Hari Anak pertama kali dicetuskan pada 1954 sebagai Hari Anak Universal sekaligus sebagai peringatan diadopsinya Konvensi Hak Anak oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Setiap tanggal 20 November, Hari Anak diperingati untuk mengampanyekan kesadaran di antara anak-anak di seluruh dunia dan meningkatkan kesejahteraan anak. Hari Anak Sedunia berfungsi sebagai pengingat yang kuat bahwa anak-anak, di mana pun mereka berada, berhak mendapatkan keamanan dan perlindungan.
Tahun ini, Hari Anak Sedunia diperingati dengan tema “Listen to the Future. Stand Up for Children’s Rights.” Namun, di balik tema yang sangat visioner tersebut, dunia tahun ini menyaksikan ironi yang menyakitkan ketika ribuan anak-anak di Jalur Gaza dibantai dengan keji oleh Zionis Israel, hingga detik ini. Puluhan ribu anak-anak di Gaza telah meregang nyawa, bahkan masih banyak yang belum ditemukan jasadnya dari bawah reruntuhan atau belum teridentifikasi karena kondisi jenazah yang tidak utuh. Sementara itu, anak-anak yang masih bertahan, ribuan hidup sebatang kara karena kehilangan keluarga, mereka juga harus bertarung dengan banyak ancaman kematian: kelaparan, krisis air bersih, dan wabah penyakit.
Dalam sebuah pernyataan yang disampaikan sehari sebelum Hari Anak Sedunia, juru bicara UNICEF James Elder, menyebut Jalur Gaza sebagai “kuburan bagi ribuan anak”. “Lebih dari satu juta anak di Gaza juga mengalami krisis air. Kapasitas produksi air Gaza hanya 5 persen dari produksi harian biasanya. Kematian anak-anak, terutama bayi, akibat dehidrasi merupakan ancaman yang terus meningkat,” tambahnya. Komisaris Jenderal UNRWA, Philippe Lazzarini, menyebut genosida Israel sebagai “perang terhadap anak-anak.” Ia menekankan, “Lebih banyak anak yang terbunuh dalam empat bulan genosida di Gaza daripada dalam empat tahun perang di seluruh dunia.”
Ketika Akta Kelahiran dalam Sekejap Berubah Menjadi Akta Kematian

Beberapa bulan lalu, Mohammad Abu al-Qumsan dan istrinya, Jumana Arafa, pasangan yang mengungsi dari Gaza utara, menyambut kelahiran bayi kembar mereka ke dunia setelah menjalani operasi caesar yang sulit. Hati mereka dipenuhi dengan kegembiraan, dan pasangan itu menantikan masa depan bersama kedua anak kembar mereka. Hidup mereka begitu lengkap dengan kehadiran anak laki-laki yang mereka beri nama Asser dan anak perempuan yang mereka beri nama Aysel.
Empat hari setelah kelahiran anak kembarnya, Mohammad pergi untuk mengambil akta kelahiran anak-anaknya di rumah sakit. Namun, setelah mengambil akta kelahiran si kembar, ia menerima telepon yang mengubah seluruh hidupnya. Seseorang memberitahunya bahwa serangan Israel telah menargetkan apartemen tempat keluarganya tinggal.
Dengan jantung berdebar kencang dan rasa takut yang menguasainya, Mohammad bergegas ke Rumah Sakit Syuhada Al-Aqsa di Deir al-Balah. Ia mendapati bahwa ketakutan terburuknya terbukti: istri dan anak kembarnya berada di antara korban yang wafat akibat serangan. Dengan memegang dua dokumen akta kelahiran yang dilaminasi, yang seharusnya menjadi kegembiraan untuknya, ia menangis di kamar mayat di samping jenazah istri dan anak kembarnya yang telah terbungkus kain kafan.
“Saya baru saja memperoleh akta kelahiran untuk bayi saya yang baru lahir, Aysel dan Asser,” katanya dengan berlinang air mata. “Mereka lahir pada 10 Agustus. Saya sedang berada di luar rumah, menyelesaikan dokumen, dan kemudian saya mendapat telepon… Saya tidak menyangka mereka semua sudah tiada. “Aysel dan Asser adalah awal dan akhir kegembiraan saya. Kebahagiaan saya tidak lengkap, dan sekarang hilang,” kata ayah yang berduka tersebut.

Beberapa bulan setelah wafatnya Aysel dan Asser, bayi-bayi lainnya di Gaza semakin banyak yang menyusul mereka karena fasilitas kesehatan yang semakin buruk. Menurut UNICEF, setidaknya 4.000 bayi di Gaza telah terputus dari perawatan untuk bayi baru lahir sejak tahun lalu, karena serangan udara tanpa henti terus menargetkan rumah sakit yang berjuang untuk menyambung kehidupan mereka. Krisis ini, yang diperburuk oleh pemadaman listrik dan pasokan bahan bakar yang tidak memadai untuk menopang fasilitas medis, sangat menghambat upaya perawatan kritis. Seolah bayi-bayi di Gaza dilahirkan hanya untuk bernafas sejenak sebelum kembali meninggalkan alam dunia.
Dalam pernyataan yang dirilis oleh UNICEF pada 5 November 2024, dilaporkan bahwa Rumah Sakit Kamal Adwan di Gaza utara, yang terletak di zona perang yang dikepung, mengalami kerusakan signifikan akibat serangan udara Israel. Unit perawatan intensif neonatal (NICU)—satu-satunya yang tersisa di Gaza utara—termasuk di antara fasilitas yang terkena dampak serangan ini. UNICEF menyatakan bahwa setiap bayi baru lahir yang berjuang untuk bernapas dalam inkubator sama sekali tidak berdaya, dan sepenuhnya bergantung pada dukungan medis dan peralatan khusus untuk bertahan hidup. Dengan demikian, menghancurkan fasilitas tersebut sama saja dengan menghancurkan kehidupan bayi-bayi baru lahir tersebut.
UNICEF menambahkan bahwa tiga unit perawatan intensif neonatal di Gaza utara telah mengalami penurunan 70% dari jumlah inkubator yang tersedia di seluruh Jalur Gaza, sehingga hanya tersisa sekitar 54 inkubator untuk melayani seluruh populasi. Sementara itu, 6.000 bayi baru lahir di Gaza memerlukan perawatan intensif setiap tahun, dengan angka sebenarnya yang mungkin lebih tinggi. Sebelum dimulainya genosida, Gaza memiliki delapan unit perawatan intensif neonatal (NICU) yang dilengkapi dengan 178 inkubator, sehingga dapat dikatakan bahwa lebih dari separuh fasilitas medis untuk mendukung kehidupan bayi-bayi di Gaza telah musnah,
Sejak 7 Oktober 2023, sebanyak 209 bayi baru lahir telah dihabisi nyawanya oleh Israel, demikian juga dengan 710 bayi di bawah usia satu tahun, dan 1.793 balita berusia 1–3 tahun di Jalur Gaza, meninggalkan para orang tua yang hanya diizinkan untuk berbahagia sesaat atas kelahiran anak mereka, sebelum kembali berduka karena nyawa buah hati mereka tidak dapat dipertahankan.
Tak Ada Tempat Bermain untuk Anak-Anak Gaza

Pada awal September lalu, serangan udara Israel menghantam sebuah bangunan tempat tinggal di pusat Kota Gaza, membunuh banyak orang, salah satunya Tala Abu Ajwa, gadis kecil berusia 9 tahun. Saat itu, sepatu rodanya yang berlumuran darah menjadi berita utama di berbagai media. Jasadnya yang tak bernyawa tergeletak di Rumah Sakit Al-Ahli di Kota Gaza beberapa jam setelah pengeboman dahsyat tersebut terjadi. Orang-orang yang mengenal Tala hanya bisa mengenalinya dari sepatu roda merah muda yang masih dikenakannya saat itu.
Beberapa jam sebelum kekacauan terjadi, Tala memohon kepada ibunya agar diizinkan bermain di luar bersama anak-anak lainnya. Sang ibu awalnya ragu-ragu memberinya izin, tetapi kemudian hatinya luluh melihat putrinya yang sangat ingin bermain dengan teman-teman sebayanya–dan hal tersebut menjadi penyesalan terbesar bagi sang ibu. Dalam waktu singkat, gemuruh bom yang menggelegar menghancurkan ketenangan kawasan tempat tinggal mereka. Kepanikan menyergap ibu dan ayah Tala ketika mereka menyadari putri mereka terjebak dalam kekacauan di luar. Tala segera dilarikan ke rumah sakit, namun dia meninggal karena luka-lukanya.
Tala, gadis kecil periang dengan sepatu rodanya, menjadi salah satu di antara 17.500 anak yang telah dibunuh di Gaza oleh genosida Israel, yang berarti seorang anak Palestina telah dibunuh di Gaza setiap 30 menit, menurut data terbaru dari Kementerian Kesehatan Palestina. Di antara jumlah tersebut, dilaporkan bahwa korban terdiri dari 710 bayi di bawah usia satu tahun, 1.793 balita berusia 1–3 tahun, 1.205 anak prasekolah berusia 4–5 tahun, 4.205 anak sekolah dasar berusia 6–12 tahun, dan 3.442 siswa sekolah menengah berusia 13–17 tahun. Rata-rata, 46 anak terbunuh setiap harinya di Gaza, dan jumlahnya terus bertambah setiap harinya.
Anak-anak Gaza yang masih bertahan, harus hidup dengan kondisi yang sangat menyakitkan dan melelahkan. Sejak 7 Oktober 2023 hingga 20 November 2024, sebanyak 25.000 anak Gaza telah menjadi yatim piatu, menambah tragedi yang mereka alami. Dampak psikologis dari genosida yang berlarut-larut ini membuat 816.000 anak Palestina membutuhkan bantuan psikologis karena serangan Israel yang tiada henti. Di Jalur Gaza, setiap jengkal tanahnya tidak lagi diisi dengan permainan anak-anak, melainkan dipenuhi jasad-jasad tak bernyawa mereka. Udaranya tidak dipenuhi dengan tawa dan celoteh riang anak-anak, melainkan oleh jerit ketakutan dan tangisan mereka. Tiada tempat untuk bermain di Gaza, tiada tempat yang aman untuk anak-anak, kecuali di bawah tanah, tempat jenazah mereka disemayamkan untuk selamanya.
Akankah Ada Harapan untuk Masa Depan Anak-Anak Gaza?

WAFA (Kantor Berita Palestina) menyebutkan bahwa rata-rata seorang remaja berusia 17 tahun di Gaza telah mengalami lima perang, seorang anak berusia 10 tahun telah mengalami tiga perang, dan seorang balita berusia 3 tahun telah menyaksikan dua perang. Anak-anak Gaza tumbuh dengan menyaksikan genosida dan kehancuran yang setiap harinya semakin mencekam, merenggut nyawa orang tua, keluarga, sahabat, dan orang-orang terdekat mereka. Anak-anak Gaza sangat dekat dengan kematian, dan dunia mengetahui dan menyaksikannya setiap hari melalui perantara para jurnalis media.
Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan pada Hari Anak Sedunia tanggal 20 November, Kementerian Luar Negeri dan Ekspatriat Palestina telah “membunyikan alarm” atas kondisi memilukan anak-anak Gaza. Ia menekankan perlunya untuk memastikan bahwa anak-anak Palestina tidak dikecualikan dari perlindungan internasional, dengan menyoroti kondisi kemanusiaan yang sangat buruk yang mereka alami, yang melanggar hak-hak paling mendasar bagi anak-anak, khususnya hak untuk hidup.
Anak-anak, apa pun etnis mereka, di mana pun mereka berada, merupakan manusia utuh yang memiliki hak untuk hidup dan dilindungi. Namun, pada momen Hari Anak Sedunia ini, dunia seolah mengecualikan anak-anak Gaza, membiarkan mereka terkurung dalam penjara terbesar di dunia yang dibumihanguskan oleh mesin pembunuh Zionis. Lebih dari satu tahun telah berlalu sejak 7 Oktober, dan anak-anak Gaza semakin membutuhkan kita untuk mempertahankan nyawa mereka. Sebab jika dunia tidak mengambil tindakan, mungkin satu bantuan dari kita bisa menghidupkan kembali harapan mereka.
Tidak ada ucapan selamat pada Hari Anak Sedunia tahun ini, karena tidak ada yang pantas untuk dirayakan bagi anak-anak Gaza yang dibantai di hadapan dunia.
Salsabila Safitri, S.Hum.
Penulis merupakan Relawan Departemen Penelitian dan Pengembangan Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana jurusan Sastra Arab, FIB UI.
Sumber :
https://www.aljazeera.com/news/longform/2024/11/20/an-a-z-of-the-children-israel-killed-in-gaza
https://www.aljazeera.com/news/2023/10/31/gaza-has-become-a-graveyard-for-thousands-of-children-un
https://english.wafa.ps/Pages/Details/151794
https://english.wafa.ps/Pages/Details/151801
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di sini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini