapun, kekurangan angka kecukupan gizi pada 1.000 HPK berhubungan dengan rendahnya kemampuan kognitif dan perkembangan motorik anak. Sekitar 80% perkembangan otak dan organ tubuh terjadi pada masa yang juga dikenal sebagai golden period ini.
Faktor lain pada ibu yang memengaruhi bayi adalah postur tubuh ibu (pendek), jarak kehamilan yang terlalu dekat, ibu yang masih remaja, serta asupan nutrisi yang kurang pada saat kehamilan. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 97 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Masa sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, dan Masa sesudah Melahirkan, Penyelenggaraan Pelayanan Kontrasepsi, serta Pelayanan Kesehatan Seksual, faktor-faktor yang memperberat keadaan ibu hamil adalah terlalu muda, terlalu tua, terlalu sering melahirkan, dan terlalu dekat jarak kelahiran. Usia kehamilan ibu yang terlalu muda (di bawah 20 tahun) berisiko melahirkan Bayi dengan Berat Lahir Rendah (BBLR). Bayi BBLR memengaruhi sekitar 20% dari terjadinya stunting.[1]
Kondisi ibu sebelum masa kehamilan, baik postur tubuh (berat badan dan tinggi badan) maupun gizi, merupakan salah satu faktor yang memengaruhi terjadinya stunting. Remaja putri sebagai calon ibu di masa depan seharusnya memiliki status gizi yang baik. Namun, pada 2017, ditinjau dari sisi asupan gizi, sebanyak 32% remaja putri di Indonesia berisiko Kekurangan Energi Kronik (KEK).[2] Jika gizi remaja putri tidak diperbaiki, maka pada masa yang akan datang akan semakin banyak calon ibu hamil yang memiliki postur tubuh pendek dan/atau kekurangan energi kronik. Hal ini akan berdampak pada meningkatnya prevalensi stunting di Indonesia.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan prevalensi stunting cukup tinggi dibandingkan negara-negara berpendapatan menengah lainnya. Di lingkungan negara Asia Tenggara, Myanmar memiliki prevalensi stunting 35%, Vietnam 23%, Malaysia 17%, Thailand 16%, dan Singapura 4% (Desember, 2021). Sementara itu, Indonesia memiliki prevalensi stunting 24,4%. Padahal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan batas toleransi stunting suatu negara hanya 20%. Dampak stunting dapat bertahan seumur hidup dan memengaruhi generasi selanjutnya. Menurut WHO, dampak yang ditimbulkan stunting dapat dibagi menjadi dampak jangka pendek dan jangka panjang.[3]
- Dampak jangka pendek di antaranya:
- peningkatan kejadian kesakitan dan kematian;
- perkembangan kognitif, motorik, dan verbal pada anak tidak optimal; dan
- peningkatan biaya kesehatan.
- Dampak jangka panjang di antaranya:
- postur tubuh yang tidak optimal saat dewasa (lebih pendek dibandingkan pada umumnya);
- meningkatnya risiko obesitas dan penyakit lainnya;
- menurunnya kesehatan reproduksi;
- kapasitas belajar dan performa yang kurang optimal saat masa sekolah; serta
- produktivitas dan kapasitas kerja yang tidak optimal.
Stunting memengaruhi kapasitas belajar pada usia sekolah, nilai dan prestasi sekolah, upah kerja pada saat dewasa, risiko penyakit kronis seperti diabetes, morbiditas dan mortalitas, bahkan produktivitas ekonomi. Data IFLS tahun 2018 dari 13 provinsi di Indonesia menunjukkan bahwa hampir setengah (48,6%) dari anak umur 7–8 tahun punya kemampuan kognitif yang kurang. Bayi usia 0–6 bulan yang pendek dan tetap pendek sampai umur 7–8 tahun berisiko 2,8 kali memiliki kemampuan kognitif kurang dari pada anak yang tidak stunting.[4]
Di samping itu, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) membeberkan jika rata-rata dari skor IQ anak Indonesia pada 2022 hanya mencapai angka 78,49. IQ tersebut tergolong cukup rendah, dan menempatkan Indonesia di peringkat ke-130 di dunia dan berada di peringkat kedua terendah di Asia Tenggara. Negara tetangga Asia Tenggara lainnya memiliki rata-rata IQ anak yaitu, di Laos 80,99, Filipina 81,64, Brunei Darussalam 87,58, Malaysia 87,58, Thailand 88,87, Vietnam 89,53, Myanmar 91,18, dan Singapura 105,89[5].
Dalam kaitannya dengan pertumbuhan penduduk, stunting juga dapat menurunkan produktivitas SDM sebuah negara. Hal tersebut tercermin dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia yang menduduki peringkat ke 107 dari 189 negara yang dianalisis oleh United Nation Development Programme (UNDP). Sementara itu, di ASEAN, Indonesia masih lebih rendah daripada Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Thailand. Berdasarkan data Human Development Report UNDP, Indonesia memiliki angka IPM 0.718.[6] Konsep penghitungan IPM UNDP dilakukan dengan mempertimbangkan tiga aspek yaitu usia, pendidikan, dan ekonomi.
Stunting merupakan masalah penting untuk diselesaikan karena tingkat stunting di Indonesia akan menentukan daya saing SDM pada masa mendatang. Pengalaman dan bukti Internasional menunjukkan bahwa stunting dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan menurunkan produktivitas pasar kerja, sehingga mengakibatkan hilangnya 11% GDP (Gross Domestic Products) serta mengurangi pendapatan pekerja dewasa hingga 20%. Selain itu, stunting juga dapat berkontribusi pada melebarnya kesenjangan/inequality, sehingga mengurangi 10% dari total pendapatan seumur hidup dan juga menyebabkan kemiskinan antargenerasi.[7] Pada akhirnya, jika stunting dibiarkan, maka Indonesia berpotensi tertinggal dalam berbagai bidang perkembangan di dunia.
Semua anak memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal untuk mencapai potensi perkembangannya secara penuh. Faktor tumbuh tinggi atau pendek seorang anak memang dapat disebabkan karena faktor genetis. Jika ayah dan ibu tidak tinggi maka anak juga pendek, demikian juga sebaliknya. Akan tetapi, menurut Duta Gizi Indonesia, Reisa Broto Asmoro, terdapat faktor lain yang juga tidak kalah penting dalam memengaruhi pola tumbuh kembang anak-anak. Reisa menambahkan, yang juga menentukan pertumbuhan anak adalah asupan gizi, serta akses lingkungan yang mencakup kebersihan, sanitasi, sampai perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) yang mereka jalani. Dengan demikian, meskipun terdapat faktor genetis atau keturunan, pertumbuhan anak dapat didukung lebih baik dengan memperhatikan hal-hal tersebut, sekaligus mencegah terjadinya stunting.
Stunting dapat dicegah jika upaya pencegahan dilakukan sejak awal, bahkan sebelum seorang perempuan hamil. Ini tidak hanya memengaruhi pertumbuhan fisik saja melainkan juga berkaitan dengan perkembangannya. Pemenuhan gizi pada 1.000 HPK tidak kalah penting dalam perkembangan otak dan organ tubuh anak. Kehilangan kesempatan untuk tumbuh optimal pada masa 1.000 HPK memicu stunting yang dampaknya akan berkepanjangan. Stunting dan dampaknya adalah masalah serius yang membutuhkan tindakan segera. Dampak stunting bukan sekadar masalah kesehatan anak, melainkan masalah prioritas sebuah negara. Hal tersebut karena stunting dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan, dan memperlebar ketimpangan masyarakat.
Vannisa Najchati Silma, S. Hum
Penulis merupakan Relawan Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana jurusan Sastra Arab, FIB UI.
Sumber:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2018. Situasi Balita Pendek (Stunting) di Indonesia. (Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kemenkes).
https://www.republika.co.id/berita/roy26p502/apakah-anak-tumbuh-tinggi-atau-pendek-karena-keturunan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2018. Warta Kemas. https://kesmas.kemkes.go.id/assets/upload/dir_519d41d8cd98f00/files/Warta-Kesmas-Edisi-02-2018_1136.pdf
Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. 2017. 100 Kabupaten/Kota Prioritas untuk Intervensi Anak Kerdil (Stunting). https://www.tnp2k.go.id/images/uploads/downloads/Buku%20Ringkasan%20Stunting.pdf
- Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2018, “Situasi Balita Pendek (Stunting) di Indonesia”, Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan, (Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kemenkes), hlm. 4 ↑
- Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2018, hlm. 6. ↑
- Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2018, hlm. 17. ↑
- https://feb.ub.ac.id/id/polemik-stunting-dan-pembangunan.html#:~:text=Catatan%20Bank%20Dunia%20(2016)%20menyatakan,triliun%2D390%20triliun%20per%20tahun ↑
- https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/09/28/rerata-skor-iq-penduduk-indonesia-terendah-kedua-di-asia-tenggara-ini-hasil-studinya ↑
- https://www.cnbcindonesia.com/news/20201216142816-4-209558/duh-indeks-pembangunan-manusia-ri-no-107-dari-189-negara/2 ↑
- Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. 2017. 100 Kabupaten/Kota Prioritas untuk Intervensi Anak Kerdil (Stunting). https://www.tnp2k.go.id/images/uploads/downloads/Buku%20Ringkasan%20Stunting.pdf hlm. 6. ↑
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini