Antisemitisme Terselubung di Balik Deklarasi Balfour – Tanggal 2 November 1917 menjadi petaka bagi bangsa Palestina yang dampaknya dirasakan hingga detik ini. Klaim sepihak Inggris yang menjadikan Palestina menjadi ‘rumah nasional’ bagi bangsa Yahudi dijadikan dasar pijakan kolonialisasi zionis terhadap Palestina. Meski terminologi ‘rumah nasional’ itu sendiri tidak dikenal dalam hukum internasional, Balfour memilih padanan ‘rumah nasional’ dibandingkan frasa ‘negara’ yang lebih lumrah digunakan sebagai cerminan bahwa Inggris tidak serta merta memberikan wilayah Palestina untuk dijadikan negara Yahudi bagi zionis.
Banyak orang menyangka bahwa Deklarasi Balfour merupakan bentuk dukungan Inggris terhadap zionis karena melalui perjanjian ini rencana zionis untuk mengokupasi Palestina terbuka lebar. Namun, jauh dari hal tersebut, Deklarasi Balfour dicetuskan karena rasisme dan antisemit Inggris terhadap ancaman datangnya imigran Yahudi ke Inggris.
Pada awal abad 19, akibat dari adanya pogrom yang dilakukan Rusia, banyak warga Yahudi yang melarikan diri dari Kekaisaran Rusia dan berimigrasi ke Inggris dan Amerika Serikat. Kondisi imigran Yahudi yang miskin dan kumuh dianggap membawa masalah menimbulkan sikap antisemit di kalangan warga Inggris, pemerintah, bahkan orang Yahudi yang telah berasimilasi dengan penduduk Eropa.
Akibatnya, pada 1905, Balfour yang menjabat sebagai perdana menteri Inggris saat itu mengesahkan hukum Alien (Alien Act) yang bertujuan untuk membatasi gelombang imigran Yahudi. Balfour lebih memilih undang-undang ini dibandingkan mengupayakan toleransi ataupun asimilasi terhadap imigran Yahudi. Inggris bahkan menyebut imigran Yahudi sebagai Alien sehingga ini menjadi alasan mengapa hukum tersebut dinamakan hukum Alien.
Sejalan dengan Alien Act, lahirnya Deklarasi Balfour juga ditujukan untuk mengurangi imigran Yahudi ke Inggris, bukan didasari dengan rasa simpati terhadap Yahudi. Balfour menjadikan Palestina sebagai rumah nasional bagi Yahudi untuk mengalihkan tujuan migrasi Yahudi dari Inggris ke Palestina.
Pada tersebut jumlah penduduk Yahudi hanya berkisar 60.000 ribu dibandingkan dengan penduduk asli Palestina yang mencapai 600.000 orang. Namun, Inggris melupakan kelompok mayoritas dan lebih memilih kelompok minoritas untuk menerapkan hak menentukan nasib sendiri.
Deklarasi Balfour juga menjadi solusi dari ancaman kemiskinan yang akan meliputi Inggris jika persoalan imigran tidak lekas dialihkan. Pada saat yang sama, Inggris juga terhindar untuk menyelesaikan masalah tentang bagaimana menangani minoritas yang tinggal di kalangan mayoritas kulit putih dan menggeser persoalan itu ke Palestina. Bagi Balfour, keberadaan zionisme tidak hanya menjadi anugerah bagi Yahudi tetapi juga bagi Inggris yang dililit persoalan migrasi Yahudi.
Secara personal, Balfour juga merupakan seseorang yang memiliki keyakinan akan supremasi kulit putih. Ia meyakini bahwa, “manusia tidak terlahir setara, ras kulit putih dan kulit hitam tidak dilahirkan dengan kapasitas yang setara: mereka lahir dengan kapasitas yang berbeda, pendidikan tidak dapat dan tidak akan mengubah.” Bagi orang yang rasis dan mengklaim supremasi kulit putih, deklarasi yang ditulis Balfour dapat dilihat sebagai bentuk dari rasisme yang dimilikinya, ketimbang simpati dan dukungan terhadap Yahudi.
Koalisi zionisme dan antisemitisme
Theodore Herzl dan pendukung zionisme lainnya juga mengetahui kecenderungan negara-negara Eropa yang antisemit. Namun, alih-alih menentang fenomena tersebut, ia justru menjadikan hal ini kesempatan untuk mewujudkan cita-cita pendirian negara Yahudi-nya di Palestina. Ia bahkan menggunakan kelompok-kelompok yang mendukung antisemitisme dan berkoalisi untuk membantu memuluskan jalan deklarasi Israel di Palestina.
Dalam bukunya, Der Judenstaat, Herzl menulis, “Pemerintah dari semua negara antisemit akan sangat tertatik untuk membantu kita mendapatkan kedaulatan yang kita inginkan.” Rasa takut yang dimiliki oleh orang-orang non-Yahudi dimanfaatkan Herzl untuk membantu memuluskan upaya menyatukan seluruh Yahudi dari seluruh dunia di Palestina.
Tidak hanya melalui Deklarasi Balfour, zionis juga menggunakan tangan Nazi untuk memuluskan jalannya. Pada 1926 ketika Jerman masuk ke Liga Bangsa pada masa rezim Weimar, Jerman mendukung penuh Deklarasi Balfour dan kolonialisasi Yahudi-Eropa di Palestina. Pada 1933 zionis juga menyetujui Perjanjian Ha’avara dengan Nazi, di saat dunia internasional memboikot rezim Nazi. Melalui perjanjian ini, Nazi akan memberikan kompensasi kepada Yahudi yang berimigrasi ke Palestina dan pada 1939, Nazi-Jerman mengirimkan kompensasi sebesar 40 juta dolar AS. Di bawah kepemimpinan Eichmant pada 1933 – 1935 Nazi mempersenjatai kelompok Haganah, sebuah organisasi paramiliter Yahudi di Palestina. Di Mesir dan Irak, zionis bahwa tak segan untuk melakukan beberapa pengeboman sehingga komunitas Yahudi yang tinggal di negara tersebut memutuskan untuk pergi dan tinggal di Palestina.
Herzl dan zionis lainnya tidak segan-segan berkoalisi dengan para pembenci Yahudi, ataupun menyakiti sesama Yahudi yang dianggap menghalangi langkahnya dengan cara menyebarkan propaganda agar dunia meyakini bahwa hal yang dilakukan zionis terhadap Palestina adalah hal yang benar. Herzl dalam tulisannya mengatakan bahwa, “Kita harus membuktikan kepada mereka bahwa permasalahan Yahudi adalah permasalahan dunia yang harus diselesaikan oleh dunia.”
Dengan propaganda tersebut, 15.000 penduduk Palestina yang dibunuh dan 750.000 penduduk Palestina yang diusir pada 1948, dunia menganggap zionis hanya melakukan hak mempertahankan diri untuk berada di Palestina. Demikian juga pada perang 6 hari 1967, ketika Israel mengokupasi kota Al-Quds yang seharusnya menjadi kota internasional dan mengokupasi wilayah lainnya di Palestina, dengan alas an mempertahankan diri, Israel dianggap ‘tidak berdosa’. Hal ini terus terjadi hingga kini, yaitu pada Mei lalu, ketika Israel membombardir Gaza selama 11 hari, membunuh 248 penduduk sipil termasuk 66 anak, menyebabkan 1.900 orang terluka termasuk 560 anak-anak, dan 91.000 orang kehilangan tempat tinggal. Peristiwa ini tidak memiliki dampak hukum atau sanksi apa pun terhadap zionis yang masih menikmati impunitasnya dengan dalih hak mempertahankan diri.
Dengan leluasanya hingga detik ini, zionis menyerang dan membakar pohon-pohon zaitun penduduk Palestina, mengeringkan air-airnya, mencabut listrik yang menopang penghidupan mereka, dan membuat penjara terbesar di dunia lewat blokade ke Gaza. Tidak ada yang menindak mereka, apalagi menghukumnya.
Zionis bahkan menerapkan politik apartheid yang dilarang oleh hukum internasional terhadap orang Palestina, dan tidak ada yang menghukum perbuatannya itu. Melalui propagandanya, zionis membuat tiap-tiap pihak yang mengkritiknya dilabeli antisemitis Dan rasis. Ketika ada pihak-pihak yang mengungkap kejahatan HAM yang dilakukan zionis, mereka akan menyebut pihak tersebut sebagai teroris, sebagaimana yang terjadi saat ini, enam lembaga kemanusiaan yang memperjuangkan nasib perempuan, anak, dan tawanan di Palestina, dicap teroris oleh zionis.
Klaim-klaim lawas yang dikeluarkan Israel tentunya tidak masuk akal, di luar nalar, dan melewati batas-batas kemanusiaan. Namun, sayangnya, dunia masih saja (dibuat) percaya. Padahal jika terhadap sesamanya saja Zionis mampu menyakiti, dapat kita bayangkan bagaiamana perilaku mereka terhadap penduduk Palestina sejak masa lalu hingga kini.
Fitriyah Nur Fadilah, S.Sos., M.I.P.
Penulis merupakan Ketua Departemen Penelitian dan Pengembangan Adara Relief International yang mengkaji realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana dan master jurusan Ilmu Politik, FISIP UI.
Sumber referensi :
Yousef Munayyer, “It’s time to admit that Arthur Balfour was a white supremacist – and anti-Semite, too,” diakses pada tanggal 30 Oktober 2021 dalam https://forward.com/opinion/386480/its-time-to-admit-that-arthur-balfour-was-a-white-supremacist-and-an-anti-s/
Hannah Bowler, “Giving Away Other People’s Land : The Making of the Balfour Declaration,” diakses pada tanggal 30 Oktober 2021 dalam https://prc.org.uk/upload/library/files/Balfour1CCNewSS.pdf
Joseph Massad, “Zionisme, anti-Semitism and colonialism,” diakses pada 30 Oktober 2021 pada https://www.aljazeera.com/opinions/2012/12/24/zionism-anti-semitism-and-colonialism
Joseph Massad, “Germany : An enduring enemy of the Palestinian struggle,” diakses pada 18 Juli 2021 dalam https://www.middleeasteye.net/opinion/germany-palestine-israel-enduring-enemy
Basheer Nafi, “Why the Balfour Declaration did not promise a Jewish state,” diakses pada tanggal 30 Oktober 2021 dalam https://www.middleeasteye.net/opinion/why-balfour-declaration-did-not-promise-jewish-state