Ku kira, kita hidup di dunia yang riuh, ramai dan gempita. Karena setiap hari kudengar berita tentang aneka rupa manusia. Seperti tentang rumah tangga artis yang berbahagia atau di ujung tanduk, yang ditanggapi jutaan netizen dengan beragam rasa. Atau tentang pemimpin negara yang dipaksa mundur, dan menjadi bulanan penduduknya tidak hanya karena kepemimpinannya yang amburadul tetapi penampilannya juga yang acak adul.
Tapi kemudian, ketika agresi Israel terhadap Gaza 5 Agustus kemarin, tak ada riuh yang menggema. Tak banyak yang bersuara, bahkan Amerika, yang disebut-sebut negara adikuasa, memilih berkomentar bahwa agresi terhadap Gaza adalah hak Israel untuk membela diri. Lalu dimanakah letak pembelaan diri, jika anak-anak turut menjadi korban. Adalah Alaa Abdullah Riyad Qaddoum, seorang gadis kecil yang baru berusia 5 tahun tewas terkena hantaman roket Israel. Ia tewas karena mendapatkan luka akibat pecahan peluru di dahi, dada dan kaki kanannya. Hingga kini, sudah 45 penduduk Palestina terbunuh, 16 di antaranya anak-anak, dan jumlah korban akan terus bertambah jika agresi tidak dihentikan. Apakah ini pantas disebut pembelaan diri? Ataukah ini pembantaian?
Ku kira, kita hidup di dunia yang mencintai perdamaian. Ketika Rusia melakukan perang terhadap Ukraina, dunia menjadi riuh dan melakukan berbagai protes. Reporter TV bahkan kedapatan meneteskan air mata akibat serangan ini. Berbagai negara beramai-ramai melakukan sanksi kepada Rusia. Intinya satu saja: STOP PERANG TERHADAP UKRAINA. Ku kira ini karena kecintaan dunia terhadap perdamaian.
Tapi kemudian, ketika agresi Gaza yang ternyata bukan hanya terjadi kemarin lalu, tapi telah terjadi berulang kali, namun dunia tetap membisu. Tak ada embargo ataupun sanksi yang dijatuhkan kepada Israel, bahkan sekutunya mengiyakan bahwa ini adalah upaya pembelaan diri. Ku sadari, bahwa dunia hanya berpihak pada mereka yang bermata biru dan berambut pirang. Dunia pada hari ini, masih menjadi dunia yang rasis dan pilih kasih. Dunia yang ku kira ramai dan gaduh, ternyata bisu. Ia ramai dan gaduh pada situasi tertentu, dan memilih membisu bahkan untuk isu-isu kemanusiaan, ketika hal itu menimpa mereka yang tak bermata biru.
Apakah itu Kejahatannya?
Alaa, gadis kecil yang tewas akibat agresi militer Israel, pada hari-hari kemarin tengah bersemangat mempersiapkan dirinya untuk masuk ke taman kanak-kanak (TK). Namun kini, semuanya sirna. Di kamarnya, hanya ada Tala -nama boneka kesayangannya- yang terbaring sendirian di tempat tidurnya yang kosong.
Nenek Alaa yang berduka menyatakan bahwa ia seharusnya membelikan tas dan alat tulis baru untuknya. Lalu ia berucap, “Apakah itu kejahatannya? Bermimpi membeli tas baru untuk masuk TK?”
Ia mungkin tak pernah menyangka, bahwa keputusannya untuk bermain di luar rumah karena udara panas yang menyengat akan membawa konsekuensi yang membuatnya kehilangan nyawa. Namun, itukah kejahatannya? Bermain di luar rumah, karena ketidakmampuan keluarganya dan banyak keluarga lain di Gaza untuk mendinginkan rumah-rumah mereka di saat panas terik akibat diblokadenya listrik dan bahan-bahan dasar hidup lainnya. Apakah itu kejahatannya? Hingga ia harus direnggut nyawanya dalam keadaan bersimbah darah.
Kegenitan Politik dan Tumbal Manusia
Apa yang terjadi pada akhir-akhir ini di Gaza bukanlah sebuah kebetulan akibat adanya eskalasi ancaman terhadap Israel. Gaza bahkan belum pulih sepenuhnya akibat agresi tahun lalu, lalu bagaimana ia bisa meningkatkan ancaman bagi Israel. Agresi Gaza yang terjadi saat ini telah direncanakan secara matang oleh para pemimpin Israel. Hal ini berkaitan erat dengan kontestasi politik yang akan digelar pada November mendatang di Israel. Untuk meraup popularitas pemilih Israel, pemimpin politik Israel menggunakan agresi ke Gaza untuk mendongkrak elektabilitasnya. Sebagaimana taktik yang telah berulangkali Netanyahu lakukan untuk mempertahankan kekuasaan politiknya. Setiap kali akan terjadi pemilu, terjadi pula agresi terhadap Gaza.
Perdana Menteri Israel saat ini, Yair Lapid, ingin menunjukkan kepada konstituennya bahwa meski bukan berasal dari kalangan militer, ia tidak akan segan-segan menumpahkan darah penduduk Gaza tanpa pandang bulu, meski anak-anak tak berdosa sekalipun. Ia ingin memperlihatkan ‘kemachoan’ politiknya di hadapan publik. Agresi ini adalah kontes kegenitan politik Lapid dan sekutunya yang ingin menunjukkan bahwa dengan kekuasaannya, ia mampu melakukan apa saja demi rakyat Israel, meski penduduk Gaza menjadi ‘tumbal’.
Israel paham benar, bahwa dengan impunitas yang mereka miliki, apapun yang mereka lakukan tidak akan ada dan mampu untuk meminta pertanggungjawaban mereka. Sebagaimana puluhan tahun ini telah terjadi, bahkan hukum-hukum internasional tak mampu menjamah mereka. Keadaan ini diperburuk dengan konstalasi politik Amerika yang juga tengah bersiap untuk pemilihan umum. Tak akan ada yang mau mengambil resiko kehilangan suara dengan membela Palestina. Suara konstituen hanya akan berpihak, kepada mereka yang membela zionis. Di sinilah kita melihat, bagaimana agresif dan kejamnya para politisi yang mampu menumbalkan manusia: penduduk Gaza.
Jangan Lupakan Al-Aqsa
Gaza dan Masjid Al-Aqsa adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan. Keteguhan rakyat Gaza untuk bertahan di Palestina adalah bagian kecintaan terhadap Al-Aqsa. Demikian pula dengan agresi yang terjadi di Gaza, berkaitan erat dengan ‘serangan-serangan’ terhadap Masjid Al-Aqsa. Pada tahun 2021, sebagai upaya untuk menghentikan ‘serangan’ ekstimis Yahudi terhadap Masjid Al-Aqsa, Gaza menembakkan roket peringatan yang dibalas Israel dengan agresi militer.
Hal yang sama juga terjadi saat ini, berbarengan dengan agresi Israel terhadap Gaza, para ekstimis Yahudi ikut ‘menyerang’ Al-Aqsa. Pada Minggu (7/8) atau bertepatan dengan Hari Tisha B’Av (peringatan penghancuran dua kuil Yahudi), sebanyak 2200 Yahudi masuk ke dalam Masjid Al-Aqsa. Para ekstremis Yahudi memanfaatkan situasi yang tengah memanas untuk menduduki Al-Aqsa dan melakukan ritual-ritual keagamaan di dalamnya. Tentunya, di tengah perhatian kita semua terhadap Gaza, Masjid Al-Aqsa tetap harus mendapat perhatian yang sama. Jika tidak, eskalasi penyerangan terhadap Al-Aqsa akan meningkat, dan rencana Zionis untuk menguasai Al-Aqsa akan berhasil.
Nila dalam Dunia Kemanusiaan
Pada hari-hari yang lalu, dunia kemanusiaan berduka atas ulah oknum NGO tak bertanggungjawab yang telah menyelewengkan dana kemanusiaan. Publik menjadi geram, tak habis berfikir, bagaimana ada orang yang tega bermain-main dengan perihal kemanusiaan. Lantas meradang, ikut mempertanyakan lembaga lain, yang bahkan tak pernah terfikir berbuat demikian.
Tentulah ini hanya nila setitik, namun nila ini jangan dibiarkan membuat kita kehilangan nurani. Hingga tak acuh terhadap saudara kita di Gaza yang tengah dirudung kemalangan. Jangan biarkan nurani ini mati, lantas membuat kita menjadi bisu. Sebagaimana sebagian dunia saat ini, yang masih membisu meski di Gaza, puluhan jiwa terbunuh dan ratusan terluka.
Fitriyah Nur Fadilah, S.Sos., M.I.P.
Penulis merupakan Ketua Departemen Penelitian dan Pengembangan Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana dan master jurusan Ilmu Politik, FISIP UI.
***
Tetaplah bersama Adara Relief International untuk anak dan perempuan Palestina.
Kunjungi situs resmi Adara Relief International untuk berita terbaru Palestina, artikel terkini, berita penyaluran, kegiatan Adara, dan pilihan program donasi.
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini seputar program bantuan untuk Palestina.
Donasi dengan mudah dan aman menggunakan QRIS. Scan QR Code di bawah ini dengan menggunakan aplikasi Gojek, OVO, Dana, Shopee, LinkAja atau QRIS.
Klik disini untuk cari tahu lebih lanjut tentang program donasi untuk anak-anak dan perempuan Palestina.