Kekerasan yang dialami tawanan perempuan, hampir sama dengan kekerasan yang dialami oleh tawanan laki-laki. Pada beberapa kasus, tawanan perempuan Palestina disatukan dengan tahanan kriminal perempuan Israel. Para kriminalis ini sering melakukan kekerasan terhadap tawanan Palestina. Tidak hanya itu, tawanan perempuan Palestina juga mendapatkan perlakuan kasar dari para sipir penjara (baik laki-laki maupun perempuan).[1]
Pengabaian terhadap Hak Tawanan Perempuan yang Hamil dan Melahirkan
Perempuan hamil juga tidak terlepas dari ‘incaran’ tentara Israel untuk dipenjarakan. Ketika ditawan, para perempuan hamil tidak mendapatkan perawatan medis yang layak sebelum dan setelah melahirkan. Di tahun 2007, ada seorang perempuan Palestina yang bernama Fateema Younis yang sedang hamil beserta anaknya yang ke delapan ditangkap di titik penjagaan akibat ‘terlihat memalukan’. Selanjutnya Fateema dibawa ke Pusat Interogasi Ashkelon dan mendapatkan siksaan baik fisik maupun psikis. Sepanjang interogasi ia diikat di kursi, suhu selama interogasi juga dibuat ekstrim (sangat dingin), selama itu pula ia dipukul hingga berdarah-darah. Kehamilannya tidak membuatnya menjadi tawanan VIP. Keinginan Fateema agar bayi di dalam kandungannya diberikan perawatan juga ditolak oleh pihak Israel. Demikian pula dengan makanan yang diberikan di dalam penjara tidak ada bedanya dengan tawanan lain.
Ketika melahirkan di bulan Januari 2008, Fateema mengalami kondisi yang tidak manusiawi. Tangan dan kakinya diikat sebelum dan setelah melahirkan. Ia juga tidak mendapatkan hak dasarnya sebagai manusia untuk ditemani suami ataupun keluarga ketika proses melahirkan. Bahkan pengacaranyapun tidak diperkenankan untuk mengunjunginya ketika ia melahirkan.
“Setelah Yousuf dilahirkan, satu tangan dan satu kaki saya diikat di kasur. Saya ditempatkan di tempat khusus untuk beberapa saat, hingga kemudian mereka memindahkan ke sel saya. Pada hari kedua mereka memborgol kaki saya dan membawa anak saya sehari dua kali untuk disusui.”[2] Demikian pengakuan Fateema atas kejamnya perlakuan Israel terhadap dirinya pada saat proses dan paska persalinan. Tidak hanya itu, Fateema juga kembali ditempatkan di sel tawanan bersama lima tahanan lainnya. Setelah melahirkan ia mengalami depresi dan mengalami nyeri tulang. Di bulan Maret 2008 Yousuf sakit, dan baru sebulan setelahnya ia diperkenankan diperiksa oleh dokter anak.
Peristiwa yang dialami Fateema ini sesungguhnya merupakan pelanggaran terhadap Konvensi Internasional yang diratifikasi oleh Israel. Di artikel 12 pada Konvensi “Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan” yang diratifikasi Israel pada 3 Oktober 1981 menyatakan bahwa, “Negara harus menjamin bahwa perempuan mendapatkan pelayanan yang layak berkaitan dengan kondisi kehamilan, kurungan dan periode paska melahirkan, memberikan pelayanan gratis yang dibutuhkan, ketercukupan nutrisi selama mengandung dan menyusui.”[3]
Kekerasan Verbal, Fisik hingga Seksual
Tawanan perempuan mengalami berbagai macam kekerasan verbal, fisik hingga seksual. Tak jarang kekerasan yang mereka terima sama seperti kekerasan yang diterima tawanan laki-laki Palestina. Kekerasan yang dialami beragam, namun tujuannya sama yaitu untuk menelanjangi martabat mereka sebagai perempuan dan menurunkan semangat mereka. Dalam temuan Addameer, ada seorang tawanan perempuan Palestina yang dipaksa untuk telanjang di depan tentara laki-laki. Hal ini selain melanggar ketentuan hukum internasional dan menyisakan trauma dan pengalaman yang menyakitkan.[4]
Hal ini sering dialami oleh tawanan perempuan selama proses ‘strip searching’, yakni proses penggeledahan terhadap tawanan. Dalam proses ini, seringkali tawanan dipaksa untuk melepaskan baju yang dipakainya, bahkan tak jarang juga pakaian dalam. Apabila mereka menolak, maka mereka akan dimasukkan ke dalam sel isolasi.
Kebijakan ‘strip searching’ dilakukan sebagai bentuk hukuman dan untuk menurunkan harkat martabat para tawanan perempuan.[5] Selama masa interogasi, mereka juga kerap menderita penyiksaan, kekurangan tidur, makanan dan air, tidak mendapatkan perawatan kesehatan dan berbagai hal lain yang ditujukan untuk meruntuhkan kondisi psikis mereka. Tidak hanya itu, seringkali mereka ditelanjangi dengan alasan untuk pemeriksaan, namun sebenarnya untuk menurunkan mental para tahanan perempuan Palestina. [6] Kejadian ini pernah dialami oleh Khadijah Khuweis yang selama 4 (empat) hari di penjara, ia dipaksa menanggalkan pakaiannya di hadapan sipir laki-laki.
Kekerasan seksual juga terjadi melalui ancaman pemerkosaan dan penghinaan seksual. Hal ini merupakan upaya sistematis yang dilakukan oleh Israel untuk mengeksploitasi ketakutan tawanan perempuan Palestina. Namun karena isu ini sangat sensitif, sehingga sulit untuk ditelusuri lebih jauh.
Dampak Penawanan Perempuan Palestina terhadap Keluarga
Penawanan yang dilakukan terhadap perempuan Palestina tidak hanya mendatangkan trauma kepada tawanan itu sendiri, tetapi juga terhadap keluarga yang ditinggalkan. Seringkali penawanan dilakukan di depan mata anak-anak ataupun sanak keluarga mereka.
“Kami tidak tahu kalau mereka akan membawa dia (ibu). Jika kami tahu, kami akan berbicara dengannya, menciumnya, dan menghabiskan waktu bersamanya, tetapi mereka membawa dia tiba-tiba…” (Muhammad, putra dari tahanan perempuan Palestina Qahira Saeed As Saadi).[7] Ketika dipenjara, tawanan perempuan Palestina sulit untuk mendapatkan kunjungan dari keluarga. Jika diperbolehkan pun, antara tawanan dan keluarganya dibatasai dengan kaca tebal, sehingga jika ingin berbicara harus menggunakan telefon.
Ketika terjadi pandemi Corona pada Maret 2020 lalu, Israel menggunakan momen ini untuk mengeluarkan larangan kunjungan bagi keluarga tawanan. Hal ini merupakan tekanan psikis bagi tawanan karena tidak bisa bertemu dengan keluarga dalam jangka waktu yang lama. “Akhirnya setelah mereka melakukan mogok bersama, dan sekarang mereka mendapatkan hak mereka untuk berbicara dan bertemu dengan keluarga mereka,” (Sheta Majed Hasan, mantan tawanan perempuan Palestina).[8]
Disusun oleh : Fitriyah Nur Fadilah, S.Sos., M.I.P.
Baca cerita Kekerasan Terhadap Tawanan Perempuan Palestina (Part 1).
Ikuti akun Instagram resmi @adararelief untuk info seputar Palestina lainnya.
Sumber :
- Annual Violations Report : Violation of Palestinian Prisoners’ Rights in Israeli (Prisons 2017), Addameer Prisoner’s Support and Human Rights Association, Ramalah, 2017.
- For The Love of Palestine : Stories of Women, Imprisonment and Resistence, Diane Block dan Ann Henry (ed.), The Freedom Archieves, November, 2017.
- Palestinian Women Political Prisoners : Systematical Forms of Political and Gender-Based State Violance, CIt., 2010.
- Webinar internasional, “Penderitaan Tawanan di Penjara Zionis Israel” pada tanggal 2 September 2020 pukul 15.00 waktu Al Quds.
[1] Palestinian Women Political Prisoners : Systematical Forms of Political and Gender-Based State Violance, Op. CIt., 2010, Halaman 7-8.
[2] Pengakuan Fateema Younis Azzeq, mantan tahanan perempuan dalam “Palestinian Women Political Prisoners : Systematical Forms of Political and Gender-Based State Violance,” Addameer Prisoner’s Support and Human Rights Association, 2010, hlm. 9.
[3] Ibid., 2010, hlm. 10.
[4] Annual Violations Report : Violation of Palestinian Prisoners’ Rights in Israeli (Prisons 2017), Op.Cit., hlm. 29.
[5] Ibid., hlm. 28.
[6] Ibid., hlm. 28.
[7] Palestinian Women Political Prisoners : Systematical Forms of Political and Gender-Based State Violance, Op. CIt., hlm 13.
[8] Disampaikan Shata Majed Hasan (mantan tawanan) dalam webinar internasional, “Penderitaan Tawanan di Penjara Zionis Israel” pada tanggal 2 September 2020 pukul 15.00 waktu Al Quds.