Bagi para perempuan Gaza, kesulitan hidup di kamp-kamp tenda pengungsian yang penuh sesak diperburuk dengan hilangnya privasi. Situasi ini timbul akibat agresi berkepanjangan dan blokade Israel, yang menyebabkan lebih dari 90 persen dari 2,3 juta penduduk Gaza terpaksa meninggalkan rumah mereka.
Perempuan yang mengungsi dari rumah mereka terus berjuang untuk menjaga martabat mereka di tengah kondisi yang serba terbuka. Dalam tenda-tenda yang ditempati bersama keluarga besar, termasuk laki-laki, serta para tetangga yang hanya berjarak beberapa langkah, mereka menghadapi tantangan besar. Beberapa dari mereka, seperti Alaa Hamami, seorang ibu tiga anak, memilih untuk terus mengenakan mukena demi menjaga martabat. “Pakaian untuk salat telah menjadi bagian bagi seluruh aktivitas kami, bahkan ke pasar pun kami mengenakannya,” ungkapnya.
Biasanya, Hamami hanya mengenakan mukena untuk salat, tetapi situasi yang penuh dengan pria di sekitar tenda memaksanya untuk memakai mukena sepanjang waktu, bahkan saat tidur. “Privasi kami telah hilang,” katanya, sambil mengingat betapa kehidupan mereka kini terekspos setiap saat.
Kondisi di kamp-kamp tenda semakin diperparah dengan kurangnya fasilitas dasar. Limbah mengalir ke jalan, makanan dan air bersih sulit ditemukan, sementara musim dingin membawa tantangan baru. Para perempuan sering kali mengenakan pakaian yang sama selama berminggu-minggu karena tidak memiliki akses untuk mengangkut barang-barang mereka yang ditinggalkan saat mengungsi.
Akses terhadap produk kebersihan sangat terbatas. Para perempuan terpaksa memotong kain sprei atau pakaian lama untuk dijadikan pembalut. Wafaa Nasrallah, seorang ibu dua anak, mengatakan bahwa pembalut perempuan, yang harganya mencapai 45 shekel (sekitar Rp 180.000), kini tidak terjangkau. “Di dalam tenda saja tidak ada lima shekel,” keluhnya. Ia bahkan mencoba menggunakan popok sebagai alternatif, tetapi harganya juga semakin mahal. Untuk kebutuhan toilet, mereka hanya memiliki lubang di tanah yang ditutupi selimut dan harus digunakan bersama puluhan orang.
Menurut PBB, lebih dari 690.000 perempuan dan anak perempuan di Gaza membutuhkan produk kebersihan menstruasi, air bersih, dan toilet. Namun, stok perlengkapan kebersihan menumpuk di perbatasan akibat blokade Israel. Bantuan yang diperlukan tidak kunjung tiba, memperburuk kondisi kesehatan dan psikologis para perempuan di kamp-kamp tersebut.
Amal Seyam, Direktur Pusat Urusan Wanita di Gaza, menyebutkan bahwa banyak perempuan tidak berganti pakaian selama lebih dari 40 hari, dan kondisi ini berisiko menimbulkan penyakit kulit serta masalah kesehatan reproduksi. “Bayangkan bagaimana perasaan seorang perempuan di Gaza jika dia tidak mampu mengendalikan kondisi kebersihan yang sangat mendasar,” ujarnya.
Sebagian perempuan memilih untuk menggunakan pil KB untuk menghentikan menstruasi mereka, sementara lainnya mengalami gangguan siklus menstruasi akibat trauma dan stres. Doaa Hellis, seorang ibu tiga anak, menggambarkan betapa sulitnya mempertahankan kebersihan. “Di mana pun kami menemukan kain, kami menyobeknya dan menggunakannya,” katanya. Ia kemudian mengenang masa lalu ketika menjadi seorang perempuan terasa lebih seperti sebuah kegembiraan dibandingkan beban.
Hidup dalam keterbatasan ini tidak hanya mengancam kesehatan fisik para perempuan Gaza, tetapi juga merampas harga diri mereka. Meski begitu, mereka terus berjuang untuk bertahan di tengah situasi yang sulit, berharap akan masa depan yang lebih baik.
Sejak Oktober 2023, Israel telah membunuh lebih dari 45.500 jiwa dan melukai lebih dari 108.000 orang di Gaza yang sebagian besar perempuan dan anak-anak.
Sumber:
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di sini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini