Umm Mohammed Khrouat dari Palestina mengatakan dia lebih memilih tinggal di tenda daripada di sekolah tempat dia terpaksa berlindung bersama kelima anaknya di Gaza utara, sebab buruknya kondisi di penampungan, lapor Reuters .
“Tidak ada kebersihan atau air,” kata Umm Mohammed, sambil memanggang roti dalam oven darurat di Kamp Pengungsi Jabalia, tempat militer Israel melakukan serangannya baru-baru ini. Keluarganya, yang meninggalkan rumah mereka di dekat Beit Hanoun pada awal perang, terpaksa meninggalkan sekolah beberapa kali, terakhir bulan lalu ketika pasukan Israel kembali melakukan operasi di daerah tersebut, kata Umm Mohammed.
Dia mengatakan mereka melarikan diri sesuai perintah Israel.
“Kami tidak punya pilihan lain. Mereka bilang itu kawasan aman, tapi sebetulnya tidak ada kawasan yang aman,” katanya. “Situasinya sulit; saya berharap mereka (membiarkan kami) kembali ke Beit Hanoun dan tinggal di tenda.”
Israel mengumumkan operasi terbarunya di Jabalia berakhir pada 31 Mei, dengan mengatakan bahwa militer telah menghancurkan terowongan sepanjang 10 km (6,2 mil) dan sejumlah lokasi produksi senjata dalam beberapa hari pertempuran yang mencakup lebih dari 200 serangan udara.
Philippe Lazzarini, kepala badan PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA), menggambarkan situasi Jabalia sebagai sesuatu yang mengerikan. Ribuan pengungsi tidak punya pilihan selain hidup di tengah reruntuhan dan di fasilitas UNRWA yang hancur, katanya dalam postingan tanggal 1 Juni di X.
Keluarga Ummu Muhammad kembali dan menemukan lokasi kehancuran di sekolah, yang dindingnya menghitam karena api. “Pakaian anak-anak terbakar. Tidak tersisa apa pun, semuanya terbakar, kata suaminya, Bilal Khrouat. Menurutnya, satu kamar di sekolah tersebut harus dijejali oleh 15 keluarga.
Tantangan berat lainnya adalah ketiadaan air bersih yang sangat diperlukan. “Saya hanya punya satu ginjal (untuk melanjutkan hidup). Apa yang harus kami lakukan, sementara ketersediaan air tidak cukup untuk minum, makan (memasak), ataupun mandi.”
“Tidak ada yang tersisa. Kami tidak bisa tinggal di Beit Hanoun, kami tidak bisa tinggal di Kamp Jabalia, dan kami tidak bisa tinggal di (kota) Gaza. Tidak ada tempat berlindung. Lalu, ke mana kami harus pergi?” tanyanya.
Sumber: https://www.middleeastmonitor.com
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini