Pada Sabtu, 8 April 2023, Adara Relief International dan Maqdis Academy mengadakan kegiatan perjalanan menelusuri jejak hubungan Indonesia-Palestina di sekitaran Jakarta Pusat. Pada kesempatan tersebut, Adara Relief menggandeng Pemuda Dewan Dakwah Islamiyah bersama dengan Ustadz Hadi Nur Ramadhan dari Pusat Dokumentasi Tamadun (@Pusdoktamadun). Historical Walk dapat diartikan sebagai Perjalanan Bersejarah, sebuah napak tilas untuk mengkaji hubungan antara Indonesia dengan Palestina yang diadakan untuk pertama kali oleh Adara Relief International. Program ini mengangkat tema Symbolism of Solidarity dan mempunyai tujuan simbolis yang ditujukan sebagai solidaritas untuk mendukung penegakkan hak dan kemerdekaan rakyat Palestina dari penjajahan Zionis Israel.
Terdapat dua destinasi dalam perjalanan Historical Walk kali ini. Pertama, Gedung Eks-Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang kini menjadi gedung Kunstkring Paleis, terletak di Jalan Teuku Umar No.1. Kedua, Gedung Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) yang terletak di Jalan Kramat Raya No. 45. Acara ini ditutup dengan sesi tanya jawab oleh Ustadz Hadi dan pemaparan materi kepalestinaan oleh Fitriyah Nur Fadhillah, S.Sos., M.IP selaku Kepala Departemen Research, Development and Mobilization (RDM), serta buka puasa bersama di Aula Dewan Dakwah DKI Jakarta.
Antusiasme peserta terlihat sejak pertama kali mereka tiba di Masjid Cut Meutia lebih awal sebelum waktu Ashar. Setelah salat, perjalanan dimulai dengan menelusuri Gedung Eks-MIAI. Dari penjelasan Ustadz Hadi diketahui bahwa gedung tersebut sudah berusia lebih dari satu abad. Hal tersebut sejalan dengan fakta sejarah bahwa pembangunan gedung ini dimulai pada 1913 ketika masih berupa Pusat Kesenian Batavia (Bataviasche Kunstkring). Pada saat pendirian Federasi Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) pada 21 September 1937 di Surabaya, MIAI menjadikan gedung ini sebagai kantor kerja mereka di Jakarta. Federasi ini didirikan atas prakarsa tokoh-tokoh Islam seperti KH. Wahab Chasbullah (NU), KH. Mas Mansyur, dan KH. Ahmad Dahlan (Muhammadiyah).
Adapun tujuan didirikannya federasi ini ialah untuk mengeratkan hubungan antar umat Islam. MIAI dibentuk sebagai inisiatif untuk wadah persatuan Islam, mengingat kala itu (pada 1930-an) diperlukan kerja sama yang erat untuk melawan penjajah Belanda. MIAI juga berkiprah di luar negeri untuk mengeratkan hubungan umat Islam Indonesia dengan negara luar, khususnya negeri Arab. Dalam hal ini MIAI banyak berperan, termasuk di dalamnya untuk mempercepat kemerdekaan Palestina. Dalam perjalannya, organisasi ini dibubarkan pada 1942 ketika Jepang menjajah karena sikapnya yang non kooperatif terhadap penjajah.
Setelah dibubarkan, MIAI berganti nama menjadi Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) pada tahun 1943. Gerakan-gerakan yang dilakukan Masyumi pada saat itu dilakukan juga untuk mempercepat gerakan kemerdekaan Indonesia dan dunia Islam, khususnya kemerdekaan Palestina dengan melaksanakan Kongres Umat
Selain menggalang kekuatan umat Islam untuk Palestina, Masyumi juga mendirikan Sekolah Tinggi Islam yang kini menjadi UII Jogja dengan KH. Kahar Muzakkir sebagai rektor pertamanya. Beliau juga merupakan perwakilan Indonesia sekaligus Sekretaris Jenderal yang ditunjuk oleh forum dalam Muktamar Dunia Islam di Baitul Maqdis.
Jejak sejarah di Gedung Eks MIAI ini ditutup dengan penguatan dari ustadz Hadi mengapa kita perlu peduli dengan bangsa Palestina. Hal tersebut tidak hanya karena alasan kemanusiaan, tetapi juga adanya akar sejarah yang kuat antara Indonesia dan Palestina. Sesuai pula dengan amanat konstitusi bangsa bahwa negara kita menolak segala bentuk penjajahan sekecil apa pun.
Semangat para pendiri bangsa dalam memperjuangkan Palestina dilakukan melalui konstitusi, kongres, dan muktamar. Di antara salah satu langkah terpenting adalah dengan diadakannya Konferensi Asia Afrika tahun 1955 di Bandung, ketika Indonesia dan negara dunia ketiga lainnya menggalang dukungan untuk kemerdekaan Palestina. Selain itu, puncak dukungan ditunjukkan juga pada tahun 1965 bertepatan dengan dilaksanakannya Konferensi Islam Asia Afrika.
Perjalanan peserta Historical Walk berlanjut ke gedung Dewan Dakwah Islamiyah DKI Jakarta di jalan Kramat Raya no.45. Gedung Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) didirikan pada 1967 oleh Mohammad Natsir, seorang tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, mantan pemimpin Partai Masyumi dan pemimpin-pemimpin kebangkitan Islam di Indonesia dan interaksi dengan Timur Tengah. Mohammad Natsir juga turut memperjuangkan kemerdekaan Palestina dengan banyak menulis tentang kondisi Palestina dan problematika zionisme. Ia juga menjadi pelopor organisasi Badan Pembebas Masjidil Aqsa (BPMA) pada 1950.
Safari sejarah di gedung ini lebih banyak mengedepankan kiprah tokoh-tokoh Islam sebagai penyokong dakwah yang ada di Indonesia kala kemerdekaan. Tokoh-tokoh tersebut juga aktif dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dari penjelasan Ustadz Hadi, tokoh-tokoh seperti Mohammad Natsir, Abdurrahman Baswedan, dan Mohammad Rasyidi dikirim untuk misi diplomasi ke Timur Tengah untuk menggalang dukungan bagi kemerdekaan Indonesia. Dalam sesi kali ini tokoh-tokoh yang diperkenalkan oleh Ustadz Hadi ialah, Prawoto Mangkusasmito (Ketua Umum Partai Masyumi Terakhir), Prof. Dr. H.M Rasjidi (Menteri Agama RI Pertama), dan Mr. Sjafruddin Prawiranegara (“Presiden” Pemerintah Darurat Republik Indonesia 1949–1950).
Namun Ustadz Hadi juga mengungkapkan bahwasanya kemerdekaan Palestina tidak hanya diperjuangkan oleh tokoh muslim saja. Salah satu tokoh nasional yang juga aktif dalam menentang penjajahan yang ada di Palestina ialah Sunario Sastrowardoyo. Dalam penjelasan singkatnya, ustadz Hadi mengungkapkan perjuangan beliau yang saat itu menjabat sebagai Menteri Luar Negeri sejak 1 Agustus 1953 hingga 24 Juli 1955, pada masa Kabinet Ali Sastroamijoyo. Selama menjabat sebagai Menteri Luar Negeri, Sunario juga menjadi Kepala Delegasi Indonesia dalam Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung pada 1955.
Di tengah jejak perjuangannya dalam memerdekakan Indonesia, Sunario juga dikenal sebagai tokoh anti penjajahan dan sangat concern memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Dalam tulisan-tulisannya, Sunario kerap mengkritik penjajahan zionis Israel dan mengungkap apa yang terjadi di Palestina. Karena itulah, saat menjadi Menlu, kemerdekaan Palestina selalu menjadi agenda kebijakan luar negeri Indonesia.
Dalam tulisannya yang berjudul Konferensi Asia-Afrika dan Masalah Timur Tengah (1978), Sunario menegaskan pada era 1950-an dunia masih terus menyaksikan merajalelanya kolonialisme dan imperialisme di Timur Tengah yang menimbulkan rasa keprihatinan bangsa Indonesia dan dunia. Hal itu, kata Sunario, terjadi karena kaum Zionis Yahudi mendeklarasikan “negara Israel” pada tahun 1948 di Palestina.
Setelah menjelaskan latar belakang dari tokoh-tokoh tersebut dan peranan mereka untuk Indonesia dan Palestina, rombongan peserta diarahkan untuk sesi terakhir dari perjalanan ini ke lantai tiga Aula Dewan Dakwah Islamiyah. Di tempat tersebut para peserta dipersilahkan untuk bertanya terkait pemaparan materi yang telah dijelaskan oleh Ustadz Hadi. Beliau juga berpesan untuk terus menumbuhkan rasa patriotisme terhadap bangsa Indonesia. “Kita tidak mempunyai wajib militer seperti negara-negara lain, sehingga belajar sejarah dengan benar merupakan sebuah kemutlakan untuk dapat mencapai kekuatan ketahanan nasional”.
Materi selanjutnya diberikan oleh Ketua Departemen RDM, Fitriyah Nur Fadilah, S.Sos, M.I.P. terkait dengan pengenalan Adara dan Edukasi mengenai Masjid Al-Aqsa. Kegiatan Historical Walk dengan tema Symbolism of Solidarity ini ditutup dengan acara buka puasa bersama dan sholat Maghrib berjamaah.
Sebagai penutup dari perjalanan bersejarah ini dapat disarikan bahwa perjuangan memerdekakan Palestina dan Baitul Maqdis bukan hanya kewajiban umat atau tokoh-tokoh muslim saja, tetapi hal tersebut juga berdasarkan amanat konstitusi para pendiri bangsa untuk menolak segala bentuk penjajahan di atas dunia. Mengutip perkataan Bung Karno:
“Selama kemerdekaan belum bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menentang penjajahan Israel.”
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini