Tawanan administratif Palestina, Moataz Mahmoud Abu Zneid, meninggal dunia akibat kelalaian medis di penjara Israel, sebagaimana dilaporkan oleh Palestinian Information Centre. Pria berusia 35 tahun tersebut ditahan di Penjara Ramon ketika kondisinya memburuk secara serius. Namun, pihak administrasi penjara dengan sengaja menunda pemindahannya ke rumah sakit hingga ia jatuh koma.
Abu Zneid akhirnya dipindahkan ke Rumah Sakit Soroka pada 6 Januari 2024 dan dinyatakan meninggal dunia pada malam berikutnya. Ia ditawan pada Juni 2023 tanpa riwayat masalah kesehatan sebelumnya. Semasa hidupnya, Abu Zneid telah lima kali mendekam di penjara Israel dan beberapa kali bergabung dalam aksi mogok makan untuk memprotes penahanan administratif.
Kematian Abu Zneid menjadi bagian dari tragedi yang lebih besar ketika 55 tawanan Palestina telah meninggal dunia di penjara Israel sejak dimulainya agresi Israel pada Oktober 2023. Dengan demikian, total tawanan Palestina yang meninggal dalam tawanan Israel sejak 1967 mencapai 292 orang.
Di sisi lain, Komisi Urusan Tawanan dan Mantan Tawanan Palestina serta Masyarakat Tawanan Palestina mengungkapkan kesaksian memilukan dari tawanan asal Gaza yang ditahan di penjara Naqab dan Nafha. Dalam testimoni yang dikumpulkan selama dua hari, 23 tawanan menceritakan pola perlakuan buruk, termasuk penyiksaan, kelalaian medis, kelaparan, serta trauma fisik dan psikologis akibat kekejaman pasukan pendudukan Israel.
Salah satu tawanan, seorang pria berusia 45 tahun berinisial K.N., menceritakan bahwa ia dipaksa mengakui hal yang tidak diketahuinya. Ia dipukuli dengan brutal hingga mengalami patah tulang. Setelah 58 hari berada di sebuah kamp dekat Gaza, ia dipindahkan ke Penjara Naqab. Di sana ia disiram air panas yang menyebabkan luka bakar permanen di tubuhnya. Sementara itu, seorang tawanan muda berusia 21 tahun, A.H., menggambarkan penderitaannya akibat kudis yang menyebabkan luka-luka, bisul, dan lubang pada tubuhnya. Ia juga harus menghadapi kelaparan terus-menerus serta kondisi matanya yang semakin memburuk, termasuk tekanan tinggi pada mata kirinya.
Tawanan lain, M.H., menceritakan pengalaman pertamanya yang penuh kekejaman, ketika ia disiksa secara brutal, termasuk dipukuli selama sehari penuh, disiram dengan air limbah, dan dihina oleh para tentara. Ia kemudian dipindahkan ke kamp lain selama 27 hari dan dipaksa untuk berlutut dengan mata tertutup, tangan terikat, dan kaki terbelenggu. Di sisi lain, seorang tawanan bernama M.D. kehilangan mata palsunya akibat pemukulan keras yang diterimanya. Ia kini hidup dengan soket mata kosong setelah kacamata yang ia miliki disita oleh tentara Israel.
Selain itu, laporan tersebut juga mengungkapkan rasa kehilangan mendalam yang dirasakan para tawanan. Seorang tawanan Gaza, misalnya, harus meratapi kematian istrinya, beberapa kerabatnya, dan kemudian ayahnya, yang semuanya menjadi korban agresi Israel.
Pelanggaran sistematis Israel terhadap tawanan Palestina ini merupakan bagian dari praktik genosida yang dilakukan Israel selama agresi di Gaza. Sejak 7 Oktober 2023, lebih dari 46.000 orang, mayoritas perempuan dan anak-anak, telah menjadi korban jiwa. Di tengah seruan Dewan Keamanan PBB untuk gencatan senjata, ribuan warga Palestina dilaporkan ditawan oleh tentara Israel.
Pada November 2024, Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, dan mantan Menteri Pertahanannya, Yoav Gallant, atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza. Israel juga menghadapi gugatan genosida di Pengadilan Internasional atas aksi brutal yang dilakukannya di wilayah tersebut.
Sumber:
https://www.middleeastmonitor.com
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di sini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini