“Jika ada neraka di bumi, itu adalah kehidupan anak-anak di Gaza.”
(Kepala PBB Antonio Guterres, dalam Majelis Umum PBB, Mei 2024)
Setiap tanggal 6 Januari, dunia memperingati Hari Anak Yatim Korban Perang atau World Day for War Orphans. Hari Anak Yatim Piatu Korban Perang ini diprakarsai oleh organisasi SOS Enfants En Détresse (SOS Children in Need/SOS Anak-Anak yang Membutuhkan), sebuah organisasi Prancis yang bekerja dengan tujuan untuk memberikan rasa normal pada kehidupan anak-anak yang terkena dampak perang dan konflik. Selain itu, United Nations Children’s Fund (UNICEF) atau Dana Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa juga mendukung adanya Hari Anak Yatim Korban Perang sehingga hari besar ini menjadi peringatan tahunan internasional.
Dilansir oleh UNESCO, Hari Anak Yatim Korban Perang diperingati setiap tahunnya untuk menyoroti dampak perang terhadap populasi yang paling rentan, yakni anak-anak. UNESCO menekankan bahwa mereka memberikan perhatian khusus pada dampak perang terhadap kebutuhan dasar anak-anak seperti perawatan, pendidikan, dan perlindungan. Hari Anak Yatim Korban Perang juga bertujuan untuk menekankan upaya global untuk memastikan agar anak-anak yang menderita di wilayah konflik tidak dilupakan oleh dunia.
Pada Hari Anak Yatim Korban Perang tahun ini, dunia kembali diingatkan pada anak-anak yang menjadi korban genosida, terutama di Jalur Gaza yang sejak Oktober 2023 terus dibombardir oleh Israel. Kantor berita resmi Palestina (WAFA) melaporkan bahwa sejak awal agresi hingga saat ini, sekitar 19.000 anak telah menjadi yatim piatu di Gaza. Anak-anak tersebut tidak hanya kehilangan orang tua dan anggota keluarga, tetapi juga menghadapi cedera hingga harus diamputasi, mengalami kelaparan, kedinginan, bahkan trauma berat yang membuat mereka tidak mampu berkomunikasi dan mengingat nama mereka sendiri. Terlalu banyak kisah-kisah memilukan dari anak-anak Gaza yang menjadi yatim piatu akibat genosida, dan berikut adalah beberapa kisah yang mewakili rasa kesepian, ketakutan, dan kesendirian mereka.
“Majhoul”, Bayi Yatim Piatu yang Tak Dikenal di Gaza

Seorang bayi prematur tiba di Rumah Sakit Emirat di kota selatan Rafah pada November 2024 lalu. Bayi berjenis kelamin perempuan tersebut baru berusia 3 minggu ketika ia dibawa ke rumah sakit tanpa seorang pun anggota keluarga. Amal Abu Khatleh, seorang perawat neonatal di RS tersebut mengatakan bahwa bayi tersebut ditemukan di sebelah masjid Kota Gaza setelah serangan udara Israel membunuh puluhan orang di kawasan tersebut. Staf rumah sakit kemudian memanggilnya “Majhoul,” yang dalam bahasa Arab berarti “tidak dikenal.”
Karena kesal dengan nama yang terlalu mencolok itu, Abu Khatleh kemudian memutuskan untuk memberi bayi tersebut nama yang lebih layak, yaitu Malak, yang artinya “malaikat.” Dia kemudian menelepon wartawan di Gaza utara untuk mencari tahu apakah ada yang merasa kehilangan anggota keluarga dalam serangan di dekat tempat Malak ditemukan, juga bertanya kepada para pasien yang sekiranya mencari bayi perempuan yang hilang. Mirisnya, pencarian tersebut sama sekali tidak membuahkan hasil. Malak benar-benar sendirian tanpa seorang pun keluarga yang tersisa.
Karena khawatir terhadap perkembangan Malak, Abu Khatleh kemudian memutuskan untuk membawanya pulang. Kecuali jika ia menemukan orang tua Malak, katanya, ia berencana untuk tetap merawatnya. “Saya merasa Malak adalah putri kandung saya,” katanya. “Saya mencintainya. Teman-teman saya bahkan mengatakan dia sekarang mirip dengan saya.”
Sejumlah anak dilaporkan menjadi yatim piatu sejak lahir, setelah ibu mereka yang terluka, meninggal saat melahirkan, kata Dr. Deborah Harrington, seorang dokter kandungan Inggris yang menjadi relawan di Gaza. Dokter di Gaza mengatakan mereka juga telah merawat banyak anak yang menjadi yatim piatu akibat genosida, dan banyak dari mereka harus diamputasi tanpa ada satu pun keluarga yang mendampingi.
“Tidak ada seorang pun di sana yang memegang tangan mereka, tidak ada seorang pun di sana yang memberi mereka kenyamanan selama operasi yang menyakitkan itu,” kata Dr. Irfan Galaria, seorang ahli bedah plastik dari Virginia, AS, yang menjadi relawan di sebuah rumah sakit Gaza.
SOS Children’s Villages, sebuah kelompok bantuan yang mengelola panti asuhan di Gaza melaporkan bahwa beberapa anak kecil mengalami trauma mendalam, hingga mereka menjadi bisu dan tidak dapat menyebutkan nama mereka sendiri. Ini menyebabkan pencarian keluarga atau wali hampir mustahil dilakukan. PBB memperkirakan bahwa sekitar 40 persen orang di Gaza juga telah kehilangan kartu identitas dan dokumen lainnya, sehingga semakin sulit untuk mengidentifikasi anak-anak yang ditemukan tanpa pendamping. Genosida tidak hanya membuat anak-anak menjadi yatim piatu karena kehilangan orang tua dan anggota keluarga, namun juga memutus harapan untuk menemukan anggota keluarga mereka yang masih tersisa.
Anak-Anak Gaza Kehilangan Keluarga dan Identitas di Tengah Genosida

“Rudal itu jatuh di pangkuan ibu saya dan tubuhnya hancur berkeping-keping. Selama berhari-hari kami mengambil bagian-bagian tubuhnya dari reruntuhan rumah,” kata Abed Hussein, seorang anak laki-laki yang tinggal di Kamp Pengungsi al-Bureij. “Saat mereka mengatakan bahwa saudara laki-laki saya, paman saya, dan seluruh keluarga saya terbunuh, saya merasa jantung saya terbakar.”
Dengan kantung mata hitam yang sangat besar di sekitar matanya, Abed mengatakan ia selalu terjaga di malam hari karena takut mendengar suara tembakan Israel dan merasa sendirian. “Saat ibu dan ayah saya masih hidup, saya bisa tidur, tetapi setelah mereka terbunuh, saya tidak bisa tidur lagi. Saya biasanya tidur di samping ayah saya,” jelasnya. Abed dan dua saudaranya yang masih hidup dirawat oleh neneknya, tetapi kehidupan sehari-hari sangat sulit. “Tidak ada makanan atau air,” katanya. “Saya sakit perut karena minum air laut.”
Di tempat lain, seorang anak berbaring di tempat tidur di Rumah Sakit Eropa di Gaza selatan. Tersembunyi di balik perban yang menutupi wajahnya yang cedera, Ahmed Abu Zariaan yang berusia lima tahun tetap “tidak dikenal” selama lebih dari seminggu. Anak laki-laki yang terluka itu adalah salah satu dari sejumlah anak yang terus bertambah jumlahnya di Gaza, yang didaftarkan sebagai anak “tidak dikenal” karena kondisinya yang tanpa sanak keluarga yang tersisa. Kondisi ini menjadi lumrah di Gaza sehingga menimbulkan sebuah kondisi baru yang dikenal dengan sebutan WCNSF – wounded child, no surviving family (anak yang terluka, tidak ada keluarga yang selamat).
Keluarga Ahmed meninggal dalam serangan udara Israel saat mereka melakukan perjalanan ke selatan di sepanjang Jalan Salah al-Din, sebuah rute yang ditetapkan Israel sebagai jalur aman dari Gaza utara, pada awal November 2023. Dengan keinginan untuk menyelamatkan diri, keluarga yang terdiri dari lima orang itu meninggalkan Beit Hanoun dengan kereta keledai menuju Rafah, di perbatasan Gaza dengan Mesir. Namun, nyatanya, keluarga itu terbunuh serangan Israel, menyisakan Ahmed yang berusia lima tahun. Nour Lafi, seorang perawat berusia 28 tahun di Rumah Sakit Eropa, mengatakan bahwa Ahmed menerima perawatan intensif selama dua pekan akibat luka parah dan luka bakar yang dideritanya.
Pada bulan April 2024, 41 persen keluarga yang disurvei oleh lembaga Crickx di Gaza dilaporkan mengasuh anak-anak yang bukan anak kandung mereka sendiri. “Banyak dari anak-anak ini ditemukan di bawah reruntuhan atau kehilangan orang tua mereka akibat bom Israel yang menyasar rumah mereka,” Jonathan Crickx, kepala komunikasi Unicef Palestina, melaporkan dari Rafah di Gaza selatan. “Yang lainnya ditemukan di pos pemeriksaan Israel, rumah sakit, dan di jalan,” ia menambahkan.
“Anak-anak yang lebih kecil seringkali tidak dapat menyebutkan nama mereka, dan yang lebih tua biasanya dalam keadaan syok sehingga sangat sulit untuk mengidentifikasi mereka dan menyatukan mereka kembali dengan keluarga besar mereka.” Bahkan ketika kerabat dapat ditemukan, mereka tidak selalu berada dalam posisi yang tepat untuk membantu merawat anak-anak yatim yang berduka ini. “Ingatlah bahwa mereka juga seringkali berada dalam situasi yang sangat buruk,” kata Crickx. “Mereka mungkin memiliki anak-anak sendiri untuk dirawat dan kondisinya mungkin sulit, atau bahkan tidak mungkin bagi mereka untuk merawat anak-anak lain yang sendirian dan terpisah dari keluarga inti mereka.”
Kamp Panti Asuhan, Secercah Harapan Bagi Yatim Korban Genosida Gaza

Di daerah Al-Mawasi, sebelah barat Khan Younis, seorang guru Palestina bernama Mahmoud Kallakh mendirikan sebuah kamp yang bertujuan untuk memberikan sedikit bantuan kepada keluarga-keluarga di Gaza yang kehilangan kepala keluarga dan pencari nafkah. “Kamp Panti Asuhan” Al-Baraka ini diperkirakan telah menampung 400 keluarga Palestina yang mengungsi ke daerah Gaza selatan, per bulan Oktober 2024.
Dalam sebuah wawancara dengan reporter PBB di Gaza, Kallakh mengatakan bahwa inisiatif tersebut bertujuan untuk memberikan perawatan kepada keluarga di tempat yang ia sebut sebagai “kamp panti asuhan”. Beberapa fasilitas yang ia sediakan, termasuk tempat berteduh, makanan dan minuman, perawatan medis, juga layanan pendidikan dan sosial, berasal dari beberapa sumber bantuan, termasuk dari Dana Anak-Anak PBB (UNICEF).
Namun, jumlah anak-anak yang dilayani di kamp tersebut hanyalah setetes air di lautan anak-anak yatim piatu di Gaza yang membutuhkan perlindungan. Jumlah anak yatim piatu yang tidak terlindungi di Gaza sekarang diperkirakan mencapai 19.000 anak menurut situs media WAFA, dan banyak di antaranya tidak ditemani oleh satu pun anggota keluarga. Di tengah genosida yang masih berlangsung, mereka dipaksa untuk menghadapi kengerian tersebut seorang diri.
Salah satu penghuni kamp tersebut adalah anak perempuan bernama Nada al-Gharib. Ia kehilangan ayah dan satu-satunya saudara laki-lakinya dalam sebuah serangan di tenda keluarga mereka. Nada dan ibunya terluka dalam serangan di tenda tempat keluarga mereka berlindung di Khan Younis. Mereka terjebak di sana selama tiga hari. Setelah berhasil meninggalkan tenda, Nada dan ibunya pergi ke kawasan industri di sebelah barat Khan Younis. Di sana mereka sempat menerima perawatan sebelum terjebak lagi. Kemudian mereka melewati pos pemeriksaan Israel untuk menyeberang ke Rafah, yang akhirnya juga mereka tinggalkan, dan akhirnya membawa mereka ke Kamp Panti Asuhan Al-Baraka.
Nada dan ibunya mengatakan mereka merasa menemukan rumah kedua di kamp ini, “Semua orang yang ada di sekitar kami memiliki cerita dan rasa sakit yang sama. Kami seperti saudara di sini,” katanya. “Semua ibu seperti ibu kami, dan semua anak adalah saudara kami. Kami sangat mencintai satu sama lain dan kami mencintai hidup kami. Meskipun sulit dan kehilangan (orang yang kami cintai), kami mencoba untuk tetap hidup demi mereka.”
Di Gaza, jumlah anak-anak yatim piatu setiap harinya selalu terus bertambah seiring dengan terus berlanjutnya penyerangan. Tak hanya kehilangan orang tua, namun anak-anak Gaza juga kehilangan kemampuan untuk mengingat nama mereka sendiri dan anggota keluarga mereka yang tersisa. Anak-anak yang terluka parah juga hanya memiliki kesempatan yang sangat kecil untuk bertemu dengan kerabat mereka karena kondisi mereka sudah sulit dikenali. Genosida telah meyatimpiatukan anak-anak Gaza secara sistematis, dan satu-satunya jalan untuk menyelamatkan anak-anak yang tersisa adalah dengan kerjasama dunia internasional dalam mengakhiri genosida Israel di Jalur Gaza secara permanen.
Salsabila Safitri, S.Hum.
Penulis merupakan Relawan Departemen Penelitian dan Pengembangan Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana jurusan Sastra Arab, FIB UI.
Sumber :
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di sini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini