Prof. Mr. Sunario Sastrowardoyo memiliki kontribusi yang tak terpisahkan terhadap perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Kontribusinya terpampang jelas pada saat dalam dua peristiwa yang menjadi tonggak sejarah nasional yaitu Manifesto 1925 dan Kongres Pemuda II. Namun, di luar kontribusi nasionalnya tersebut, beliau juga dikenal sebagai seorang diplomat unggul yang menjadi Ketua delegasi RI konferensi Asia Afrika di Bandung. Dalam perannya sebagai menteri Luar Negeri beliau juga turut melakukan advokasi pembebasan Palestina.
Sunario lahir di Madiun pada tanggal 28 Agustus 1902. Sejak kecil, Sunario telah mengenyam pendidikan di sekolah Belanda karena ia adalah anak dari seorang mantan wedana, Sutejo Sastrowardoyo dan Suyati Kartokusumo. Pasangan Sutejo Sastrowardoyo dan Suyati Kartokusumo memiliki 14 orang anak, dengan Soenario sebagai anak pertama dan memiliki 13 orang adik. Salah satu salah satu adiknya, Sumarsono Sastrowardoyo, adalah kakek dari pelaku seni peran Dian Sastrowardoyo.
Selama berkuliah di Belanda 1926 – 1942 ia aktif dalam Perhimpunan Indonesia (PI). PI bertujuan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia dengan menganut sikap non-kooperasi terhadap pemerintahan penjajah Belanda. Ia juga menjadi salah satu perencana utama di balik Kongres Pemuda Indonesia II yang diadakan pada 27-28 Oktober 1928. Acara ini menjadi momen penting dalam sejarah karena terbentuknya Sumpah Pemuda. Saat itu, ia menyampaikan makalah berjudul “Pergerakan Pemuda dan Persatuan Indonesia.”
Setelah Indonesia merdeka, Sunario diangkat menjadi Menteri Luar Negeri Indonesia pada masa kabinet Ali Sastroamidjojo (1953 – 1955). Salah satu kontribusinya yang berarti adalah aktif terlibat dalam penyusunan Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955. Konferensi ini menjadi langkah penting dalam upaya menyatukan negara-negara di wilayah Afrika. Ide-idenya tercermin dalam pidatonya yang penuh dengan visi ke depan. Ia menekankan betapa pentingnya prinsip hidup secara damai. Bangsa-bangsa di Asia dan Afrika merindukan perdamaian yang tidak bergantung pada keseimbangan kekuatan militer seperti yang dijalankan oleh negara-negara besar.
Dalam tulisannya berjudul “Konferensi Asia-Afrika dan Masalah Timur Tengah” pada tahun 1978, Sunario dengan tegas menyatakan bahwa pada tahun 1950-an, dunia masih menyaksikan maraknya kolonialisme dan imperialisme di Timur Tengah, yang menyebabkan keprihatinan bagi bangsa Indonesia dan dunia. Sunario mengaitkan situasi tersebut dengan deklarasi “negara Israel” oleh kaum Zionis Yahudi pada tahun 1948 di Palestina.
Sunario mengkritik kelompok Yahudi, yang sebelumnya telah menjadi korban pembantaian oleh Hitler dan terpaksa melarikan diri dari Eropa, namun kini kelompok Zionis Yahudi ini tanpa belas kasihan mengusir bangsa Palestina yang sudah berabad-abad bermukim di tanah kelahirannya, sehingga menyebabkan gelombang pengungsi hingga dua juta orang.
Tidak hanya itu, menurut Sunario, Israel juga melakukan ekspansi wilayah ke Tepi Barat, Gaza, Sinai, dan dataran tinggi Golan, mengakibatkan wilayah yang diduduki semakin meluas.
Menurut Pizaro, Pengamat dan Pengajar Hubungan Internasional Universitas Al-Azhar Indonesia dalam artikelnya, saat menjabat sebagai Ketua Seksi Luar Negeri DPR RI dari tahun 1950 hingga 1953, Sunario juga terlibat dalam advokasi untuk kemerdekaan Palestina. Posisi yang diemban oleh Sunario setara dengan posisi Badan Kerjasama Antar Parlemen dalam struktur DPR saat ini. Dalam pidato pembukaannya pada rapat DPR, Sunario menekankan pentingnya menangani masalah di Timur Tengah selain isu Indo Cina yang tengah hangat pada waktu itu. Sunario menyuarakan upaya untuk menghadapi rasisme dan agresi Israel terhadap wilayah Palestina di depan anggota dewan.
“Karena fakta-fakta itu, maka Indonesia dari semula belum pernah bersedia untuk mengakui Israel sebagai negara. Masalah Yerusalem yang diduduki Israel itu, adalah penting pula bagi umat Islam di Indonesia dan di seluruh dunia,” ungkap Sunario.
Di tahun 1953 ketika ia menjabat sebagai menteri luar negeri ia juga mengirim Ahmad Subardjo dan Sirajuddin Abbas ke Yerusalem untuk menghadiri Muktamar Umum Islam. Dalam Muktamar tersebut Indonesia turut berdonasi sebanyak 60 ribu dolar Amerika untuk Palestine Relief Fund (Sumbangan Pengungsi Palestina).
Dalam bukunya yang berjudul “Politik Luar Negeri Jang Bebas” (1951), Sunario menyoroti pentingnya Indonesia mempertahankan posisi netral dan aktif dalam menjalankan politik bebas dan aktif. Dia menegaskan bahwa Indonesia harus tetap independen dan tidak boleh tergabung dalam salah satu blok kekuatan, baik Amerika Serikat maupun Rusia.
Bagi Sunario, politik bebas aktif tidak berarti bersikap netral, melainkan berarti bahwa kepentingan rakyat harus menjadi prioritas utama dalam berpartisipasi aktif dalam memelihara perdamaian dunia. Baginya, perdamaian dunia adalah manifestasi dari nilai-nilai Pancasila dan jiwa spiritual bangsa Indonesia.
Yunda Kania Alfiani, S.Hum.
Penulis merupakan Relawan Departemen Research Development and Mobilization Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana jurusan Ilmu Sejarah, FIB UI.
Referensi
Sagimun. 1992. 90 Tahun Prof. Mr. Sunario (manusia langka Indonesia). Jakarta: Rosda Jayaputra.
Sunario. 1952. Politik Luar Negeri Indonesia Jang Bebas. Jakarta: Endang.
Kisah Perjuangan Sunario Sastrowardoyo Membela Bangsa Palestina
Sumbangsih Pertama Indonesia untuk Palestina
Prof Sunario Sastrowardoyo Sang Konseptor Kongres Pemuda
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini