Meskipun kehancuran terjadi di setiap sudut, dan meskipun Israel berusaha untuk menghapus tanda-tanda kehidupan di Gaza, suara Mesaharati tetap teguh menggema sebagai seruan untuk hidup di kota yang menghadapi kematian setiap hari. Tidak ada yang menghalangi mesaharati untuk pergi, meskipun masjid-masjid telah dihancurkan, menara-menara telah diratakan dengan tanah, dan bahkan ketakutan telah menyelimuti setiap rumah.
Mesaharati menyadari bahwa peran mereka lebih besar dari sekadar menyadarkan masyarakat untuk sahur, namun untuk menghidupkan kembali semangat Ramadan, yang coba dipadamkan oleh penjajah dan senjatanya. “Kami tidak akan menghilang… bahkan jika semuanya telah lenyap.” Mesaharati bukan sekadar orang yang membawa genderang, ia adalah simbol warisan dan identitas Gaza, yang tidak akan hilang bahkan di saat-saat agresi yang paling keras sekalipun.
Abu Ibrahim, salah satu mesaharati tertua di Gaza, menolak untuk melepaskan perannya, meskipun Israel melakukan pengeboman terhadap masjid-masjid yang biasa digunakan untuk mengumandangkan azan, dan meskipun rumah-rumah yang diterangi cahaya Ramadan selalu ditargetkan. Dia mengatakan kepada koresponden Pusat Informasi Palestina, “Genosida mencuri segalanya, tapi kami mencoba meninggalkan jejak kehidupan. Ketika azan dibungkam, dan ketika masjid-masjid dibongkar, suara Mesaharati tetap mengingatkan orang-orang bahwa Ramadan telah tiba, dan bahwa Gaza belum hancur.”
Di lingkungan Shujaiya, yang hanya tersisa reruntuhan rumah dan masjid yang dibom, seorang mesaharati bernama Mahmoud berjalan dengan hati-hati, melintasi puing-puing, menabuh genderangnya dengan suara yang masih mampu menembus pecahan tembok. Anak-anak, meski takut, membuka jendela untuk melihatnya, seolah mencari bukti bahwa kehidupan masih ada.
Abu Saeed, seorang warga di lingkungan tersebut, berkata: “Kami tidak punya apa-apa lagi.. Bahkan rumah Allah pun dibom, dan mereka ingin mematikan semangat Ramadan.. Tapi kami berpegang teguh pada apa pun yang mengembalikan suasana bulan suci kepada kami, dan mesaharati adalah salah satu simbol yang mengembalikan harapan bagi kami. Kami takut mati… tapi kami lebih takut diam.”
Muhammad, yang memutuskan untuk bergabung dengan mesaharati meskipun keluarganya takut, mengatakan: “Ya, saya khawatir malam ini akan menjadi yang terakhir, tetapi jika kita berhenti menabuh genderang, siapa yang akan memberitahu dunia bahwa Ramadan masih ada di Gaza?” Israel ingin membungkam suara kami, namun kami menolak untuk diam.”
Mesaharati di Gaza bukan sekadar orang yang membangunkan orang-orang yang tertidur, namun ia adalah simbol terakhir Ramadan yang tersisa di tengah reruntuhan meskipun Israel berupaya membunuh kegembiraan, menghilangkan identitas kota, dan menghancurkan masjid, mesaharati menegaskan bahwa Ramadan belum terhapuskan, dan bahwa Gaza masih penuh dengan kehidupan.
Di Gaza, azan subuh terdengar bercampur dengan suara genderang, seolah-olah itu adalah pesan kepada dunia: mereka mungkin mengebom masjid-masjid, dan mereka mungkin mencoba membunuh banyak jiwa, tetapi Ramadan di Gaza tidak akan terhapuskan, dan mesaharati akan tetap menjadi saksi bahwa kota ini tidak akan mati.
Sumber: https://palinfo.com
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di sini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini