Ahmad, demikian nama bayi yang lahir di salah satu rumah sakit di Tepi Barat beberapa minggu setelah serangan Zionis terhadap Gaza pada bulan Mei. Ahmad yang baru beberapa saat menyapa dunia sudah menderita akibat kelaparan karena ibunya tidak bisa menghasilkan air susu untuknya. Ibu Ahmad, May Al Masri, merupakan salah satu perempuan malang yang menderita trauma akibat serangan Zionis bulan Mei lalu.
Usia kandungan May Al Masri telah mencapai trimester terakhir ketika Zionis melakukan penyerangan pada bulan Mei. Sebuah roket mendarat di luar rumahnya saat Masri sedang menyiapkan makan malam. Ketika keluar rumah untuk menyelamatkan diri, Masri mendapati suaminya sudah terluka parah sementara putranya yang baru berusia satu tahun, Yasser, tewas bersimbah darah. Sebagai seorang ibu, separuh jiwa Masri bagaikan hilang bersama dengan kepergian putra pertamanya.
Beberapa minggu setelah kejadian tersebut, Masri melahirkan Ahmad. Tidak seperti wanita melahirkan pada umumnya, Masri tidak merasakan kontraksi saat melahirkan. Selain itu, tubuh Masri juga tidak bisa menghasilkan air susu untuk Ahmad akibat trauma berat yang dialaminya. Setelah Ahmad lahir, Masri selalu menatap foto putra pertamanya, Yasser, pada layar ponselnya. Masri terus memandangi wajah Yasser yang duduk di lantai sambil tersenyum, sementara bayi Ahmad hanya ia letakkan di pangkuannya.
“Saya tidak bisa mengunjungi makamnya. Saya telah menghapus seluruh foto tentang ledakan. Saya tidak sanggup melihatnya. Bahkan, jika saya ingin pergi dan memberikan masa depan yang lebih baik kepada putra saya yang baru lahir, tidak ada tempat untuk pergi,” kata Masri. Kalimatnya menggambarkan rasa putus asa akan adanya harapan setelah kejadian menyakitkan yang telah dialaminya.

Yasser adalah salah satu dari 68 anak Palestina yang menjadi korban penyerangan 11 hari yang dilakukan oleh Zionis pada bulan Mei. Serangan ini menewaskan 256 penduduk Palestina berdasarkan keterangan pihak berwenang di sana. Akan tetapi, sebanyak 97 bayi juga dilahirkan dalam jangka waktu 11 hari tersebut.[1] Sayangnya, bayi-bayi ini lahir dari rahim para wanita yang mentalnya terluka akibat trauma pascaserangan Zionis terhadap Gaza.
“Situasi abnormal seperti perang dapat menciptakan ketakutan dan depresi parah yang dapat mempengaruhi kesehatan ibu dan anak. Perubahan hormon bahkan bisa membuat perempuan tidak bisa menyusui anaknya,” Kata Helana Musleh, psikolog yang bekerja di rumah sakit Al-Awda di Gaza Utara. “Beberapa wanita tidak dapat menyusui bayinya, memeluknya, atau bahkan menerimanya karena mereka hadir ketika keadaan sedang sulit. Beberapa wanita memiliki gejala lain seperti gangguan tidur dan gangguan makan akibat pengeboman, serta rasa takut kehilangan anak-anak mereka, orang yang mereka cintai, atau rumah, terutama di wilayah utara Jalur Gaza,” lanjut Musleh. Data dari WHO pada tahun 2019 menunjukkan sebanyak 210,000 penduduk di Jalur Gaza mengalami gangguan kesehatan mental akibat konflik yang terjadi, termasuk ibu hamil, ibu yang baru melahirkan, dan anak-anak kecil.[2]
Berdasarkan data dari PBB tahun 2015, kurang dari 50 persen bayi yang disusui pada jam-jam pertama kelahiran dan hanya sekitar 36 persen bayi di Gaza dengan usia di bawah 6 bulan yang disusui secara eksklusif oleh ibu mereka.[3] Jumlah ini sebenarnya merupakan peningkatan karena pada tahun 2004, persentase bayi di bawah usia 6 bulan yang disusui secara eksklusif hanya sebanyak 27 persen di Tepi Barat dan 24 persen di Gaza. Bahkan, data pada tahun 2000 lebih memprihatinkan karena persentase bayi di bawah usia 6 bulan yang disusui secara eksklusif hanya 18 persen di Tepi Barat dan 15 persen di Jalur Gaza.[4]
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh BMC Public Health pada 2021, jumlah wanita yang mempraktikkan inisiasi menyusui dini meningkat menjadi 63%. Data lainnya menyebutkan sebanyak 42 persen wanita memberi bayi mereka cairan lain selain ASI pada tiga hari pertama kehidupan, 50 persen mengatasi kekurangan ASI dengan minum cairan tambahan, dan 40 persen memberi susu formula kepada bayi mereka. Mirisnya, ternyata hanya 18 persen wanita yang menerima informasi tentang pentingnya menyusui dari tenaga kesehatan profesional. Padahal, pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama kehidupan dapat mencegah kematian bayi akibat diare, pneumonia, serta meningkatkan kualitas hidup anak dengan persentase sebesar 13 persen.[5]

Sumber : Global Nutrition Report

Sumber : Global Nutrition Report
Selain Masri, kisah duka juga dialami oleh Wissam Maher Mater yang sudah dua minggu tidak bisa melihat bayi yang ia lahirkan. Mater mengalami komplikasi saat sebuah roket menghantam bagian luar rumahnya sehingga membuatnya pingsan. Tindakan operasi caesar segera dilakukan untuk menyelamatkan Mater dan bayi dalam kandungannya. Keduanya selamat, namun bayi Mater harus dilarikan ke unit perawatan intensif di rumah sakit anak yang berada di sisi lain kota karena paru-parunya tidak cukup kuat untuk bisa bernafas tanpa bantuan alat. Oleh sebab itu, bayi mungil tersebut terpaksa dipisahkan dari ibunya yang sedang dalam masa pemulihan setelah melahirkan. Mater hanya bisa melihat bayinya dari foto-foto yang dikirimkan oleh perawat yang bekerja di rumah sakit yang sama dengan bayinya.
Kasus Mater bukanlah yang pertama terjadi di Palestina. Berdasarkan data dari Januari 2018 hingga Juni 2019, sebanyak 56 bayi yang baru dilahirkan harus dipisahkan dari orang tua mereka karena ibu dan ayah mereka tidak mendapat izin untuk bisa keluar dari Gaza, sementara bayi mereka harus dibawa ke luar Gaza karena alasan kesehatan. Sebanyak 6 bayi dilaporkan meninggal di rumah sakit Al-Makassed. Bayi-bayi ini berjuang di detik-detik terakhir kehidupan mereka tanpa didampingi oleh orang tua. Bahkan, para orang tua tidak diberikan informasi yang memadai mengenai bayi mereka dan tidak diizinkan menghadiri pemakaman secara normal.[6]

Salah satu faktor yang menjadi penyebab bayi-bayi dipisahkan dari orang tua mereka yaitu akibat kurangnya obat-obatan yang tersedia di rumah sakit Palestina. Kementerian Kesehatan melaporkan bahwa pada akhir Juli 2019, 48 persen obat-obatan penting di Gaza sama sekali tidak tersedia. Di antara obat-obatan tersebut, 71 persen adalah untuk keperluan ibu dan bayi, sementara 56 persen untuk onkologi dan kelainan darah.[7]
Selain itu, layanan kesehatan di Gaza, khususnya bagian pelayanan kesehatan ibu dan anak, sangat kewalahan menangani kasus-kasus yang terjadi. Pada tahun 2015, hampir dari 55.000 persalinan per tahun dilakukan di fasilitas kesehatan. Akan tetapi, fasilitas kesehatan yang penuh biasanya membuat pemulangan dini ibu dan bayi sekitar 2-3 jam setelah kelahiran menjadi hal yang biasa. Lebih dari 58 persen ibu tinggal kurang dari enam jam di fasilitas kesehatan setelah melahirkan bayi mereka. Padahal, waktu-waktu tersebut adalah saat yang penting untuk para ibu membangun hubungan dengan bayi mereka melalui proses menyusui.[8]
Dalam mengatasi masalah kurangnya layanan kesehatan bagi ibu dan anak, UNICEF membantu mengirimkan peralatan-peralatan untuk fasilitas kesehatan di Gaza pada tahun 2020. Sejumlah peralatan medis seperti 6 inkubator berdinding ganda dan 6 inkubator konvensional dikirimkan ke sejumlah rumah sakit seperti rumah sakit anak Al Nasser, rumah sakit Eropa Gaza, dan rumah sakit Kamal Odwan. Selain itu, rumah sakit di Khan Younis juga mendapat kiriman peralatan-peralatan seperti pompa infus, ranjang pasien umum dan ranjang khusus untuk persalinan, dan peralatan unit bedah listrik. Tindakan ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas layanan kesehatan di Gaza dan Palestina pada umumnya serta meningkatkan kualitas hidup ibu dan anak.[9]
Seperempat dari kehamilan di Palestina juga dikategorikan sebagai kehamilan dengan resiko tinggi. Akibatnya, sekitar 10.000 bayi yang baru lahir harus dirawat di unit perawatan intensif agar mereka dapat bertahan hidup.[10] Faktor-faktor tersebut mengakibatkan angka kematian anak di bawah usia 5 tahun di Palestina cukup tinggi yaitu 22 dari 1000 kelahiran, dengan rincian 24 dari 1000 kelahiran di Gaza, dan 20 dari 1000 kelahiran di Tepi Barat. Di antara faktor yang paling banyak menjadi penyebab kematian yaitu prematur, infeksi saluran pernafasan, dan kelainan bawaan. Tiga faktor tersebut mempengaruhi kematian bayi sebanyak 61 persen, sementara 25 persen disebabkan oleh anemia.[11]

Sumber : UNICEF
Walaupun para ibu di Palestina masih membutuhkan dukungan agar dapat pulih dari trauma, namun kelahiran bayi mereka tentunya juga menumbuhkan harapan akan kehidupan yang lebih baik di Palestina. Seperti halnya Sedra, bayi perempuan yang lahir pada pertengahan Juni yang lalu. Sedra, yang dalam bahasa Arab memiliki makna ‘seperti bintang’, merupakan nama yang dipilihkan oleh orangtuanya dengan harapan agar Sedra dapat membawa harapan bagi keluarganya setelah trauma yang mereka alami pascaserangan Zionis.
Ibu Sedra, Mervat Al Buhtaimi, menjalani kehamilan dengan menyaksikan serangan bom Zionis yang berlangsung selama berhari-hari. Ketakutan Buhtaimi semakin besar tatkala mendapat kabar bahwa salah satu sepupunya mengalami keguguran pada saat serangan tersebut. “Salah satu ketakutan saya selama serangan adalah melahirkan bayi saya di rumah, tanpa bisa mencapai rumah sakit. Saya merasakan sakit yang parah seperti nyeri persalinan, dan saya tidak bisa pergi ke rumah sakit. Saya takut saya akan melahirkannya dan bayi saya bisa saja menderita masalah.” Demikian Buhtaimi mengungkapkan kekhawatirannya. Namun, kelahiran Sedra membenahi kekhawatiran hatinya dan sedikit demi sedikit mengobati traumanya akan serangan Zionis bulan Mei lalu.
Baca juga: Nama Unik Palestina untuk Bayi
Kisah Masri, Mater, dan Buhtaimi serta bayi-bayi mereka barulah segelintir dari sekian banyak kasus trauma pascaserangan yang mengakibatkan para ibu tidak bisa memenuhi kebutuhan anak-anak mereka, termasuk memberikan ASI eksklusif. Oleh karena itu, pada Pekan ASI Internasional ini, sudah seharusnya kisah para wanita hebat di Palestina ini dibaca oleh semua orang di seluruh dunia. Mereka hanya mengharapkan kehidupan yang lebih baik untuk anak-anak mereka. Mereka mendambakan kehidupan yang damai, tanpa peperangan, tanpa serangan bom, serta tanpa ketakutan dan trauma untuk anak-anak mereka. Akan tetapi, bagaimana kehidupan seperti itu dapat tercapai jika kebutuhan pertama anak mereka, yaitu ASI tidak dapat mereka berikan akibat trauma yang mereka alami?
Sumber:
Link 1 / Link 2 / Link 3 / Link 4 / Link 5 / Link 6 / Link 7 / Link 8 / Link 9 / Link 10 / Link 11 / Link 12 / Link 13 / Link 14
Catatan:
[1] The Guardian. “‘I Refuse to Visit His Grave’: The Trauma of Mothers Caught in Israel-Gaza Conflict”. Diakses pada https://www.theguardian.com/global-development/2021/jun/30/i-refuse-to-visit-his-grave-the-trauma-of-mothers-caught-in-israel-gaza-conflict
[2] WHO. “Health conditions in The Occupied Palestinian Territory, Including East Jerusalem, and
in The Occupied Syrian Golan ”. Diakses dalam https://apps.who.int/gb/ebwha/pdf_files/WHA72/A72_33-en.pdf
[3] UNICEF. “Boosting Breastfeeding. Bringing Postnatal Care to The Doorstep in Gaza, State of Palestine”. Diakses dalam https://www.unicef.org/media/94071/file/2020-Field-Report-State-of-Palestine.pdf
[4] FAO UN. “Nutrition Country Profile : Palestine”. Diakses dalam http://www.fao.org/3/aq043e/aq043e.pdf
[5] BMC Public Health. “Breastfeeding knowledge of mothers in protracted crises: the Gaza Strip example”. Diakses dalam https://bmcpublichealth.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12889-021-10748-2
[6] Relief Web. “The Labyrinth to Health in Gaza”. Diakses dalam https://reliefweb.int/sites/reliefweb.int/files/resources/Labyrinths%20to%20health%20in%20Gaza_VEng.pdf
[7] ibid
[8] UNICEF. “Boosting Breastfeeding. Bringing Postnatal Care to The Doorstep in Gaza, State of Palestine”. Diakses dalam https://www.unicef.org/media/94071/file/2020-Field-Report-State-of-Palestine.pdf
[9] UNICEF. “State of Palestine Humanitarian Situation Report No.2”. Diakses dalam https://www.humanitarianresponse.info/sites/www.humanitarianresponse.info/files/documents/files/unicef_state_of_palestine_humanitarian_situation_report_no._2_-_april-june_2020.pdf
[10] ibid
[11] UNICEF. “Health and Nutrition”. Diakses pada https://www.unicef.org/sop/what-we-do/health-and-nutrition
***
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini seputar program bantuan untuk Palestina.
Donasi dengan mudah dan aman menggunakan QRIS. Scan QR Code di bawah ini dengan menggunakan aplikasi Gojek, OVO, Dana, Shopee, LinkAja atau QRIS.
Klik disini untuk cari tahu lebih lanjut tentang program donasi untuk anak-anak dan perempuan Palestina.