Identitas Buku
- Judul : Degup Cita para Pendiri Bangsa untuk Palestina
- Penulis : Hadi Nur Ramadan dan Pizaro Ghozali Idrus
- Penerbit : Pusat Dokumentasi Islam Indonesia Tamaddun bekerjasama dengan Nusantara Palestine Center dan Rumah Literasi Publishing
- Tahun terbit : 2023
- Tebal halaman : 382 halaman
- ISBN : 978-602-250-696-6
Degup Cita Para Pendiri Bangsa untuk Palestina adalah sebuah buku berisi kumpulan pemikiran para pendiri bangsa Indonesia dalam menyatakan dukungannya terhadap perjuangan Palestina untuk merdeka. Setiap lembarnya berisi pendapat mengenai gugatan, kritik, dan gagasan para pendiri bangsa, seperti Natsir, Soekarno, Hatta, Agus Salim, dan masih banyak lainnya, terhadap kesewenang-wenangan Israel dalam menjajah Palestina kala itu.
Buku ini disusun oleh Hadi Nur Ramadhan dan Pizaro Gozali Idrus. Dalam keterangannya saat peluncuran perdana buku ini pada 28 Oktober 2024, Hadi Nur Ramadhan menyampaikan bahwa buku ini disusun selama kurang lebih 20 tahun. Buku ini juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, dengan judul The Diplomacy of the Indonesian Founding Fathers to Liberate Palestine dengan tujuan agar dunia Internasional mengetahui bahwa perjuangan diplomasi Indonesia untuk kemerdekaan Palestina telah dilakukan jauh sebelum Indonesia Merdeka.
Jilid kedua dari buku ini direncanakan akan membahas mengenai diplomasi Indonesia-Palestina dalam foto tahun 1920–1955, hingga 1970-an; jilid ketiga akan membahas mengenai pemikiran para ulama Nusantara terkait Palestina; jilid keempat akan membahas mengenai pemikiran politik para perempuan Indonesia pejuang Palestina; dan jilid kelima membahas mengenai pemikiran para tokoh di kawasan Asia Tenggara terhadap Palestina.
Natsir dan Kritiknya terhadap Amerika Serikat dan Rusia
Di awal, buku ini menampilkan pemikiran Natsir dan kritiknya terhadap Amerika Serikat dan Rusia. Pada 1941, Natsir mengkritik Perdana Menteri Afrika Selatan, Jan Smuts (1939–1948), yang menganggap Deklarasi Balfour sah menurut hukum internasional. Natsir berpendapat bahwa hukum internasional tidak dapat digunakan untuk melegitimasi penjajahan dan pelanggaran terhadap hak-hak suatu bangsa.
Natsir juga menekankan prinsip bebas aktif dalam isu Palestina, ketika Indonesia tidak berpihak pada Amerika maupun Rusia, karena keduanya mendukung keberadaan Israel di Timur Tengah. Ia mempertanyakan sikap ganda Amerika terhadap HAM yang dianggapnya tidak peduli terhadap penjajahan Israel di Palestina. Dalam bukunya Masalah Palestina (1971), Natsir juga menulis:
“Ketika membahas Israel, Amerika tidak pernah menggunakan istilah hak asasi manusia. Sangat berbeda antara apa yang mereka bicarakan dengan maksud di balik pembicaraan itu. Tidak mungkin Amerika akan membela rakyat tertindas di Palestina. Sejarah Israel justru lahir dari inisiatif dan dukungan negara-negara besar di PBB. Mana mungkin mereka akan menyingkirkan ‘anak’ mereka sendiri? Itu tidak mungkin terjadi.”
Selain itu, Natsir juga mengkritik Rusia yang tidak berani berhadapan langsung dengan Israel dan tidak ingin Israel dihancurkan. Menurut Natsir, Amerika dan Rusia sama-sama mendukung Israel, hanya taktik mereka yang berbeda.
“Rusia juga demikian. Meskipun Rusia memberikan senjata kepada Mesir, mereka tidak ingin Israel dihancurkan. Mereka mengakui keberadaan Israel. Paling jauh, mereka hanya mengatakan, ‘Kembali ke garis batas tanggal 5 Juni.’ Untuk menghapus Israel, yang didirikan secara tidak sah dan hanya dilegitimasi sepihak oleh PBB, jelas tidak mungkin. Strategi negara-negara besar terhadap Israel pada dasarnya sama yang berbeda hanya pada taktik mereka.”
Sikap Natsir ini sejalan dengan kebijakan luar negeri Indonesia yang disampaikan Bung Hatta dalam pidatonya “Mendayung Antara Dua Karang” pada tahun 1948, bahwa Indonesia tidak boleh menjadi objek permainan negara-negara besar. Indonesia harus berdiri di atas kaki sendiri dan menjadi subjek yang menentukan arah perjuangannya sendiri.
Deklarasi Balfour di Mata Haji Agus Salim

Dalam artikel berjudul “Soal Yahudi di Palestina” yang terbit di surat kabar Pandji Islam pada 9 Januari 1939, Agus Salim menjelaskan bahwa aliansi antara Inggris dan Yahudi didasarkan pada kepentingan politik negara-negara Barat. Menurutnya, isu Yahudi dan Palestina bukan sekadar soal agama, melainkan juga mencakup beragam masalah yang berkaitan dengan politik kebangsaan serta persaingan kekuatan imperialis.
Beliau menguraikan situasi selama Perang Dunia I, ketika Inggris dan Prancis, yang tergabung dalam Blok Sekutu, kesulitan dan mencari dukungan dari bangsa Arab. Thomas Edward Lawrence dari intelijen Inggris diberi misi untuk memperoleh dukungan Arab, meski wilayah Arab kala itu dikuasai oleh Kekhalifahan Utsmaniyah.
Dalam menanggapi hal itu, bangsa Arab setuju untuk membantu dengan harapan memperoleh kemerdekaan jika Blok Sekutu menang. Namun, dukungan ini dianggap tidak mencukupi, sehingga Inggris mencari bantuan dari Chaim Weizmann, pemimpin Zionis yang menawarkan teknologi perang rahasia dengan syarat bangsa Yahudi diberikan kediaman di Palestina. Kesepakatan ini berujung pada Deklarasi Balfour dan dukungan Amerika Serikat bagi Blok Sekutu.
Setelah kemenangan Blok Sekutu dan berakhirnya Perang Dunia I, disusunlah Perjanjian Versailles dan Liga Bangsa-Bangsa (LBB), tetapi negara-negara Arab tidak dilibatkan. Hal ini berarti Lawrence mengingkari janji kemerdekaan kepada bangsa Arab, sementara Deklarasi Balfour tetap dilaksanakan. Agus Salim dengan keras menekankan dalam artikel tersebut, “Perjanjian Lawrence tidak dipakai. Perjanjian Balfour mesti berlaku. Yahudi mendapat ‘Tanah Kediaman Nasional’ di Palestina.”
Dana besar dari Zionis juga memicu pembangunan dan perubahan signifikan di Palestina dalam menarik gelombang imigrasi Yahudi. Namun, kehadiran para Yahudi asing ini, yang Agus Salim sebut sebagai “Yahudi-Yahudi sekutu Inggris”, menimbulkan masalah karena mereka enggan hidup berdampingan dengan bangsa Arab dan menganggap Palestina sebagai tanah yang dijanjikan Tuhan untuk mereka.
Agus Salim menegaskan bahwa konflik di Palestina bukan sekadar konflik agama antara Islam, Yahudi, atau Kristen, melainkan reaksi bangsa Palestina dalam mempertahankan hak mereka dari dominasi politik Barat. “Bangsa Arab di Palestina mempertahankan hak bangsanya dan (mempertahankan-red.) keyakinan Islam tentang Palestina dan Baitul Maqdis” ujarnya.
Di akhir artikel, Salim juga menunjukkan kepedulian terhadap bangsa Yahudi. Ia menilai Perjanjian Versailles dan Deklarasi Balfour tidak hanya merugikan bangsa Arab, tetapi juga bangsa Yahudi yang menderita akibat intervensi Barat. Menyadari nasib Yahudi yang terusir dari Eropa, Salim menyarankan agar mereka dilindungi di negara-negara seperti Australia, Kanada, atau Amerika Selatan.
“Sedunia orang mengatur-menyusun organisasi untuk menolong Yahudi, yang kena bencana dan aniaya,” tulisnya. Namun, ia juga mengimbau umat Islam untuk mendukung hak bangsa Arab dan umat Islam di Palestina, seraya membantu mereka yang menderita di negeri tersebut.
Soekarno: Kemenangan Bagi yang Berjuang

Dalam pidatonya pada Konferensi Tingkat Tinggi Negara-Negara Non-Blok ke-II di Kairo pada Oktober 1964, Soekarno mengajak dunia untuk tidak hanya memikirkan kepentingan masing-masing, tetapi juga memperhatikan bangsa-bangsa lain yang belum terbebas dari belenggu penjajahan, mengingat penderitaan serupa yang dahulu dirasakan rakyat Indonesia. Dalam hal ini, salah satu negara yang belum merdeka dari dahulu hingga sekarang ialah Palestina
“Kita tidak boleh lupa bahwa kita berjuang untuk seluruh umat manusia. Jangan sampai kita melupakan penderitaan yang telah dialami rakyat kita, sehingga kehilangan pandangan terhadap tujuan awal kita. Maka, perkokohlah kesetiakawanan negara-negara Non-Blok! Perkuat kesetiakawanan segenap ‘New Emerging Forces’ yang berusaha membangun dunia baru yang lebih baik!” seru Soekarno.
Menutup pidatonya, Soekarno mengutip Surah Al-Qashash tentang janji Allah yang memberikan kemenangan bagi orang-orang yang berjuang menjaga keadilan dan kebebasan di muka bumi. Karena merekalah yang akan dijadikan pemimpin sejati dan ahli waris yang bertugas membangun serta mengembangkan kesejahteraan umat manusia.
“Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberkahi kita dan menjadikan kita bijaksana dalam perjuangan untuk kesejahteraan umat manusia! Maju terus! Pantang mundur!” pekik Soekarno.
Buku yang hampir mencapai 400 halaman ini memuat berbagai pemikiran tokoh Indonesia terkait perjuangan bangsa Palestina untuk merdeka. Dari sini, kita dapat memahami bahwa perjuangan ini bukanlah hal yang baru. Sejarah mencatat bagaimana para pendiri bangsa Indonesia dengan tekun mendukung rakyat Palestina dalam meraih kemerdekaannya.
Buku ini memang sangat menggambarkan kejadian-kejadian asli seperti yang tercantum dalam teks atau sumber yang telah diperoleh oleh Hadi dan Pizaro. Oleh karena itu, beberapa sumber primer yang diperoleh, seperti yang terdapat dalam surat kabar, menggunakan padanan kata yang sangat berbeda dengan kaidah bahasa Indonesia yang berlaku saat ini. Contohnya, dalam argumen Haji Agus Salim yang dimuat dalam artikel “Soal Yahudi di Palestina” yang diterbitkan dalam Majalah Pandji Islam pada tahun 1939.
Selain itu, dalam memberikan pengantar dan kesimpulan, serta dalam beberapa artikel di buku ini, Hadi dan Pizaro sangat mahir dalam merangkai kata, sehingga setiap kata pengantar yang disampaikan mampu menghidupkan dan mengajak pembaca untuk merasakan semangat juang yang dilakukan oleh para pendiri bangsa.
Buku ini sangat bagus dan relevan untuk dibaca hingga saat ini, terutama untuk memperkaya khazanah sumber primer terkait dengan sejarah hubungan Indonesia-Palestina. Selain itu, buku ini juga dapat memperkuat alasan mengapa sebagai bangsa Indonesia kita harus memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Jika kita benar-benar mencintai Indonesia dan menghargai jasa para pendahulu bangsa, buku ini seharusnya dapat memperkuat alasan tersebut.
Indonesia memiliki hubungan yang erat dengan Palestina. Sebagai sahabat lama, Palestina turut berperan dalam upaya kemerdekaan Indonesia di tingkat internasional. Begitu pula sebaliknya, Soekarno memiliki kepedulian yang tinggi dalam pembelaannya terhadap kemerdekaan Palestina. Dalam pidato lainnya pada 1962, ia menegaskan bahwa selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada rakyat Palestina, maka sepanjang itulah bangsa Indonesia akan berdiri menentang penjajah Israel.
Referensi:
Ramadhan, Hadi Nur dan Pizaro Gozali Idrus. 2022. Degup Cinta para Pendiri Bangsa untuk Palestina. Depok: Pusdoktamadun
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di sini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini