Israel telah menutup enam sekolah yang dikelola oleh badan PBB untuk pengungsi Palestina, UNRWA, setelah sebelumnya mengambil langkah untuk mengusir organisasi tersebut dari Tepi Barat dan Al-Quds bagian timur yang diduduki sejak awal tahun ini.
Dalam pernyataan resminya, UNRWA (Badan PBB untuk Bantuan dan Pekerjaan bagi Pengungsi Palestina) menyebut bahwa polisi Israel secara paksa memasuki sekolah-sekolah di kawasan Shuafat, Silwan, Sur Baher, dan Wadi al-Joz di Al-Quds bagian timur (Yerusalem Timur) pada Selasa (8/04).
Pejabat dari Kementerian Pendidikan Israel juga datang dan mengeluarkan perintah penutupan terhadap sekolah-sekolah tersebut dalam waktu 30 hari.
“Jika kami dipaksa untuk menutup sekolah, dampaknya akan sangat serius. Anak-anak akan kehilangan hak dasar mereka atas pendidikan, yang akan memperparah penderitaan mereka dan berdampak negatif terhadap masa depan mereka,” kata Abir Ismail, direktur kantor informasi UNRWA.
Kepala UNRWA, Philippe Lazzarini, dalam pernyataannya menyebut bahwa perintah penutupan dari Israel merupakan “pelanggaran” terhadap hukum internasional dan prinsip-prinsip yang memberikan perlindungan terhadap operasi PBB dari yurisdiksi lokal.
Koresponden Al Jazeera, Nour Odeh, menyatakan bahwa penutupan sekolah-sekolah UNRWA ini sangat bermasalah, karena anak-anak yang terdampak kemungkinan besar akan dipindahkan ke sekolah-sekolah Israel yang dikelola oleh Pemerintah Kota Yerusalem.
Ia menjelaskan bahwa kurikulum yang digunakan di sekolah-sekolah Israel berbeda secara signifikan. Anak-anak Palestina tidak lagi diajarkan kurikulum Palestina, melainkan kurikulum Israel, yang menurut warga Palestina menghapus dan mengabaikan identitas Palestina. Saat ini, UNRWA memberikan bantuan kemanusiaan kepada sekitar 750.000 warga Palestina.
Ismail menegaskan bahwa UNRWA tetap berkomitmen untuk terus memberikan layanan pendidikan kepada para pengungsi Palestina di Al-Quds bagian timur, termasuk untuk tahun ajaran yang sedang berlangsung.
Namun, Israel menuduh beberapa pegawai UNRWA terlibat dalam serangan yang dipimpin Hamas terhadap Israel selatan pada 7 Oktober 2023 — tuduhan tanpa bukti yang dibantah keras oleh PBB.
Setelah tuduhan tersebut, pada tahun lalu Knesset (parlemen Israel) mengesahkan dua undang-undang yang melarang UNRWA melakukan aktivitas di dalam wilayah Israel serta melarang pejabat Israel berhubungan dengan UNRWA. Kedua undang-undang ini mulai berlaku sejak Januari.
Menurut Nour Odeh, Israel awalnya melarang kontak dengan UNRWA dalam urusan bantuan ke Gaza, namun kini telah memperluas larangannya dengan menargetkan operasi dan markas besar UNRWA di Al-Quds bagian timur yang diduduki.
Langkah ini diperkirakan akan berdampak besar terhadap kegiatan UNRWA di 19 kamp pengungsi lainnya di seluruh Tepi Barat. Warga Palestina sangat bergantung pada badan ini tidak hanya untuk pendidikan, tetapi juga layanan kesehatan dan dukungan psikososial.
Operasi militer di Tepi Barat diluncurkan hanya dua hari setelah gencatan senjata mulai berlaku di Gaza. Militer Israel mengebom dan menggusur komunitas-komunitas di Tepi Barat, menghancurkan seluruh area permukiman. Banyak pihak khawatir hal ini merupakan bagian dari upaya menuju aneksasi penuh wilayah tersebut.
Lebih dari 40.000 warga Palestina telah terusir dari Kamp Pengungsi Jenin dan Tulkarem akibat kampanye militer ini.
UNRWA sendiri didirikan oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1949 untuk memberikan bantuan kepada warga Palestina yang terusir dari tanah mereka saat Israel dibentuk pada tahun 1948 — peristiwa yang dikenal oleh rakyat Palestina sebagai Nakba, atau “malapetaka.”
Sumber:
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di sini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini