Waktu menunjukkan waktu Zuhur, ketika rombongan perjalanan kemanusiaan Adara Relief International yang terdiri atas pengurus, komunitas, dan mitra, tiba di kantor Global Women Coalition for Al-Quds and Palestine (GWCQP). Kami disambut oleh ustadzah Rabab yang merupakan sekretaris jendral dari organisasi perempuan tingkat dunia ini.
Kami tengah berbincang ringan saat pintu ruangan dibuka; terlihat empat perempuan setengah baya dan seorang bayi. Kami menyambut mereka dengan penuh suka cita berbalut keharuan. Bagaimana tidak, mereka adalah para perempuan Gaza yang mengalami kengerian agresi Israel ke Gaza dan dievakuasi dari Gaza untuk pengobatan atau karena mereka juga memiliki 2 kewarganegaraan, yaitu Turki dan Palestina.
Setelah rehat sejenak untuk makan siang bersama, kami berkumpul di ruang pertemuan. Doktor Syaima, Ustazah Abeer, Doktor Sifjan, dan Ukhti Maryam duduk di hadapan kami bertiga belas.
Kebenaran Janji Allah akan Ahl al-Qur’an

Ustazah Abeer menjadi yang pertama memulai kisahnya. Ia mengawali cerita dengan ajakan untuk bersabar dan memperkuat kesabaran dengan tetap melaksanakan ibadah di jalan Allah subhanahu wata’ala agar menjadi orang-orang yang beruntung.
Tiba-tiba ia mengeluarkan air mata, “Mohon maaf kalau saya mengeluarkan air mata. Namun ini bukanlah air mata kesedihan melainkan air mata kerinduan untuk melihat Gaza kembali.”
Beliau kemudian menjelaskan bahwa yang saat ini terjadi bukanlah peperangan, melainkan agresi, sebab hakikat peperangan adalah pertempuran antara dua negara yang sepadan kemampuan militernya. Sementara, kemampuan militer Palestina dan Israel sangat tidak bisa dibandingkan. Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh rakyat Palestina adalah pembelaan terhadap hak mereka.
Ustazah Abeer merupakan seorang guru di lembaga Darul Qur’an wa Sunnah. Menurutnya, keteguhan rakyat Palestina saat ini adalah karena Al-Qur’an. Rakyat Gaza menjadikan Al-Qur’an bukan sekadar ucapan di lisan, tetapi betul-betul melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari.
Pada 2023, Gaza melaksanakan Shofwatul Huffaz yang ke-2, suatu momen berkumpulnya para penghafal Al-Qur’an yang mampu menyetorkan 30 juz dalam sekali duduk, sejak pagi hingga sore atau magrib. Peserta yang mengikutinya berasal dari berbagai kalangan, seperti dokter polisi, tentara, dosen, dan lainnya. Seluruh segmen masyarakat di Gaza telah akrab dengan kegiatan menghafal Al-Qur’an dan kesibukan tidak menghalangi mereka untuk menghafalkannya.
“Inilah hasil dari menghafal Al-Qur’an, kita menyaksikan bahwa mereka mampu bersikap teguh berkat mempelajari dan mengamalkan Al-Qur’an, sekaligus memiliki keyakinan dan akidah yang sangat kuat dalam mengamalkan sunnah,” ungkap Ustazah Abeer.
Di Gaza, anak yang berusia 3 tahun sudah mulai dimasukkan ke lembaga tahsin di masjid-masjid. Inilah yang menyebabkan penduduk Gaza dikenal sebagai penduduk yang memiliki izzah atau harga diri yang sangat tinggi. Orang Gaza hidup layaknya umat Islam di tempat lain, yang membedakannya adalah keteguhan mereka dalam memegang Al-Qur’an.
Ketika terjadi peristiwa 7 Oktober, Ustazah Abeer sedang bersiap-siap untuk berwisata ke tepi pantai bersama ibu-ibu jamaah majelis taklim. Namun, serangan 7 Oktober menyebabkan rencana mereka batal. Pada hari pertama dan kedua Taufan Al-Aqsa, ia bersama suami dan anak perempuannya tetap bertahan di rumah dan menghabiskan waktu dengan membaca Al Qur’an.

Pada hari ketiga, mereka keluar rumah dan menyadari bahwa hanya keluarga mereka saja yang masih berada di wilayah itu. Dengan membawa barang seadanya, mereka mengungsi ke rumah saudara laki-lakinya di sekitar rumah sakit terdekat. Namun, karena terus-menerus mendengar suara rudal yang berdengung, mereka beristikharah dan memutuskan untuk pindah ke Gaza bagian selatan. Setelah mengungsi ke selatan, terjadi ledakan bom yang menyebabkan kaca jeep dan rumah mereka pecah. Mereka akhirnya memutuskan untuk kembali ke Kota Gaza.
Nyatanya, tidak ada ketenangan di mana pun. Rudal terus menyasar Gaza, akses internet terputus, demikian pula dengan akses air. Tidak ada yang dapat mereka lakukan, selain mengulang-ulang bacaan surah Al-Baqarah, sehingga dengan kondisi tersebut Ustazah Abeer dapat tertidur sembari duduk, sementara anaknya tertidur di lantai, meski kondisi saat itu sangat mencekam. Namun demikian, beliau tidak lepas dari salat. Beliau bertayamum, salat, kemudian tidur, terbangun, dan kembali salat sepanjang malam.
Ketika fajar tiba, mereka memutuskan untuk kembali mengungsi. Ustazah Abeer dan keluarganya terus berpindah hingga akhirnya tiba di Jalan Salahuddin. Jalur yang ketika itu diklaim Zionis sebagai jalur evakuasi yang aman, ternyata menjadi sasaran Zionis. Keadaan ini menyebabkan beliau dan keluarganya lagi-lagi harus berpindah ke Rafah dengan menggunakan kendaraan. Rombongan mereka adalah rombongan terakhir yang dapat melewati Jalan Salahuddin dengan menggunakan kendaraan. Setelah rombongan tersebut, Zionis Israel melarang siapa pun untuk naik kendaraan; semua harus berjalan kaki dengan tangan diangkat.

Meskipun berada dalam kondisi serba terbatas dan mencekam, Ustazah Abeer merasakan bagaimana Allah menjaga dan memudahkan keluarganya. Mereka pun tiba di sebuah sekolah UNRWA. Selama berada di sekolah itu beliau tidak henti-hentinya membaca surah Al-Baqarah dan Al Anfal dalam kondisi gelap dan lapar. Beliau juga menahan diri untuk tidak makan, selain karena sulitnya mendapatkan makanan, juga menjaga untuk tidak buang air karena kelangkaan air bersih.
Suami Ustazah Abeer merupakan warga negara Turki, maka beliau pergi ke Rafah agar dapat dievakuasi dari Gaza dan pergi ke Turki. Akan tetapi, petugas terkait menyatakan bahwa nama suaminya tidak tercantum dalam daftar nama yang dapat dievakuasi keluar Gaza.
Mereka memutuskan untuk tetap berada di Rafah dan menyewa sebuah kamar yang dimiliki oleh pekerja UNRWA, sambil menunggu kabar evakuasi. Beliau tinggal selama 20 hari, dan selama itu pula pemiliknya menolak menerima bayaran sewa karena menganggap mereka sebagai keluarga.
Pada akhirnya, hari yang dinantikan tiba. Nama suaminya muncul dalam daftar warga negara Turki yang harus dievakuasi, sehingga Ustazah Abeer dan keluarganya dapat keluar dari Gaza dan menceritakan kisahnya.
Di akhir ceritanya, Ustazah Abeer berpesan, “Jangan segan untuk mempersembahkan hal sekecil apa pun yang dapat dilakukan (untuk Palestina), terutama doa. Hal tersebut sangat penting, sebab walaupun kelihatannya kecil tetapi itu sangat memberikan dukungan bagi perjuangan saudara-saudara kita.”
Fitriyah Nur Fadilah, S.Sos., M.I.P.
Penulis merupakan Ketua Departemen Penelitian dan Pengembangan Adara Relief International yang mengkaji realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana dan master jurusan Ilmu Politik, FISIP UI.
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini