Israel baru saja membunuh Ismail Haniyeh di Teheran, Iran, pada Rabu (31/7). Haniyeh, pemimpin politik Hamas, merupakan tokoh kunci dalam perundingan gencatan senjata. Pembunuhan ini semakin memperjelas bahwa Israel hendak mengobarkan eskalasi regional untuk menghindari gencatan senjata permanen di Gaza, yang sangat dibutuhkan untuk menyelamatkan nyawa warga Palestina. Hingga kini, agresi genosida Israel yang menghancurkan Gaza telah membunuh hampir 40.000 orang, mengusir hampir seluruh populasi yang berjumlah 2,3 juta orang dan menyebabkan bencana kelaparan Gaza.
Operasi Israel untuk pembunuhan di luar negeri banyak dilakukan oleh Mossad, badan intelijen luar negeri Israel. David Barnea, kepala Mossad, mengatakan pada Januari bahwa badan intelijennya “diwajibkan” untuk memburu para pemimpin Hamas. “Tangan kami akan menangkap mereka di mana pun mereka berada,” kata Barnea
Haniyeh telah lama menjabat sebagai kepala politbiro Hamas dan dipandang sebagai tokoh moderat yang perannya sangat vital dalam upaya diplomatik berkelanjutan terkait gencatan senjata antara Hamas dan Israel yang dijembatani oleh Qatar dan Mesir. Pembunuhan Ismail Haniyeh kemungkinan akan menimbulkan rintangan lain dalam negosiasi gencatan senjata yang selama ini berjalan lambat.
Hamas menggambarkan pembunuhan Ismail Haniyeh sebagai eskalasi serius yang tidak akan dibiarkan begitu saja. Sementara itu, Brigade Izzudin al-Qassam, sayap militer Hamas mengatakan pembunuhan tersebut sebagai “peristiwa kritis dan berbahaya yang dapat membawa pertempuran ke dimensi baru, dan akan berdampak besar pada seluruh wilayah”. Menurut Hamas, Israel melakukan perhitungan buruk dengan memperluas “lingkaran agresi” yang melanggar kedaulatan Iran.
Imad Salamey, seorang ilmuwan politik dan sarjana di Universitas Amerika Lebanon, meyakini bahwa Iran dan “proksinya” akan terdorong untuk menanggapi pembunuhan Haniyeh di wilayah kedaulatannya. Terlebih lagi, pembunuhan itu terjadi hanya beberapa jam setelah Israel menyerang sebuah gedung pada Selasa malam (30/7) di Dahiya, kawasan ramai di ibu kota Lebanon, Beirut, yang menewaskan Fuad Shukr, komandan senior Hizbullah.
Selain itu, pembunuhan terhadap Haniyeh terjadi tidak lama setelah perwakilan Hamas dan Fatah bertemu di Beijing, Tiongkok pada Selasa, 23 Juli 2024, dalam putaran kedua perundingan yang diselenggarakan Beijing sejak April. Perundingan dilakukan karena visi Gaza pascaperang secara luas dipandang bergantung pada rekonsiliasi antara faksi-faksi Palestina yang selama ini terpecah.
Memandang pada hal-hal tersebut, maka pembunuhan terhadap pemimpin politik Hamas, Ismail Haniyeh, kemungkinan akan berdampak pada tiga hal, yaitu merusak pembicaraan gencatan senjata atau negosiasi pertukaran tawanan, menghancurkan peluang persatuan Palestina setelah pertemuan Beijing, dan mendorong Hamas serta faksi perlawanan Palestina lainnya untuk meningkatkan perlawanan.
Pembunuhan Haniyeh dan Ilusi Kemenangan Israel
“Bagaimana mediasi dapat berhasil jika satu pihak membunuh negosiator di pihak lain?” Perdana Menteri Qatar Mohammed bin Abdulrahman Al-Thani, seorang mediator dalam perundingan tersebut, memposting di X.
Pada awal Juli, Haniyeh menghubungi para mediator di Qatar dan Mesir untuk perundingan gencatan senjata. Ada harapan bahwa kesepakatan kerangka kerja akan terjadi pada awal Agustus. Namun, pembunuhan terhadap Haniyeh akan mempersulit perundingan mediasi, sebab Haniyeh berperan penting dalam mendapatkan terobosan tertentu dalam perundingan. Ismail Haniyeh dan Yahya Sinwar merupakan “pengambil keputusan utama” mengenai gencatan senjata.
Haniyeh, seorang keturunan penyintas Nakba yang lahir dan dibesarkan di Kamp Pengungsi al-Shati di Gaza, adalah pemimpin yang populer di kalangan warga Palestina. Pada 2006 ia menjadi perdana menteri Palestina setelah Hamas memenangkan kursi terbanyak dalam pemilihan parlemen Palestina dan menjadi pemimpin politik kelompok tersebut pada tahun 2017.
Dua tahun setelahnya, Haniyeh pergi ke pengasingan di Qatar. Dari sana, Haniyeh menjadi wajah diplomasi internasional bagi kelompok Hamas dan dipandang sebagai seorang yang moderat, yang bersedia mempertimbangkan bahwa rekonsiliasi dan diplomasi dengan Israel adalah jalan yang tepat untuk ditempuh. Haniyeh juga dianggap sebagai jalur komunikasi utama yang dapat menjembatani pembicaraan dengan tokoh Hamas di Gaza yang memiliki kecenderungan untuk menempuh jalur militer, seperti Yahya Sinwar.
Terdapat anggapan bahwa pembunuhan Haniyeh dapat mengangkat popularitas Netanyahu yang merosot karena selama 10 bulan agresi tidak mampu mencapai tujuan politik dan militernya untuk mengalahkan Hamas sepenuhnya, apalagi memusnahkannya, atau menggulingkan kelompok itu dari kekuasaannya di Gaza. Ia juga gagal membebaskan tawanan Israel melalui cara militer, kecuali beberapa orang
Mairav Zonszein, pakar Israel-Palestina untuk International Crisis Group, yakin bahwa Netanyahu bisa saja mencoba menggembar-gemborkan pembunuhan Haniyeh sebagai “kemenangan” bagi Israel, sehingga secara politis lebih memungkinkan baginya untuk menyetujui gencatan senjata.
Namun, pembunuhan Haniyeh hanyalah ilusi kemenangan bagi Israel, sebab sejauh ini, setiap pembunuhan yang dilakukan oleh Israel terhadap petinggi Hamas, tidak menggoyahkan posisi Hamas. “Mungkin tidak akan ada perubahan dramatis dalam dinamika pertempuran di Gaza, tetapi prospek gencatan senjata yang sangat dibutuhkan akan semakin jauh dari sebelumnya,” kata Nour Odeh, seorang analis politik kepada Al Jazeera.
Sebaliknya, pembunuhan terhadap Haniyeh dikhawatirkan akan meningkatkan perlawanan di seluruh Palestina. Sejak didirikannya, Hamas telah menyaksikan banyak pemimpin utamanya dibunuh, tetapi kekuatan dan popularitasnya terus tumbuh. Misalnya pada tahun 2002 ketika Israel membunuh pemimpin tertinggi Al-Qassam, Salah Shehadeh, muncul Mohammed Deif untuk menggantikannya.
Deif kemudian mengubah al-Qassam dari sayap militer kecil menjadi pasukan besar yang terorganisasi dengan baik dan memiliki spesialisasi dalam persenjataan. Ia juga membantu merekayasa jaringan terowongan bawah tanah yang membentang di bawah Gaza dan masuk ke “wilayah teritorial” Israel, yang memungkinkan pejuang Hamas mengakses wilayah tersebut.
Hamas telah menegaskan bahwa pembunuhan itu tidak akan menjadikan Israel mencapai tujuannya dan tidak akan mendorong Hamas untuk menyerah.
Nasib persatuan Palestina, apakah berada di ujung tanduk?
Pada Selasa (23/7), di Beijing, faksi-faksi Palestina telah menandatangani perjanjian “persatuan nasional” yang bertujuan untuk mempertahankan kendali Palestina atas Gaza setelah agresi Israel di Gaza berakhir. Perjanjian tersebut ditandatangani oleh Hamas dan Fatah yang telah lama berseteru, serta 12 kelompok Palestina lainnya. “Kami berada di persimpangan sejarah,” kata Musa Abu Marzuk.
Jamak diketahui bahwa perselisihan antara Hamas dan Fatah memuncak ketika pada 2006 Hamas mencalonkan diri dalam pemilihan legislatif Palestina untuk pertama kalinya sejak didirikan. Dalam hasil yang mengejutkan, Hamas memenangkan suara terbanyak dan Haniyeh menjadi Perdana Menteri Otoritas Palestina (PA). Ini memberikan pukulan bagi Fatah dan membuat Amerika Serikat, yang telah menyerukan pemilihan umum, ikut campur untuk mengacaukan situasi politik Palestina.
Senator New York saat itu, Hillary Rodham Clinton mengatakan dalam rekaman yang bocor setelah Pemilu, “Saya pikir kita tidak seharusnya mendorong pemilihan umum di wilayah Palestina. Itu adalah kesalahan besar. Dan jika kita akan mendorong pemilihan umum, maka kita seharusnya memastikan bahwa kita melakukan sesuatu untuk menentukan siapa yang akan menang.”
Pemerintah Barat kemudian menghentikan bantuan kepada PA, menempatkan badan tersebut di bawah tekanan keuangan yang parah. AS dan sejumlah pemerintahan Barat lainnya menetapkan Hamas sebagai organisasi “teroris”. Di tengah tekanan Barat dan meningkatnya ketegangan antara Hamas dan Fatah, Presiden PA Mahmoud Abbas memecat Haniyeh dan membubarkan pemerintahannya. Hal ini menghasilkan pemerintahan independen Hamas di Gaza pada tahun 2007, yang dipimpin oleh Haniyeh.
Pertemuan di Beijing pada 23 Juli lalu merupakan putaran kedua dari pertemuan sebelumnya yang telah dilakukan pada April, melalui mediasi Tiongkok. Menteri Luar Negeri Tiongkok Wang Yi mengatakan perjanjian yang disahkan pada 23 Juli “didedikasikan untuk rekonsiliasi besar dan persatuan dari semua 14 faksi.”
“Hasil intinya bahwa PLO (Organisasi Pembebasan Palestina) adalah satu-satunya perwakilan sah dari semua rakyat Palestina,” kata Wang, seraya menambahkan bahwa “suatu perjanjian telah dicapai mengenai tata kelola pascaperang Gaza dan pembentukan pemerintahan rekonsiliasi nasional sementara.”
Mustafa Barghouti, Sekjen Inisiatif Nasional Palestina, mengatakan empat elemen utama yang disepakati, yakni pembentukan pemerintahan persatuan nasional sementara, pembentukan kepemimpinan Palestina yang bersatu menjelang pemilihan umum mendatang, pemilihan bebas Dewan Nasional Palestina yang baru, dan deklarasi persatuan umum dalam menghadapi serangan Israel yang terus berlanjut.
Sementara itu, Hossam Badran, anggota Biro Politik Hamas, mengatakan bahwa pertemuan tersebut menyetujui pembentukan pemerintahan konsensus untuk mengelola urusan warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat, mengawasi rekonstruksi, dan juga mempersiapkan suasana untuk pemilihan umum pada tahap selanjutnya.
Dalam hal mempersatukan faksi-faksi di Palestina, ada tiga sosok yang dianggap penting, yakni Marwan Barghouti yang berada di penjara Israel dan merupakan tawanan prioritas yang diminta Hamas dalam kesepakatan pertukaran tawanan. Ada pula Mahmoud Abbas yang kini berusia 90 tahun, dan yang terakhir adalah Ismail Haniyeh, tokoh utama Hamas dalam negosiasi gencatan senjata. Pembunuhan Haniyeh menyisakan pertanyaan tentang siapa yang nantinya mampu menjembatani dialog lanjutan antara Hamas dan Otoritas Palestina.
Presiden Palestina, Mahmoud Abbas, menyebut pembunuhan tersebut sebagai “tindakan pengecut dan eskalasi serius.” Sekutu Haniyeh yang juga mantan pesaingnya itu mengecam pembunuhan tersebut di tengah kekhawatiran bahwa pembunuhan Haniyeh saat berkunjung ke Teheran dapat memicu tanggapan yang lebih luas.
Sementara itu, menanggapi dampak pembunuhan Haniyeh terhadap upaya perdamaian Tiongkok di Timur Tengah dan terhadap Deklarasi Beijing yang baru-baru ini ditandatangani faksi-faksi Palestina, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Lin Jian menegaskan bahwa Tiongkok akan terus mendukung rekonsiliasi internal Palestina dan meyakini hal tersebut sebagai langkah penting menuju penyelesaian masalah Palestina dan mewujudkan perdamaian dan stabilitas di Timur Tengah.
“Tiongkok memuji faksi-faksi Palestina atas upaya mereka pada Deklarasi Beijing, dan menantikan hari ketika faksi-faksi Palestina mencapai rekonsiliasi dan, atas dasar itu, mewujudkan negara merdeka sedini mungkin,” kata Lin, seraya menambahkan bahwa Tiongkok akan terus bekerja sama dengan pihak-pihak terkait demi mencapai tujuan itu.
Hal senada disampaikan oleh Sami al-Arian, aktivis dan peneliti Palestina. Menurutnya, pembunuhan Haniyeh hanya akan mempersatukan warga Palestina. Baru-baru ini, tepatnya pada Ahad, 28 Juli 2024, Haniyeh menyerukan demonstrasi besar-besaran pada Sabtu, 3 Agustus 2024 sebagai protes atas genosida Gaza.
“Kami berharap bahwa 3 Agustus akan menjadi hari yang penting, signifikan, dan berdampak di seluruh Palestina, di kamp-kamp pengungsi dan diaspora, di dunia Arab dan Islam, dan di antara semua orang bebas di seluruh dunia, untuk mendukung rakyat kami di Gaza dan tawanan di penjara-penjara pendudukan (Israel),” kata Haniyeh dalam sebuah pernyataan pers, untuk menandai lebih dari 300 hari sejak “pendudukan Nazi-Zionis” melancarkan perang genosida “melawan rakyat Gaza”, kata Haniyeh.
“Seruan ini muncul karena kebungkaman dan ketidakmampuan internasional untuk menghentikan perang agresif terhadap rakyat dan tawanan kami, bias, dukungan, dan kemitraan penuh dari pemerintah AS dalam agresi ini, dan kegagalan lembaga hak asasi manusia dan kemanusiaan untuk bertanggung jawab dalam memberikan dukungan dan pertolongan kepada rakyat kami di Gaza dan tawanan kami di penjara musuh Zionis,” pungkasnya.
Ismail Haniyeh telah terbunuh. Namun, suaranya masih menggema, dan seruan terakhirnya adalah agar warga dunia terus bersuara mendukung Gaza. Dengan demikian, terbunuhnya Haniyeh tidak diragukan lagi akan memicu mobilisasi besar-besaran di seluruh dunia Arab dan Muslim untuk menghentikan perang agresi genosida di Gaza dan membawa warga Palestina lebih dekat menuju kebebasan dan kemerdekaan. (LMS)
Sumber:
https://www.aljazeera.com/news/2024/7/31/life-of-defiance-ismail-haniyeh-hamas-political-boss-killed
https://www.bbc.com/news/articles/c1wex26nl61o
https://www.dw.com/en/what-are-chinas-goals-in-hosting-palestinian-summit/a-69714768
https://www.iemed.org/publication/the-year-of-the-victory-of-hamas/
https://www.middleeasteye.net/opinion/ismail-haniyeh-death-hamas-survive-many-times-before
https://www.middleeasteye.net/opinion/ismail-haniyeh-killing-moment-truth-middle-east
https://www.middleeasteye.net/news/hamas-who-are-key-leaders
https://www.newarab.com/news/general-strike-west-bank-after-haniyeh-assassination
https://www.nytimes.com/2024/08/01/world/middleeast/how-hamas-leader-haniyeh-killed-iran-bomb.html
https://www.washingtonpost.com/world/2023/10/24/gaza-election-hamas-2006-palestine-israel/
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini