Sejarawan Israel, Ilan Pappé, telah lama menjadi salah satu suara paling vokal dalam mendukung dekolonisasi Palestina. Kini, setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengusulkan rencana depopulasi Jalur Gaza untuk membangun kembali wilayah tersebut pasca-15 bulan serangan Israel, Pappé juga menjadi salah satu penentang utama rencana tersebut.
“Kita harus memastikan bahwa rekonstruksi Gaza bukan sekadar pertunjukan Amerika atau proyek kapitalis. Ini harus menjadi bagian dari upaya dekolonisasi yang dipimpin oleh Palestina sendiri,” kata Pappé dalam wawancara dengan Anadolu.
Menurutnya, ketertarikan Amerika Serikat dan perusahaan multinasional dalam rekonstruksi Gaza bukan sekadar kepedulian kemanusiaan, tetapi juga peluang untuk meraup keuntungan. “Sayangnya, bukan semata-mata keinginan membantu, tetapi lebih karena motif ekonomi.”
Rekonstruksi Harus Berorientasi Politik, Bukan Sekadar Bantuan
Pappé menyoroti bahwa tidak adanya gerakan nasional Palestina yang bersatu menuntut kewaspadaan agar proyek rekonstruksi tidak justru menguntungkan pihak luar dibandingkan korban genosida itu sendiri.
Ia menegaskan bahwa selain bantuan kemanusiaan, rekonstruksi Gaza juga harus memiliki dimensi politik. Hal ini mencakup penguatan persatuan Palestina serta dukungan lebih besar dari dunia Muslim dan negara-negara Global South (istilah untuk negara berkembang dan terbelakang-red.), tidak hanya dalam bentuk ekonomi, tetapi juga secara politik.
Pappé juga menyerukan kepada masyarakat sipil di negara-negara Global North (istilah untuk negara maju dan berkuasa-red.) untuk melampaui sekadar aksi simbolis dan benar-benar mendorong kebijakan nyata yang menguntungkan Palestina.
“Kita berharap dalam 10 tahun ke depan, masyarakat sipil di Global North dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah mereka, bukan sekadar menunjukkan solidaritas dengan Palestina,” ujarnya.
Upaya Israel Mencegah Dekolonisasi dan Memperkuat Dominasinya
Menurut Pappé, dekolonisasi Palestina sebenarnya telah dimulai, tetapi Israel melakukan segala cara untuk mencegahnya.
“Salah satu strategi mereka adalah memastikan bahwa proyek zionisme tidak runtuh. Israel harus menjadi kekuatan regional, bukan hanya mengendalikan Tepi Barat dan Gaza, tetapi juga bagian barat Suriah dan selatan Lebanon,” katanya.
Israel ingin membangun citra sebagai kekuatan yang ditakuti agar negara-negara lain menjalin aliansi dengannya, baik karena kepentingan maupun ketakutan. Namun, Pappé berpendapat bahwa strategi ini tidak akan berhasil dan justru dapat menyebabkan kehancuran besar.
Normalisasi Saudi-Israel: Kepentingan Politik, Bukan Perdamaian Nyata
Pappé juga menyoroti ambisi Trump untuk mendapatkan Hadiah Nobel Perdamaian dengan menyelesaikan konflik di Ukraina dan Timur Tengah.
Salah satu pilar strategi Timur Tengah Trump adalah normalisasi hubungan antara Israel dan Arab Saudi. “Saudi akan menuntut semacam timbal balik. Meskipun bukan pembentukan negara Palestina, mereka kemungkinan menginginkan komitmen Amerika terhadap solusi dua negara serta dimulainya kembali proses negosiasi,” jelasnya.
Namun, Pappé menekankan bahwa realitas politik di Israel saat ini sangat menentang gagasan solusi dua negara. “Diperlukan perubahan politik yang signifikan di dalam negeri Israel untuk mewujudkannya. Konstelasi politik saat ini sama sekali tidak mendukung diskusi tentang solusi dua negara.”
Meskipun demikian, ia mengakui bahwa Washington memiliki pengaruh terhadap Tel Aviv, seperti yang terlihat dalam tekanan AS agar Israel menerima gencatan senjata di Gaza pada bulan lalu meski mendapat tentangan keras dari kelompok sayap kanan di pemerintahan Israel.
Namun, Pappé memperkirakan bahwa upaya menuju normalisasi dengan Arab Saudi hanya akan menghasilkan tindakan simbolis tanpa perubahan nyata.
Solusi Dua Negara: Gagasan yang Sudah Mati
Menurut Pappé, solusi dua negara sudah tidak lagi relevan dan tidak dapat diwujudkan.
“Kenyataan di lapangan membuatnya mustahil,” ujarnya, seraya menambahkan bahwa tidak ada kekuatan global—baik AS, Eropa, PBB, Rusia, China, maupun India—yang dapat mengubah situasi ini.
Ia menegaskan bahwa pengakuan internasional terhadap Palestina tidak boleh disalahartikan sebagai langkah nyata menuju negara merdeka. “Pengakuan itu lebih sebagai bukti bahwa Israel gagal menghapus Palestina sebagai gagasan dan identitas, tetapi bukan sebagai bentuk pengakuan terhadap negara yang benar-benar ada.”
Bagi Pappé, hanya ada dua pilihan yang tersisa bagi dunia: mempertahankan status quo apartheid seperti sekarang atau menggantinya dengan satu negara demokratis.
“Banyak pendukung solusi dua negara yang masih bertahan pada ide ini karena faktor kebiasaan politik, tetapi pada akhirnya mereka harus menerima kenyataan bahwa solusi ini telah mati,” tegasnya.
Kebutuhan Akan Kepemimpinan Palestina yang Bersatu
Salah satu tantangan utama saat ini, menurut Pappé, adalah perpecahan dalam gerakan nasional Palestina.
“Saat ini, gerakan nasional Palestina dalam kondisi kacau. Tidak ada kesatuan. Tidak ada badan perwakilan yang benar-benar berfungsi,” katanya.
Situasi ini membuat solidaritas internasional sulit diwujudkan dalam perubahan konkret. “Mereka bisa mengirim bantuan ke Gaza dan wilayah Palestina lainnya, tetapi mereka tidak bisa mendukung program politik karena tidak ada program politik yang jelas.”
Namun, Pappé tetap optimistis bahwa generasi muda Palestina akan mampu mengisi kekosongan ini.
“Saya tahu ada banyak inisiatif dari generasi muda, dan kita harus berharap bahwa sebagian dari mereka dapat berkembang dan membangun kembali gerakan nasional Palestina yang bersatu, demokratis, dan representatif, sehingga gerakan solidaritas dapat mengoptimalkan potensinya untuk menjadi kekuatan transformatif di lapangan.”
Perubahan lain yang berpotensi menentukan masa depan adalah meningkatnya kekecewaan terhadap zionisme di kalangan pemuda Yahudi, termasuk di Amerika Serikat.
“Ada perubahan signifikan di kalangan pemuda Yahudi, termasuk di AS, yang tidak lagi mendefinisikan diri mereka berdasarkan Zionisme. Bahkan, cukup banyak dari mereka yang merasa memiliki kewajiban untuk bergabung dalam gerakan solidaritas dengan Palestina,” pungkasnya.
Sumber:
https://www.middleeastmonitor.com
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di sini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini