Sejak agresi Israel dimulai pada 7 Oktober 2023, berbagai klaim kontroversial bermunculan untuk menutupi kejahatan perang yang terjadi. Israel kerap menyebarkan narasi yang belum tentu valid, seperti tuduhan bahwa Hamas memulai peperangan, melakukan kekerasan seksual terhadap perempuan, membunuh bayi, dan memiliki pusat komando di bawah infrastruktur publik. Narasi semacam ini sering kali mengalihkan perhatian media dari realitas di lapangan. Salah satu alat utama yang digunakan Israel untuk mengendalikan dan membentuk opini publik adalah propaganda yang dikenal dalam bahasa Ibrani sebagai “Hasbara”.

Apa Itu Hasbara?
Hasbara, yang berarti “menjelaskan” dalam bahasa Ibrani, adalah strategi propaganda Israel yang bertujuan untuk mendistorsi fakta dan membenarkan langkah-langkah kontroversialnya. Sejak 1948, Hasbara menjadi bagian dari diplomasi publik Israel untuk membangun dan mempertahankan citra positifnya di dunia internasional. Strategi ini mengaitkan “perang informasi”—melalui penyebaran berita dan pengaruh media—dengan kepentingan strategis Israel.
Konsep Hasbara pertama kali diperkenalkan oleh Nahum Sokolow, seorang tokoh Zionis abad ke-20. Sebagai jurnalis, Sokolow menekankan pentingnya literasi dalam bahasa Ibrani dan merancang Hasbara sebagai sebuah seni komunikasi yang bertujuan untuk menarik perhatian, bukan menciptakan penolakan. Ia menguasai teknik ini sepanjang hidupnya dan menjadikannya senjata utama dalam propaganda Zionis.
Apa yang Dilakukan Israel dalam Menjalankan Hasbara?
Seiring meningkatnya solidaritas global terhadap Palestina, pemerintah Israel semakin agresif menerapkan strategi Hasbara untuk membangun dan mempertahankan citra positifnya di tingkat internasional. Hasbara tidak hanya ditujukan kepada pendukung Israel, tetapi juga berupaya membentuk opini publik dengan membantah informasi yang bertentangan dengan kepentingan Israel serta menyebarkan narasi pro-Israel melalui berbagai platform media sosial.
Hasbara di Era Digital

Di era digital, Hasbara berkembang pesat di media sosial dalam bentuk unggahan, komentar, dan narasi yang disebarluaskan oleh akun-akun pro-Israel. Strategi ini tidak hanya menyasar masyarakat umum, tetapi juga melibatkan lembaga pemerintah, pusat penelitian, organisasi non-pemerintah (LSM), hingga perusahaan multinasional.
Pada tahun 2017, investigasi The Intercept mengungkap bahwa Israel menggelontorkan jutaan dolar untuk propaganda digital, termasuk melalui aplikasi seluler Act.IL dan HasbaraApp. Act.IL dirancang menyerupai permainan dengan cara memberikan berbagai “misi” kepada penggunanya seperti menyukai, mengomentari, dan membagikan konten pro-Israel di media sosial. Selain itu, mereka didorong untuk menandai, melaporkan, dan menanggapi kritik yang dianggap “mendelegitimasi” Israel. Semakin aktif pengguna dalam menyelesaikan misi, maka semakin banyak poin yang diperoleh yang memungkinkan mereka naik peringkat di papan skor aplikasi.
Sementara itu, HasbaraApp berfokus untuk membangun narasi bahwa Israel adalah negara cinta damai yang dianiaya oleh individu dan negara anti-Semit. Aplikasi ini menyediakan dua kategori informasi bagi penggunanya, yaitu tentang sejarah Israel-Palestina serta imperialisme dan sumber daya material. Kedua kategori ini disajikan dari sudut pandang pro-Israel untuk membentuk opini bahwa Israel adalah pihak yang secara keliru dituduh melakukan berbagai kejahatan.
Meskipun aplikasi Act.IL ditutup pada 2022 akibat rendahnya keterlibatan pengguna dan HasbaraApp tidak lagi tersedia di App Store, situs web keduanya tetap aktif hingga kini. Situs-situs tersebut masih menyebarkan konten pro-Israel serta menyediakan tautan untuk bergabung dengan kelompok pendukung Israel di Telegram dan WhatsApp.
Salah satu fungsi utama Hasbara modern adalah membangun citra Israel sebagai korban, bahkan sebagai pihak yang tertindas, guna mengalihkan perhatian dunia dari kejahatan yang dilakukannya di Palestina.
Hasbara di Tengah Agresi Israel

(kredit foto: Unit Juru Bicara IDF)
Selama hampir 15 bulan agresi berlangsung, Israel terus mengubah terminologi terkait kejahatan perangnya di media sosial untuk membentuk narasi yang menguntungkan dirinya. Salah satu cara yang digunakan adalah dengan melegitimasi serangan terhadap warga Palestina atas nama “pertahanan diri.” Israel mengklaim bahwa serangan 7 Oktober merupakan upaya melindungi diri dari kelompok bersenjata, yang kemudian dijadikan pembenaran untuk membunuh warga Palestina.
Namun, jika merujuk pada hukum internasional, Pasal 51 Piagam PBB menyatakan jika suatu negara yang menjadi anggota PBB diserang secara militer, negara tersebut (baik secara individu maupun bersama dengan negara lain) berhak melakukan tindakan bela diri tanpa harus menunggu keputusan dari Dewan Keamanan PBB. Namun, tindakan tersebut tetap berada dalam batas tertentu, dan harus segera dilaporkan ke Dewan Keamanan.
Dalam konteks ini, Pelapor Khusus PBB untuk hak asasi manusia di wilayah Palestina yang diduduki, Francesca Albanese, menegaskan bahwa hak untuk membela diri hanya berlaku ketika suatu negara diancam oleh negara lain. Dalam pidatonya di Australian Press Club tahun lalu, ia menegaskan bahwa Israel bukan menghadapi ancaman dari negara lain, melainkan dari kelompok bersenjata di Gaza—sebuah wilayah yang secara efektif masih berada di bawah kendali Israel. Meskipun pada 2005 Israel telah menarik pasukannya dari Gaza, Israel telah menerapkan blokade darat, laut, dan udara sejak Hamas berkuasa pada 2007, yang menurut Albanese setara dengan pendudukan, meskipun Israel dan sekutunya menolak klaim tersebut.
“Israel tidak dapat mengklaim hak membela diri terhadap ancaman yang berasal dari wilayah yang didudukinya secara agresif,” kata Albanese.
Selain membenarkan agresi militer dengan dalih pertahanan diri, Israel juga melegitimasi serangan terhadap rumah sakit di Gaza dengan menuduh Hamas menggunakan fasilitas medis sebagai basis militer. Tuduhan ini digunakan untuk membenarkan pengeboman yang membunuh ribuan warga sipil. Dalam berbagai serangan sebelumnya, Israel berulang kali menargetkan lingkungan permukiman dan infrastruktur sipil yang menyebabkan jumlah korban jiwa yang sangat besar.
Di sinilah peran Hasbara menjadi penting bagi Israel. Melalui propaganda ini, Israel berusaha membenarkan serangan terhadap wilayah sipil dan mengalihkan kesalahan atas banyaknya korban sipil kepada Hamas. Israel secara konsisten menuduh Hamas menggunakan sekolah, rumah sakit, kawasan permukiman, dan pabrik sebagai lokasi militer serta menjadikan warga sipil sebagai “perisai manusia.”
Demi mendukung klaim ini, Israel merilis foto satelit dan kutipan “pengakuan” dari anggota Hamas yang ditangkap, meskipun tidak ada bukti yang dapat diverifikasi secara benar. Para kritikus berpendapat bahwa tuduhan tersebut bukanlah upaya transparan untuk diselidiki oleh pihak ketiga, melainkan bagian dari Hasbara yang berfungsi sebagai disinformasi untuk meredam kemarahan publik atas kebrutalan Israel di Gaza.
Dalam menjalankan agresinya, Israel semakin memperluas penggunaan narasi “perisai manusia” dengan mengeluarkan perintah evakuasi massal bagi seluruh penduduk Gaza utara. Propaganda Hasbara menggambarkan langkah ini sebagai upaya melindungi warga sipil, tetapi banyak analis menilai bahwa perintah evakuasi yang tidak realistis ini justru menjadi dalih bagi Israel untuk meningkatkan serangan terhadap wilayah sipil. Dengan mengklaim telah memperingatkan warga untuk melarikan diri, Israel berusaha menutupi serangannya yang menyasar warga sipil.
Menurut berbagai pakar, inilah yang menjelaskan mengapa serangan Israel terhadap Gaza begitu brutal. Skala kehancuran yang ditimbulkan—termasuk kematian lebih dari 18.000 anak, serangan terhadap layanan kesehatan, serta penghentian pasokan air dan listrik—tidak dapat dibenarkan semata-mata sebagai “hak untuk membela diri.”
David Versus Goliat: Victim Mentality Israel
(Oren Ziv). [Jerusalem Post]
Mengacu pada tulisan Nahum Sokolow, yang hidup di era berbeda ketika antisemitisme melanda Eropa, narasi ini berakar pada kisah dari Alkitab tentang David versus Goliat— yang menggambarkan kemenangan pihak yang lebih kecil dan lebih lemah ketika bertempur melawan musuh yang jauh lebih kuat.
Para kritikus berpendapat bahwa narasi ini mungkin masih relevan pada masa perang Arab-Israel 1967, tetapi sama sekali tidak masuk akal dalam konteks perang modern Israel di Gaza.
Saat ini, Israel adalah kekuatan adidaya regional dengan persenjataan nuklir dan dukungan besar dari Amerika Serikat serta Eropa. Entitas ini mengepung Gaza, mengontrol pasokan air, wilayah udara, dan perbatasannya, tetapi tetap bersikeras menggambarkan Hamas dan Gaza sebagai ancaman eksistensial. Bahkan, pejabat tinggi Israel, termasuk Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, sering menyamakan Hamas dan terkadang seluruh Gaza dengan Nazi Jerman.
Distorsi Hasbara ini secara sengaja membingungkan pemahaman publik mengenai motivasi langsung Hamas serta bentuk perlawanan Palestina lainnya. Narasi ini dimaksudkan untuk menggambarkan Hamas seolah-olah memiliki kekuatan militer yang setara dengan mesin perang Nazi.
Misalnya, sebelum merebut Rumah Sakit Al-Shifa di Gaza, Israel secara agresif membangun narasi bahwa fasilitas medis tersebut merupakan “pusat komando dan kontrol” Hamas, tempat kelompok tersebut diduga merencanakan operasinya. Meskipun tidak diragukan bahwa Hamas memiliki basis operasi di Gaza, hingga kini tidak ada bukti yang dapat diverifikasi bahwa Al-Shifa benar-benar digunakan sebagai pusat komando. Penyebutan istilah seperti “pusat komando dan kontrol” adalah bentuk distorsi Hasbara yang sengaja dibesar-besarkan.
Jika Israel berhasil meyakinkan dunia bahwa Hamas memiliki infrastruktur militer canggih seperti “pusat komando dan kontrol,” maka publik mungkin akan menganggap bahwa Hamas memiliki kemampuan militer yang setara dengan Israel. Terminologi ini dirancang untuk membentuk persepsi bahwa Israel sedang berjuang demi kelangsungan hidupnya, yang kemudian digunakan sebagai justifikasi atas serangan brutalnya terhadap Gaza.
Pada akhirnya, strategi ini bertujuan untuk mengubah korban di pihak warga sipil Palestina akibat agresi militer besar-besaran Israel menjadi sekadar kerusakan tambahan yang dianggap perlu dalam perang melawan kekuatan yang diklaim setara dengan ancaman Nazisme.
Menjadi Lebih Kritis dalam Menyikapi Narasi Hasbara
Kini, di era modern, Hasbara bahkan dijadikan bagian dari kebijakan publik Israel dengan pendanaan yang sangat besar. Mengutip Ali bin Abi Thalib, “Kebenaran yang tidak terorganisasi dengan baik akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisasi dengan rapi.” Oleh sebab itu, untuk melawan narasi yang telah dirancang sedemikian rupa dalam Hasbara, kita juga harus bersungguh-sungguh dalam menyikapinya—dengan lebih kritis dalam menerima, membaca, dan menyebarkan informasi. Dengan demikian, kita dapat tetap berpihak pada kebenaran dalam sejarah dan realitas perjuangan kemerdekaan Palestina.
Yunda Kania Alfiani, S.Hum
Penulis merupakan anggota Departemen Research and Development Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana jurusan Ilmu Sejarah, FIB UI.
Referensi:
Understanding Hasbara: Israel’s propaganda machine
The art of deception: How Israel uses ‘hasbara’ to whitewash its crimes
Hasbara 2.0: Israel’s Public Diplomacy in the Digital Age
Hasbara, Israel’s Propaganda and What it Means for Indonesia
Does Israel have the right to self-defence in Gaza?
We CallHim Mister (Pan) Editor”: Nahum Sokolow and Modern Hebrew Literature
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di sini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini