“Saya tidak tahu bagaimana saya akan menghadapi ketidakhadiran suami saya dan membesarkan anak-anak tanpanya. Kadang-kadang, ketika anak-anak membuat saya marah, saya mengatakan kepada mereka: ‘Saya akan menelepon ayahmu,’ kemudian saya ingat bahwa dia tidak ada lagi di sini,” Maryam Abu Akar, seorang ibu tunggal dari Gaza, menceritakan kisahnya dengan air mata mengalir di pipinya yang pucat.
Maryam menikah pada usia 20 tahun dan langsung menjadi ibu rumah tangga. Hal ini membuatnya secara finansial bergantung pada mendiang suaminya, Salama, yang hanya bisa menghasilkan sekitar US$ 9 sehari dengan menjual pakaian di pasar. Ketika genosida dimulai di Jalur Gaza, situasi keluarga mereka semakin memburuk. Sebelum suaminya meninggal, Maryam mengatakan bahwa ia lebih dulu kehilangan Sarah, putrinya yang berusia 17 tahun, akibat bom pasukan Israel.
Setelah kehilangan Sarah, Maryam mengatakan bahwa suaminyalah yang selalu memberikan dukungan kepadanya. “Dia membantu saya menanggung beban kehilangan putri kami. Dia mengatakan kepada saya bahwa semuanya akan jadi lebih baik dan putri kami telah pergi ke surga,” kata perempuan berusia 40 tahun itu dalam sebuah wawancara di rumah keluarga suaminya di Khan Younis, Gaza selatan.
Tujuh pekan setelah putrinya meninggal, ketika Salama sedang mengobrol dengan seorang tetangga, sebuah bom mendarat di dekatnya, menghabisi nyawa suami Maryam dan tetangganya tersebut. Dalam sekejap, Maryam menjadi janda dan ibu tunggal bagi empat anak mereka yang tersisa. “Saya terbiasa mengandalkan suami saya untuk membesarkan anak-anak kami. Dia adalah satu-satunya pencari nafkah bagi kami. Saya tidak terbiasa memikul tanggung jawab sendirian. Saya tidak tahu bagaimana saya akan melanjutkan hidup dengan anak-anak saya,“ ungkap Maryam.
Maryam adalah satu dari puluhan ribu perempuan yang menjadi janda sekaligus ibu tunggal akibat genosida. Setidaknya ada 13.901 perempuan yang menjadi janda akibat genosida, berdasarkan laporan dari Zaher al-Wahidi kepada Anadolu pada 23 Januari 2025. Namun dari data tersebut belum ada angka pasti yang menunjukkan berapa banyak ibu tunggal yang ada di Gaza hingga saat ini. Yang pasti, para perempuan yang menjadi ibu tunggal akibat genosida menghadapi tantangan yang sama: kesedihan karena ditinggalkan oleh orang tercinta, kehilangan pencari nafkah untuk bertahan hidup, dan dipaksa untuk kuat demi membesarkan anak-anak mereka sendirian di tengah kondisi yang penuh kesulitan. Akan tetapi, mereka adalah perempuan-perempuan tangguh Palestina, yang akan tetap teguh menghadapi segala cobaan, juga selalu memiliki harapan di tengah kesulitan. Dan ini adalah kisah-kisah mereka: para ibu tunggal Gaza yang tangguh.
Perempuan yang Menjadi Ibu Tunggal karena Bencana Kelaparan

Folla Hamed Mousa Hamam (40 tahun) adalah seorang ibu dari tiga orang anak: Raneen (19), Haitham (17), dan Saleh (15). Ia ibu tunggal yang kehilangan suaminya akibat bencana kelaparan di Gaza tahun lalu. Ia menceritakan bahwa pada Februari 2024, tepung menjadi sangat langka di Gaza, membuat mereka terpaksa menggiling gandum dan makan roti hambar untuk mencegah kelaparan. Akan tetapi, gandum yang mereka andalkan habis dengan cepat, memaksa mereka untuk menggiling jelai dan jagung, yang rasa pahitnya hampir tak tertahankan. Keadaan semakin buruk ketika harga beras melonjak menjadi 200 shekel per kilogram, membuat mereka hanya bisa makan satu kali sehari jika ada makanan yang tersedia. Sumber air juga ditutup, sehingga mereka tak memiliki pilihan selain minum air asin.
Ketika situasi semakin memburuk, suami Folla, Mo’een, mengajak Rolla dan anak-anak mereka untuk melakukan perjalanan ke Jalur Gaza selatan, yang ia dengar kondisinya tidak terlalu parah demi kelangsungan hidup keluarga mereka. Akan tetapi, ketakutan dan kecemasan membuat Folla ragu. Di benaknya, ia mempertanyakan, “Bagaimana kita bisa meninggalkan tempat yang kita kenal, dalam kondisi kelaparan, untuk berjalan ke tempat yang asing dalam kondisi yang penuh dengan bahaya?” Namun, pada akhirnya, tekad suami dan anak-anaknya mengalahkan keraguan dalam hatinya.
Pada 22 Februari 2024, mereka mengumpulkan barang-barang yang tersisa, kemudian meninggalkan Sekolah Anak Perempuan Gaza. Perjalanan tersebut berat dan melelahkan. Suami dan anak-anak lelaki Folla berjalan di depan, sementara Folla berjalan di belakang dengan putrinya, Raneen. Kemudian, terdengar ledakan yang memekakkan telinga seolah membelah udara. Asap membumbung tinggi, jeritan dan isak tangis di sekitarnya bercampur dengan suara hati Folla yang hancur. Dengan putus asa, ia meneriakkan nama suami dan anak-anaknya, tetapi tidak ada jawaban. Di antara asap, ia melihat suaminya, Mo’een, runtuh ke tanah, darah mengalir dari kepalanya.
Beberapa menit berlalu dalam kebingungan dan ketidakberdayaan sebelum Folla menemukan kembali putrinya, Raneen, di tengah kekacauan. Wajahnya penuh ketakutan dan air mata. Akan tetapi, ia belum menemukan putra-putranya, Haitham dan Saleh, yang hilang dalam kegelapan asap. Orang-orang di sekitar mereka kemudian memperingatkan bahwa bahaya masih mengintai sehingga mendesak mereka untuk segera pergi. Dengan sisa-sisa kekuatan, Folla mencengkeram tangan Raneen yang gemetar, dan memulai perjalanan yang mengerikan untuk kembali ke Gaza utara dengan berjalan kaki. Kini, tak hanya kehilangan harapan untuk melanjutkan hidup di Gaza selatan, namun Folla juga kehilangan suami dan putra-putranya.
Keesokan paginya, Palang Merah tiba membawa berita yang menghancurkan: suami Folla, Mo’een, meninggal akibat cedera kepala. Demikian juga dengan putranya Haitham yang wafat dengan kondisi kehilangan mata, dan Saleh yang wafat akibat cedera leher. Mereka semua direnggut oleh bencana kelaparan dan penderitaan jauh sebelum kematian benar-benar menjemput mereka. Sejak saat itu, Folla dipaksa bertahan hidup dengan membawa beban kehilangan dan ingatan akan rasa lapar mereka.
Ia dan putrinya Raneen tinggal di tenda compang-camping yang banjir setiap kali air hujan turun di daerah mereka. Jika itu terjadi, mereka terpaksa tidur di tanah karena tempat tidur mereka terendam. Mereka tidak memiliki apa-apa untuk dimakan dan tidak ada sumber pendapatan, sehingga hanya mengandalkan bantuan, itu pun jika pasukan Israel mengizinkannya untuk masuk. Setiap saat, Folla mengatakan bahwa ia merindukan kemampuan untuk menyediakan makanan sehat untuk Raneen, satu-satunya bagian dari keluarganya yang selamat, tetapi bahkan keinginan kecil ini terasa seperti mimpi yang mustahil baginya sebagai seorang ibu tunggal di tengah genosida Gaza.
Kamp untuk Janda dan Ibu Tunggal, Menyatukan Perempuan-Perempuan Gaza sebagai Keluarga

Di Gaza, laki-laki berperan sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga. Akan tetapi, bahkan sebelum genosida dimulai, blokade Israel yang telah berlangsung selama bertahun-tahun telah membuat kesempatan kerja menjadi sangat langka di daerah kantong itu, membuat tingkat pengangguran sebelum genosida mencapai 45 persen–persentase pengangguran tertinggi di dunia.
Di samping sulitnya mencari kesempatan kerja, norma dan hukum konservatif yang berlaku di masyarakat mempersulit sebagian besar perempuan untuk dapat bersaing di pasar tenaga kerja. Sebenarnya hal tersebut bertujuan untuk memberi ruang bagi laki-laki agar bisa mendapat pekerjaan di tengah kesempatan kerja yang sangat sempit, agar dapat mengurus para perempuan di keluarga masing-masing. Akan tetapi, hal ini membuat para perempuan menjadi sepenuhnya bergantung pada pasangan atau wali mereka.
Sebagian besar perempuan di Gaza tidak pernah memiliki pekerjaan formal, dan sekarang, bahkan jika mereka bisa bekerja, hampir tidak ada peluang yang tersedia karena genosida. Setidaknya dua pertiga atau sekitar 192.000 pekerjaan di Gaza telah hilang sejak genosida dimulai. Organisasi Perburuhan Internasional pada akhir Desember 2023, memperingatkan bahwa perempuan yang sebelumnya bekerja di bidang pertanian juga bisa kehilangan pendapatan jika meningkatnya pengangguran mengakibatkan laki-laki harus mengambil lahan pekerjaan mereka.
Melihat kondisi para ibu tunggal di Gaza yang sangat memprihatinkan, beberapa pihak berinisiatif membuat kamp bantuan untuk mengumpulkan mereka. Di tepi utara Rafah yang kacau, tempat operasi darat Israel selama berpekan-pekan memaksa lebih dari 500.000 orang berlarian menyelamatkan diri, dan tepat sebelum kota itu menyatu dengan Khan Younis yang porak poranda akibat serangan Israel, didirikanlah kamp yang diperuntukkan bagi janda cerai, atau para janda dari syuhada, juga ibu tunggal beserta keluarga mereka. Dikelilingi kawat berduri, terutama di sisi yang menghadap ke jalan, Kamp Al-Farouk for Orphans, Widows and Divorcees menjadi tempat para perempuan tangguh Gaza untuk saling menguatkan.
Manajer Kamp Al-Farouk, Ibrahim Meshawekh, mengatakan bahwa kamp ini didirikan untuk kebutuhan mendesak. “Setelah terlibat dalam pekerjaan kemanusiaan sejak awal genosida, dan berinteraksi langsung dengan para ibu yang sendirian merawat keluarga mereka, banyak yang menyarankan bahwa mereka perlu disatukan di tempat yang bisa memenuhi sebagian kebutuhan keluarga mereka dan membuat mereka merasa lebih aman. Itu adalah kebutuhan yang jelas dan mendesak,” kata Ibrahim kepada The New Arab. Dimulai dengan uang tabungannya sendiri dan seorang teman, mereka mulai mendirikan kamp ini, lalu menjangkau donor lokal dan internasional untuk membantu berkontribusi pada layanan dan mendukung pelayanan kamp ini terhadap ratusan perempuan dan anak-anak yatim piatu.
Hend Abu Ouda adalah salah satu dari ratusan ibu tunggal yang menetap di kamp tersebut. Ia merupakan seorang ibu dari lima putri dan dua putra yang kehilangan suaminya akibat serangan Israel di rumah mereka. “Di sini lebih aman dan sebagian kebutuhan dasar kami terpenuhi, tetapi persediaannya jauh lebih sedikit dari yang dibutuhkan keluarga,” kata ibu tunggal berusia 44 tahun itu. Karena terpaksa berbagi tenda dengan janda dan ibu tunggal lain beserta anak-anaknya, Hend mengatakan minimnya ruang dan privasi membuatnya kurang nyaman, meski ia tetap bersyukur karena memiliki tempat untuk menetap bersama anak-anaknya. “Kami bersyukur atas segalanya, mulai dari air bersih hingga tempat penampungan. Namun, kami mengharapkan kondisi yang lebih baik,” katanya.
Menurut manajer kamp, keluarga lain yang mengetahui keberadaan kamp tersebut datang berbondong-bondong setiap hari, tetapi tidak ada tenda yang tersedia untuk menampung lebih banyak keluarga.
Asmaa ElSherif, pengawas di kamp, menambahkan bahwa serangan Israel sangat memengaruhi ketersediaan kebutuhan mereka. “Harga terus meningkat, sementara persediaan berkurang. Kondisi itu akan terus memburuk jika penyeberangan tetap ditutup,” katanya, menambahkan bahwa keluarga di kamp semakin khawatir bahwa suatu saat kamp juga akan diserang. “Kami telah menjadi seperti satu keluarga besar di sini. Kami melayani satu sama lain dan semua berusaha untuk menciptakan kenyamanan. Kamp ini adalah pelipur lara bagi banyak orang dan karenanya, ada ketakutan bahwa tempat berlindung ini pun akan dirampas,” pungkasnya.
Perjuangan Ibu Tunggal Gaza di Diaspora, Keluar dari Gaza Bukan Penyelesaian Masalah

Di Gaza, para ibu tunggal memang menghadapi kesulitan yang terus datang silih berganti. Akan tetapi, hal tersebut tidak menafikan bahwa para ibu tunggal yang mengungsi dari Jalur Gaza juga menghadapi kesulitan tersendiri di diaspora. Ribuan warga Palestina terpaksa mengungsi ke negara lain, salah satunya Mesir, karena genosida yang sedang berlangsung di Gaza. Mayoritas dari mereka adalah anak-anak, yang biasanya ditemani oleh seorang wali – kebanyakan adalah ibu mereka. Keluarga-keluarga ini menghadapi masa depan yang tidak pasti di perantauan. Kurangnya tempat tinggal resmi bagi pendatang baru Palestina di Mesir telah membuat hampir mustahil bagi para ibu tunggal untuk menyediakan kebutuhan dasar, mengakses layanan kesehatan atau memastikan keberlangsungan pendidikan anak-anak mereka.
Abeer adalah salah satu ibu tunggal yang sendirian merawat anak-anaknya di Mesir. “Saya dirawat di Mesir bersama anak-anak saya karena saya seorang pasien kanker. Anak bungsu saya, Zain, adalah anak yang paling berjuang,” kata ibu tunggal berusia 56 tahun tersebut. Setelah bertahan selama berbulan-bulan dengan kesulitan yang tak terduga di Gaza, Abeer dan anak-anaknya akhirnya berhasil tiba di Mesir. Tragisnya, suaminya meninggal hanya dua minggu setelah kedatangan mereka di Kairo, karena komplikasi penyakitnya di tengah kondisi yang mengerikan di Gaza utara.
Abeer menceritakan bahwa putra bungsunya, Zain, yang berusia 15 tahun, sangat menyukai sepak bola. Di Gaza, ia berlatih setiap hari, tetapi kehidupan di pusat kota Kairo yang padat, dekat rumah sakit tempat ibunya dirawat, terasa sangat asing. Namun, setelah beberapa bulan, Zain menemukan klub sepak bola setempat, tempat ia membangun kembali hidupnya setelah mengalami trauma yang tidak seharusnya dialami anak-anak seusianya di Gaza.
Zain, yang dulunya siswa berprestasi, dengan impian menjadi dokter, khawatir dengan pendidikannya yang terganggu ini. “Saya rindu belajar,” katanya, merenungkan masa depannya yang tidak menentu di negeri orang. Zain telah mengajukan beasiswa untuk mendaftar di Al-Azhar dan sedang menunggu keputusan lembaga tersebut, sambil berharap dapat melanjutkan pendidikannya di Mesir.
Kisah lainnya diutarakan oleh ibu tunggal bernama Fedaa. “Kami benar-benar mengalami gangguan mental. Saya bahkan tidak punya uang untuk melengkapi apartemen sewaan kami, apalagi mengajak anak-anak jalan-jalan untuk melepaskan energi dan menyembuhkan trauma mereka,” kata Fedaa, ibu berusia 36 tahun dari Jana (14), Mohamed (13), Moamen (11), dan Tala (7).
Putranya, Mohamed, mengalami kondisi gangguan kesehatan yang membuatnya kehilangan kesadaran di ruang tertutup. “Ketika kami pertama kali tiba di Kairo, kami naik bus, dan Mohamed tiba-tiba jatuh ke tanah. Orang-orang membantu mengangkatnya ke trotoar hingga ia bangun,” kenangnya. Ia mengatakan bahwa ia harus menggunakan sisa tabungan untuk pemeriksaan medis Mohamed. Meskipun mengalami kesulitan finansial, Fedaa tetap memprioritaskan pendidikan anak-anaknya. Ia mengatakan bahwa Jana dan Mohamed telah mendaftar di tempat kursus bahasa Inggris sambil menunggu kesempatan untuk melanjutkan sekolah formal.
Taghreed, yang juga merupakan ibu tunggal, menghadapi masalah serupa di Mesir. “Saya memiliki tiga anak yang terdaftar dalam program online, dan mereka perlu masuk pada saat yang sama. Bagaimana saya bisa menyediakan mereka perangkat elektronik untuk mereka bertiga ketika saya hampir tidak mampu membeli makanan?” kata Taghreed. Program pendidikan online, yang disediakan oleh Kementerian Pendidikan di Tepi Barat adalah salah satu dari sedikit pilihan pendidikan yang tersedia untuk anak-anak Palestina yang terlantar di Gaza dan Mesir.
Anak bungsu Taghreed, Amir (10 tahun), menunjukkan perubahan perilaku sejak mereka mengungsi ke Mesir. “Mereka tidak tidur. Mereka hanya menatap ponsel mereka, menonton berita dan mencoba menghubungi ayah mereka,” katanya. Suami Taghreed menjual semua barang-barangnya untuk mengamankan perjalanan mereka dari Gaza, tetapi hidup tetpisah dari sosok ayah sangat memengaruhi mental anak-anak. Tanpa penghasilan, Taghreed kini berjuang untuk menciptakan ruang bagi anak-anaknya demi menyembuhkan luka batin mereka.
Ibu Tunggal Gaza, Secercah Cahaya Bagi Penerus Generasi Perjuangan Palestina
“Rengekan seorang ibu tunggal Palestina jatuh di telinga tuli karena kebisingan suka ria palsu yang menyembunyikan derita Palestina.
Namun demikian, seorang ibu tunggal Palestina melipat kesedihannya, menyimpannya dengan harapan dapat memeluk kesedihan anak-anaknya dan menguranginya dengan cara apa pun.”
(Marwa Essam, Pesan untuk Istri Mendiang Khaled Nabhan)
“Jaga mereka dengan baik,” kata Abdullah Al-Faran kepada istrinya, Areej, sembari menatap ketiga anak mereka. “Aku akan mengambil beberapa barang dan kembali.” Tanpa mereka sadari, itu adalah kata-kata terakhir Abdullah sebelum ledakan bom Israel merenggut nyawanya. Seketika, Areej (26 tahun) menjadi ibu tunggal bagi tiga anaknya: Maher (4), Naya (5), dan Watan (2). “Apa yang sangat menyedihkan saya,” kata Areej, “adalah ketika anak-anak saya bertanya tentang ayah mereka dan mempertanyakan mengapa dia tidak lagi bersama kami.” Ia menambahkan bahwa putrinya, Naya, sering bertanya, “Apakah kita akan mati seperti Baba?”
Kisah Areej, sebagaimana kisah ibu-ibu tunggal lainnya di Gaza, menyampaikan kesedihan sekaligus ketangguhan pada saat bersamaan. Tidak dapat dipungkiri, para ibu tunggal Gaza menghadapi beban yang sangat berat karena kehilangan pasangan hidup dan kepala keluarga tempat mereka bergantung. Namun di sisi lain, tergambar ketangguhan dan kekuatan yang terpancar dari tekad kuat mereka untuk terus membesarkan anak-anak dan memberikan yang terbaik bagi mereka — generasi penerus perjuangan Palestina.
Oleh karena itu, menjadi seorang ibu tunggal di Gaza bukanlah peran kecil, melainkan tanggung jawab yang sangat besar karena harus mengemban sejumlah tanggung jawab secara bersamaan: menjadi pencari nafkah sekaligus pengurus seluruh anggota keluarga. Saat ini, dunia mungkin belum terlalu mengarahkan pandangan pada mereka, sehingga jumlah para ibu tunggal Gaza tidak tercatat dalam data resmi. Mereka seringkali luput dari perhatian, sebab dipandang sebagai perempuan dewasa yang sudah mampu mengemban tanggung jawab untuk mengurus keluarga. Namun, dunia lupa bahwa kondisi Gaza berbeda; sulitnya mencari pekerjaan dan terbatasnya kebutuhan pokok telah mempersulit para ibu tunggal dalam menjalankan peran ganda mereka. Sebagaimana ibu lainnya di seluruh belahan dunia, para ibu tunggal di Gaza juga berhak mendapatkan dukungan dan bantuan baik secara mental maupun material. Sebab mereka adalah satu-satunya harapan bagi generasi penerus perjuangan Palestina di Jalur Gaza.
Salsabila Safitri, S.Hum.
Penulis merupakan Relawan Departemen Penelitian dan Pengembangan Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana jurusan Sastra Arab, FIB UI.
Sumber:
https://wearenotnumbers.org/to-be-a-widow-in-gaza-during-a-genocide/
https://pchrgaza.org/i-lost-my-husband-and-children-because-of-hunger/
https://foreignpolicy.com/2024/01/12/gazas-widows-are-fighting-for-their-families-lives/
https://www.newarab.com/features/gaza-orphans-widows-single-mothers-find-solace-special-camp
https://www.bbc.com/news/world-middle-east-68471121
https://www.unicef.org/egypt/stories/struggles-and-dreams-shadows-war
https://www.aljazeera.com/podcasts/2024/3/21/the-take-the-strength-and-agony-of-gazas-mothers
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di sini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini