Di antara tujuan diturunkannya kitab suci dan diutusnya para rasul adalah untuk melakukan reformasi dan perbaikan, menghapus kebatilan dalam diri dan masyarakat, serta membebaskan negeri dan meraih kemerdekaan. Hal tersebut juga merupakan fokus kerja para penyeru dan pejuang, sebagaimana dinyatakan dalam surah Hud ayat 88:
إِنْ أُرِيدُ إِلَّا ٱلْإِصْلَٰحَ مَا ٱسْتَطَعْتُ ۚ وَمَا تَوْفِيقِىٓ إِلَّا بِٱللَّهِ ۚ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal dan hanya kepada-Nya aku kembali.”
Dengan berhentinya risalah kenabian setelah kemangkatan Rasulullah saw., semakin lama, umat Islam semakin terpasung dalam ketidakpekaan sehingga hati menjadi keras dan beku, jiwa menjadi mudah putus asa dan menyerah, serta cenderung kepada kebatilan. Dalam situasi seperti ini, seorang penyeru harus mengingatkan umat akan kewajiban yang seharusnya mereka jalankan.
Kewajiban perbaikan dan reformasi sejalan dengan sunnatullah, sebagaimana yang diemban oleh para nabi dan rasul. Untuk itulah Allah menurunkan kitab-kitab suci-Nya.
ۗ لَهُۥ مُعَقِّبَٰتٌ مِّنۢ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِۦ يَحْفَظُونَهُۥ مِنْ أَمْرِ ٱللَّهِ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ
“Baginya (manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” ( QS. Ar-Ra’d: 11 )
Allah memberikan penjagaan untuk manusia. Ia mengawasi sejauh mana perubahan yang kita lakukan terhadap diri atau kondisi kita. Ia memberikan balasan atas perubahan yang kita lakukan. Hal ini sebab Allah tidak akan mengubah kenikmatan, kesengsaraan, kemuliaan, atau kehinaan, kecuali manusia sendiri yang melakukan perubahan emosi dan perbuatan dalam realita kehidupan.
Ramadan adalah peluang terbesar untuk melakukan perubahan dan perbaikan, sebab Ramadan merupakan kesempatan kolektif bagi umat Islam untuk melakukan reformasi dari rutinitas hidup selama setahun. Ibadah shiyam (puasa) yang dilakukan sejak fajar hingga matahari terbenam, jika dilakukan ikhlas karena Allah dan mengharap rida-Nya semata, akan menghapus dosa yang sudah dilakukan. Demikian halnya dengan ibadah qiyamul lail pada malam hari. Akan tetapi, yang lebih utama adalah memastikan bahwa kita mampu menundukkan hawa nafsu dan memperbaiki amalan.
Dari mana kita memulai?
Ramadan telah berada di pelupuk mata, sementara kita masih amat jauh dari Al-Qur’an dan jarang berinteraksi dengannya. Namun, tidak ada kata terlambat dalam menyambut kebaikan. Maka, selama Allah masih memberi kesempatan, wajib bagi kita untuk memperbaiki kondisi mematikan ini. Hal pertama yang harus kita ingat adalah, bagaimana mungkin kita dapat mengisi Bulan Al-Qur’an dengan sebaik-baiknya sementara kita masih sangat jauh dengan Al-Qur’an?
شَهْرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِىٓ أُنزِلَ فِيهِ ٱلْقُرْءَانُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَٰتٍ مِّنَ ٱلْهُدَىٰ وَٱلْفُرْقَانِ
“Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil).” (QS. Al-Baqarah: 185)
Kedua, segera perbaiki interaksi kita dengan sesama manusia sebab Ramadan adalah bulan memaafkan dan perdamaian. Sikap saling memaafkan tentu harus diiringi dengan perubahan perbuatan dan perkataan agar kita mampu menjalankan Ramadan dengan penuh kebaikan. Dalam sebuah hadits dikatakan:
الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلاَ يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ. وَفِي رِوَايَةٍ: وَلاَ يَجْهَلْ، وَإِنِ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌ –مَرَّتَيْنِ-. (متفق عليه)
“Puasa itu adalah perisai. Maka (orang yang melaksanakannya) janganlah berkata dan berbuat kotor (rafats) dan jangan pula berteriak-teriak (shakhb). Dalam sebuah riwayat disebutkan, “… dan jangan berbuat bodoh. Apabila ada orang yang mengajak berkelahi atau menghinanya, hendaklah dia berkata, ‘Aku sedang berpuasa (dia mengulangi ucapannya dua kali).’” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ketiga, membiasakan diri untuk berbagi, sebab Ramadan merupakan bulan ukhuwah dan solidaritas.
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا
“Barang siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun juga.” (HR. Tirmidzi)
Pada Ramadan, umat Islam mengemban kewajiban berzakat fitrah. Zakat ini dikeluarkan untuk menyucikan diri dan jiwa orang yang berpuasa, meningkatkan persatuan dan kesatuan umat, serta untuk membantu fakir miskin dan meningkatkan taraf hidup mereka.
Keempat, Ramadan merupakan bulan perbaikan lisan, hati, dan emosi. Jangan sampai Ramadan tersia-siakan karena keengganan kita untuk meninggalkan perkataan dan perbuatan yang merugikan orang lain dan tidak disukai Allah. Jadikan Ramadan sebagai momen perbaikan untuk bangkit melakukan perbaikan di jalan Allah.
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالعَمَلَ بِهِ، فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
”Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan yang haram, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makanan dan minuman.” (HR. Bukhari)
Bulan perubahan untuk memperbaiki kehidupan
Allah tidak mencabut kenikmatan yang diberikan melainkan karena kelalaian manusia. Dengan demikian, penting bagi kita untuk melakukan upaya perbaikan dan perubahan, meskipun tentu tidak serta merta mengubah kondisi umat dalam sekejap.
ذَٰلِكَ بِأَنَّ ٱللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِّعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَىٰ قَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُو مَا بِأَنفُسِهِمْ ۙ وَأَنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu nikmat yang telah diberikan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” ( QS. Al-Anfal: 53)
Ayat tersebut menyiratkan bahwa Allah memberikan kemuliaan kepada manusia untuk memperbaiki hati, niat, perkataan, perbuatan, dan kondisi mereka. Dengan upaya perbaikan yang kita lakukan, Allah pun akan memperbaiki kehidupan kita.
Perbaikan dan perubahan dimulai dari hati, perasaan, dan pemikiran. Selagi hati dan perasaan kita masih gamang, pikiran masih terpaut pada hawa nafsu dan kepentingan pribadi, maka perbuatan kita pun tidak akan berubah.
وَكَمْ أَهْلَكْنَا مِنْ قَرْيَةٍ بَطِرَتْ مَعِيشَتَهَا
“Dan berapa banyaknya (penduduk) negeri yang telah Kami binasakan, yang melampaui batas (kesenangan) kehidupannya.” ( QS. Al-Qasas: 58 )
Sementara itu, orang yang menyadari pentingnya perubahan dan perbaikan diri, akan berusaha meningkatkan hubungannya dengan Allah. Melalui hal itu, ia akan mendapatkan taufik dan kebaikan yang sangat banyak dari usaha yang dilakukannya. Allah berfirman dalam surah Muhammad ayat 17:
وَٱلَّذِينَ ٱهْتَدَوْ زَادَهُمْ هُدًى وَءَاتَىٰهُمْ تَقْوَىٰهُمْ
“Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah akan menambah petunjuk kepada mereka dan menganugerahi ketakwaan pada mereka.”
Ramadan merupakan kesempatan terbaik untuk mengubah diri; dari kemalasan menjadi kerja, dari kebodohan menjadi ilmu, dari kemaksiatan menjadi taubat dan ampunan.
Ramadan adalah peluang untuk melakukan perubahan hakiki, bukan perubahan tampilan semata. Perubahan yang membuat manusia menjadi takut kepada Allah, rida dengan rezeki yang sedikit, yakin dengan kebenaran Al-Qur’an, serta mempersiapkan diri menuju hidup di keabadian. Itulah takwa yang menjadi tujuan dari ibadah puasa.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُو كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)
Jika ketakwaan tidak diraih, kita tidak akan mendapatkan pahala “qiyam dan shiyam”. Masyarakat yang bertakwa pun tidak akan bisa terwujud dan perbaikan yang kita harapkan tidak akan terjadi.
Betapa sulit mengubah kebiasaan buruk. Betapa sulit manusia mengubah kebiasaan ghibah, bermaksiat, atau merokok. Hal ini terjadi karena perubahannya tidak mengikuti sunnatullah. Dalam mewujudkan perubahan dan perbaikan ada ketentuan yang harus diikuti, di antaranya:
- Selalu berdoa dan memohon kepada Allah
رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَآ إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُۥ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِۦ ۖ وَٱعْفُ عَنَّا وَٱغْفِرْ لَنَا وَٱرْحَمْنَآ ۚ أَنتَ مَوْلَىٰنَا فَٱنصُرْنَا عَلَى ٱلْقَوْمِ ٱلْكَٰفِرِينَ
“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung kami, maka tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 286)
- Realistis dan menjalani proses secara bertahap dengan penuh kesabaran
Perubahan yang dilakukan sedikit-demi sedikit tetapi pasti, lebih berbekas dibandingkan perubahan yang sangat tiba-tiba. Upaya perbaikan diri dapat dilakukan dengan memanfaatkan peluang, menekan hawa nafsu, dan mengingat akibat dari perbuatan yang dilakukan.
Orang yang menyadari akibat dari suatu perbuatan dan meyakini bahwa setiap perbuatan ditentukan oleh akhirnya, akan terus berusaha memperbaiki diri hingga ajal menjemput. Sementara, mereka yang selalu lalai akan merasakan akibat dari kelalaiannya.
- Perbaiki diri sambil terus berdakwah.
Mengapa Allah menggunakan kata “kaum” dalam surat Ar-Ra’d ayat 11 dan bukan kata “seseorang”?
إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُو مَا بِأَنفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)
Allah memilih kata “kaum” karena perbaikan dan reformasi itu merupakan maslahat kolektif atau tanggung jawab bersama. Siapa pun yang mengira dirinya mampu mengembalikan kejayaan Islam seorang diri, maka ia hidup bersama angan-angannya, sebab usahanya pasti akan gagal.
Kita adalah bagian dari umat, maka jika kita mengira dapat menjadi lebih baik tanpa perlu memperbaiki kondisi masyarakat sekitar, yakinlah bahwa kita sudah tertipu. Manusia manapun, sepintar apapun, ia tidak bisa mengisolasi diri dari masyarakat. Pada saat seorang muslim sibuk memperbaiki dirinya, ia juga harus berusaha memperbaiki masyarakat sekitarnya. Seorang ahli ibadah yang egois, yang hanya berpikir tentang kebaikan dirinya, akan terancam su’ul khatimah atau akhir kehidupan yang buruk.
Sama halnya ketika kita berpikir pada skala bangsa dan negara. Jika kita tidak peduli dengan permasalahan umat di negara lain, dengan alasan sibuk dengan permasalahan dalam negeri sendiri, akan kita dapati negara kita bukan bertambah maju. Sebaliknya, negara akan melenceng dari kebenaran dan justru bekerjasama dengan kekuatan kebatilan dunia.
Kerusakan masyarakat dimulai dari kerusakan jiwa setiap individu. Oleh karena itu, perbaikan harus dimulai dari diri sendiri, dan untuk melestarikan kebaikan, jiwa manusia perlu dilatih sebagaimana hewan tunggangan.
أَوَلَمَّآ أَصَٰبَتْكُم مُّصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُم مِّثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّىٰ هَٰذَا ۖ قُلْ هُوَ مِنْ عِندِ أَنفُسِكُمْ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ
“Dan mengapa kamu (heran) ketika ditimpa musibah (kekalahan pada Perang Uhud), padahal kamu telah menimpakan musibah dua kali lipat (kepada musuh-musuhmu pada Perang Badar) kamu berkata, “Dari mana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah, “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.” Sungguh, Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali Imran: 165)
Manusia selalu berada dalam pertarungan antara yang hak dan batil. Ada pihak yang ingin mengubah kondisi menjadi baik, sebaliknya, ada juga gerakan yang menghendaki kerusakan dan bergerak dengan dukungan penuh kekuatan global.
Betapa gerakan kerusakan telah banyak mengubah wawasan dan ideologi serta mengubah integritas moral dan identitas umat Islam. Atas nama modernisasi dan globalisasi, seorang muslim mungkin saja keluar dari agamanya tanpa disadari.
Pada dasarnya, setiap manusia pasti menginginkan perubahan dan perbaikan. Namun, keengganan kita untuk bersegera dalam melakukan perbaikan berarti kita sudah memberikan panggung kepada kerusakan atau kebatilan. Pada momen ini, jangan biarkan diri kita tenggelam dalam kelalaian sedang Ramadan telah berada di ambang pintu. Siapa yang lambat beramal, harkat martabatnya pun tidak akan lekas terangkat.
Maka, segeralah niatkan untuk menjadi lebih baik, hapus kemaksiatan dengan segera melakukan amal saleh. Segeralah mendekat dan mintalah nasihat kepada orang-orang saleh. Selangkah demi selangkah, Kita akan berhasil memperbaiki diri.
Ramadan merupakan kesempatan besar untuk memperbaiki diri dan masyarakat, sebab pada bulan mulia inilah jiwa manusia lebih memiliki kesiapan untuk berubah menjadi lebih baik. Media-media relatif lebih sedikit mempertontonkan kemaksiatan dibandingkan pada hari-hari biasa. Oleh karena itu, berusahalah untuk menundukkan hawa nafsu, terutama dengan menjauhi kemaksiatan tersembunyi yang hanya diketahui oleh Allah dan diri kita sendiri. Allah berfirman:
وَذَرُو ظَٰهِرَ ٱلْإِثْمِ وَبَاطِنَهُۥٓ ۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَكْسِبُونَ ٱلْإِثْمَ سَيُجْزَوْنَ بِمَا كَانُو يَقْتَرِفُونَ
“Dan tinggalkanlah dosa yang terlihat ataupun yang tersembunyi. Sungguh, orang-orang yang mengerjakan (perbuatan) dosa kelak akan diberi balasan sesuai dengan apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-an’am: 120)
Berikan sebagian waktu kita untuk mengajak orang lain kepada kebaikan. Rasakan apa yang dirasakan oleh para pejuang yang sedang berjaga. Jadikan kesalehanmu sebagai gerbang menuju kemenangan umat, sebagai pintu menuju pembebasan Masjid al-Aqsa. Wallahu ‘alam.
Diterjemahkan dan disadur dari tulisan DR. Muhammad Sa’id oleh Hasanah Ubaidillah Aziz
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di sini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini