Dijawab oleh Ustadz Rikza Maulan, Lc., M. Ag.
1. Apakah memakai obat tetes mata membatalkan puasa?
Di antara hal yang membatalkan puasa adalah memasukkan sesuatu, seperti makanan, minuman atau cairan ke dalam tubuh, melalui rongga terbuka yang dapat masuk ke saluran pencernaan. Jika demikian maka substansi puasa menjadi hilang, dan oleh karenanya mengakibatkan batalnya puasa.
Namun, terkait dengan menggunakan obat tetes mata, terutama pada saat adanya hajat untuk menggunakannya, maka ulama berpendapat bahwa mata bukan termasuk ke dalam rongga terbuka, sehingga sesuatu yang masuk melalui mata tidak masuk ke tenggorokan atau ke saluran pencernaan. Oleh karenanya, menggunakan obat tetes mata saat sedang berpuasa, khususnya saat ada hajat dalam penggunaannya adalah diperbolehkan dan tidak membatalkan puasa. Ini diperkuat dengan hadis dari Aisyah ra.:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ اكْتَحَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ صَائِمٌ (رواه ابن ماجه)
Dari ‘Aisyah ra. beliau berkata, ” Rasulullah ﷺ pernah bercelak padahal beliau sedang berpuasa.” (HR. Ibnu Majah)
Memakai obat tetes mata oleh Sebagian ulama diqiyaskan atau dianalogikan dengan menggunakan celak mata. Meskipun terkadang dalam menggunakan celak mata, didapatkan rasa oleh penggunanya di tenggorokan. Namun, mata tidak memiliki saluran ke tenggorokan sehingga menggunakan celak mata tidak membatalkan puasa. Dengan demikian, menggunakan obat tetes mata saat sedang berpuasa hukumnya diperbolehkan menurut ulama dan tidak membatalkan puasa, meskipun terkadang terdapat rasa dalam tenggorokan, sebab sumber dari rasa tersebut bukanlah dari faktor masuknya cairan ke tenggorokan, tetapi karena faktor lainnya.
Wallahu a’lam
2. Bagaimana mengganti puasa untuk ibu hamil dan menyusui? Apakah dengan membayar fidyah, qadha, atau keduanya harus dilakukan?
Terdapat rukhsah atau keringanan bagi ibu hamil dan menyusui apabila tidak berpuasa sebagaimana disebutkan dalam riwayat sebagai berikut :
إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى وَضَعَ عَنْ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلَاةِ وَعَنْ الْحَامِلِ أَوْ الْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوْ الصِّيَامَ (رواه الترمذي وأبو داود وابن ماجه وأحمد
Sesungguhnya Allah Swt telah membebaskan setengah kewajiban salat bagi musafir dan kewajiban puasa bagi musafir, ibu hamil, dan wanita menyusui.”
(HR. Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah dan Ahmad)
Maka, terkait dengan kondisi ibu hamil atau menyusui, ada dua kondisi sebagai berikut :
- Ia khawatir terhadap dirinya. Artinya, faktor yang mendorongnya untuk tidak berpuasa adalah karena faktor diri pribadinya. Dalam kondisi seperti ini maka ia wajib untuk meng-qadha’ puasanya.
- Ia khawatir terhadap janin atau bayinya. Artinya ia khawatir jika berpuasa, maka janin atau bayinya akan kekurangan asupan atau menjadi sakit, dst. Oleh karenanya, ia memilih untuk tidak berpuasa.
Terkait poin kedua, ulama memiliki pendapat berbeda:
- Sebagian ulama Hanafi, seperti Imam al-Sarakhsi mengatakan bahwa ia wajib meng-qadha’ puasanya pada bulan-bulan lainnya, tanpa harus membayar fidyah. Hukumnya sama seperti hukum orang sakit pada umumnya.
- Sebagian ulama lainnya dari kalangan Mazhab Maliki, membedakan antara ibu hamil dan menyusui. Ibu hamil dalam pandangan Maliki wajib qadha’ saja, karena kondisinya disamakan dengan orang sakit. Sementara itu, ibu menyusui wajib untuk qadha’ dan fidyah, karena kondisi bayi yang mengharuskan ibunya berbuka, meskipun ia sanggup berpuasa.
- Sebagian ulama lainnya, yakni dari Mazhab Syafi’i, seperti yang dikemukakan oleh Imam Nawawi, bahwa jika ibu hamil dan menyusui khawatir terhadap dirinya, maka ia wajib qadha’ tanpa membayar fidyah, tetapi jika ia khawatir terhadap bayinya, maka ia wajib qadha dan juga fidyah. Sedangkan jika ia khawatir terhadap diri dan bayinya sekaligus, maka ia wajib qadha saja. Pendapat ini juga sama sebagaimana pendapat kalangan Hambali.
- Terdapat juga pandangan dari kalangan sahabat. Ibnu Umar dan Ibnu Abbas mengatakan bahwa ibu hamil atau menyusui yang tidak berpuasa karena khawatir terhadap bayi atau janinnya, maka yang bersangkutan hanya diwajibkan untuk membayar fidyah saja tanpa harus qadha’.
Di antara pandangan-pandangan yang ada, pendapat Ibnu Abbas dan Ibnu Umar adalah pendapat yang paling maslahat bagi ibu mengandung dan menyusui. Hal ini sebab biasanya ibu yang sedang hamil tidak menjalankan ibadah puasa Ramadan lantaran khawatir terhadap janin atau bayinya. Namun, pada tahun berikutnya bisa jadi ia juga masih tidak dapat berpuasa karena masih menyusui bayinya. Apabila ia diharuskan meng-qadha’, tentu cukup memberatkan bagi ibu tersebut.
Wallahu a’lam
3. Bagaimana hukum orang yang berpuasa tetapi tidak salat?
Pada dasarnya setiap orang memiliki fitrah untuk dekat dan taat kepada Allah Swt. Namun, faktor lingkungan, pergaulan, keluarga, dan sebagainya, dapat menyebabkan seseorang menjadi jauh dari agama dan meninggalkan perintah agama, seperti salat, puasa, dan lainnya. Namun, ketika ada suatu kondisi yang kondusif dengan keadaannya, biasanya ia juga tergerak untuk mengerjakan ibadah, seperti puasa Ramadan, meskipun ia tidak salat. Ia mengerjakan ibadah puasa Ramadan karena lingkungannya mendukungnya untuk dapat mengerjakan puasa.
Terhadap orang yang seperti ini, maka kondisinya adalah sebagai berikut:
- Keinginannya untuk tetap berpuasa patut disyukuri dan didukung terus untuk melakukan kebaikan agar ke depannya ia juga dapat mengerjakan salat di samping juga mengerjakan ibadah puasa. Dari sisi hukum, puasanya tetap sah, apabila dikerjakan dengan memenuhi semua rukun dan syarat puasa Ramadan, meskipun di sisi lain ia berdosa karena melalaikan kewajibannya untuk mengerjakan salat.
- Diberi nasihat yang baik, jangan dirundung atau dicemooh lantaran berpuasa tetapi tidak salat. Karena jika dicemooh, bisa jadi semangat puasanya menjadi hilang dan akhirnya malah tidak salat dan juga tidak berpuasa. Mudah-mudahan dengan nasihat dan pendekatan yang baik, dapat mengerjakan puasa dan mendirikan salat.
4. Apa yang harus dilakukan bagi mereka yang sudah tua dan tidak kuat berpuasa?
Seseorang yang sudah tua dan tidak lagi memiliki kemampuan untuk menjalankan ibadah, Allah memberikan keringanan sebagaimana termaktub dalam QS. Al-Baqarah : 184, bahwa cukup baginya untuk membayar fidyah, yaitu dengan memberikan makan secara sempurna kepada fakir miskin sejumlah hari dia tidak berpuasa. Dalam Al-Qur’an disebutkan sebagai berikut :
وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهُ فِدْيَةُ طَعَامُ مِسْكِيْنٍ
Dan bagi orang yang tidak mampu untuk mengerjakannya, maka baginya (mengeluarkan) fidyah dengan memberi makan kepada fakir miskin.
Di antara cara yang dapat dilakukan untuk memberikan makan kepada fakir miskin, misalnya dengan langsung mengundang fakir miskin ke rumahnya atau ke tempat yang telah disiapkan makanan, sejumlah porsi hari ia tidak berpuasa, lalu memberikan makanan kepada mereka. Hal ini pernah dilakukan oleh salah seorang sahabat Nabi Muhammad saw. Saat usianya telah senja dan tidak sanggup lagi melaksanakan puasa Ramadan. Sahabat tersebut mengundang 30 orang fakir miskin ke rumahnya dan menjamu makanan hingga mereka semua kenyang.
Pada saat ini, hal yang sama juga dapat dilakukan, yaitu dengan mendatangi fakir miskin satu per satu, dan memberikan makanan seperti nasi lengkap dengan lauk pauk dan minumannya. Selain itu, pembayaran fidyah juga dapat juga melalui lembaga-lembaga terpercaya yang dapat menyalurkan fidyah tersebut.
5. Apakah puasa sah jika lupa berniat hingga terbit matahari pada pagi hari, lalu kapan seharusnya berniat puasa?
Seseorang yang belum berniat melaksanakan puasa Ramadan pada saat fajar telah terbit yang artinya telah melewati waktu azan subuh, maka puasanya tidak sah, dan ia wajib untuk meng-qadha’ puasa Ramadan pada hari tersebut di hari-hari lainnya. Hal ini sebab di antara rukun puasa Ramadan adalah niat sebelum fajar. Hal ini didasarkan pada riwayat sebagai berikut:
عَنْ حَفْصَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ
(رواه النسائي)
Dari Hafshah ra dari Nabi ﷺ, beliau bersabda, “Barang siapa yang tidak berniat puasa pada malam hari sebelum terbit fajar, tidak ada puasa baginya.” (HR. Nasa’i)
Ini berbeda dengan puasa sunah. Misalnya, seseorang melakukan puasa Senin atau Kamis, tetapi ia baru berniat puasa pada waktu dhuha lantaran pada waktu tersebut ia kebetulan belum makan dan minum sejak fajar, maka puasanya tetap sah. Namun, dalam puasa Ramadan tidak demikian. Seseorang harus memulai niat sejak malam hari atau sejak sebelum terbitnya fajar. Oleh karenanya, hendaknya setiap muslim memastikan bahwa ia telah berniat melakukan ibadah puasa Ramadan sejak malam hari atau sejak sebelum terbit fajar (sebelum kumandang waktu Subuh).
6. Bagaimana hukumnya jika air mani keluar akibat mimpi basah pada siang hari saat berpuasa?
Seorang yang berpuasa Ramadan, lalu ia bermimpi basah saat sedang menjalankan puasa, maka puasanya tetap sah dan tidak batal. Ia tetap wajib melanjutkan ibadah puasanya. Hal ini didasarkan pada dua hal berikut:
- Orang yang sedang tidur termasuk ke dalam kategori rufi’al qalam, yaitu yang dilakukannya tidak dicatat sebagai amal perbuatannya. Rasulullah ﷺ bersabda:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ عَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنْ الْمُبْتَلَى حَتَّى يَبْرَأَ وَعَنْ الصَّبِيِّ حَتَّى يَكْبُرَ (رواه أبو داود
Dari ‘Aisyah ra berkata, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Pena pencatat amal dan dosa itu diangkat dari tiga golongan; orang yang tidur hingga terbangun, orang gila hingga ia waras, dan anak kecil hingga ia balig.” (HR. Abu Daud)
- Terdapat Riwayat bahwa Nabi Muhammad ﷺ pernah bangun tidur dalam keadaan junub–bukan karena mimpi pada pagi hari di bulan Ramadan, lalu beliau tetap melanjutkan puasanya.
عن عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ قَدْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ فِي رَمَضَانَ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ غَيْرِ حُلُمٍ فَيَغْتَسِلُ وَيَصُومُ (رواه مسلم
Dari ‘Aisyah ra istri Nabi ﷺ berkata, “Sesungguhnya Rasulullah ﷺ pernah mendapati fajar pada bulan Ramadan (kesiangan), padahal beliau dalam keadaan junub karena jimak. Lalu beliau mandi dan berpuasa.” (HR. Muslim)
Berdasarkan kedua riwayat tersebut, ulama menyatakan bahwa seseorang yang ihtilam atau mimpi basah pada siang hari pada Ramadan, maka puasanya tetap sah dan tidak batal karena keadaan tidur merupakan keadaan yang tidak dikenakan hukum atau tidak berdosa. Selain itu, Nabi ﷺ juga pernah bangun pada pagi hari Ramadhan dalam keadaan junub, dan beliau tetap melanjutkan puasanya.
7. Apakah membersihkan telinga dan mengupil membatalkan puasa?
Mengupil atau membersihkan telinga dengan menggunakan media pembersih seperti cotton buds atau yang sejenisnya tidaklah termasuk yang membatalkan puasa. Namun, apabila dalam membersihkannya seseorang menggunakan media berupa cairan tertentu yang dimasukkan ke dalam rongga hidung atau rongga telinga, yang dapat masuk hingga mencapai ke kerongkongannya, maka hal tersebut dapat membatalkan puasanya.
Hidung dan telinga termasuk ke dalam rongga terbuka yang tidak boleh dimasukkan air ke dalamnya. Memasukkan air melalui hidung dan atau telinga hingga mencapai ke kerongkongan akan membatalkan puasa. Oleh karena itu, hendaknya setiap muslim berhati-hati, jangan sampai ketika membersihkan rongga hidung dan telinga menggunakan cairan tertentu yang dapat mencapai kerongkongannya karena dapat membatalkan puasa. Membersihkan dengan alat seperti cotton buds lebih baik daripada menggunakan cairan yang dapat membatalkan puasa.
8. Bagaimana kemaksiatan masih banyak terjadi pada Ramadan sementara dalam hadis disebutkan bahwa setan telah dibelenggu ?
Terdapat hadis Nabi ﷺ yang menyatakan bahwa setan akan dibelenggu pada Ramadhan:
عن أَبي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ شَهْرُ رَمَضَانَ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ جَهَنَّمَ وَسُلْسِلَتْ الشَّيَاطِينُ (رواه البخاري
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Apabila bulan Ramadan datang, maka pintu-pintu langit dibuka, sedangkan pintu-pintu jahanam ditutup, dan setan-setan dibelenggu”. (HR. Bukhari)
Menurut ulama, secara umum terdapat dua makna dari dibelenggunya setan sebagaimana dinyatakan dalam hadis tersebut, yaitu:
- Bahwa setan secara hakiki benar-benar dibelenggu dan dirantai, sehingga ia memiliki keterbatasan dalam menggoda dan menyesatkan manusia pada bulan Ramadan. Aktivitas setan menjadi tidak seleluasa sebagaimana bulan-bulan lainnya.
- Kata “setan dibelenggu” memiliki makna kiasan (majazi) yang maknanya adalah karena bulan Ramadan merupakan bulan ibadah dengan pahala yang dilipatgandakan serta keutamaan yang bertaburan, kaum muslimin menjadi sangat antusias dalam beramal saleh dan meninggalkan perbuatan dosa. Oleh karena itulah, setan menjadi terbelenggu, tidak dapat menggoda dan menyesatkan manusia, karena banyaknya keutamaan Ramadan dan antusiasme kaum mulimin dalam beramal.
Wallahu a’lam
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini