Pada awalnya orang-orang menertawakan ide Majd Masharawi, seorang pemudi asal Gaza, Palestina lulusan teknik sipil. Mereka juga mengatakan bahwa ia akan gagal. Namun ia bersikukuh dengan idenya. Ia yakin bahwa ia memiliki solusi untuk rekonstruksi di Gaza yang selama ini terhenti.
Pemudi berusia 22 tahun ini dan temannya, Rawan Abdelatif, tahun lalu akhirnya menyelesaikan pembuatan jenis batu bata yang dapat digunakan untuk membangun kembali gaza dengan menggunakan abu sebagai material utama.
Mereka menemukan batu bata jenis baru yang menggunakan debu batu bara dan kayu sebagai bahan pengisi utama untuk menggantikan pasir dan bahan lainnya. ‘Green Cake,’ demikian nama yang mereka berikan kepada batu bata tersebut. Batu bata ini lebih kuat dari batu bata biasa namun lebih murah dan ringan.
Konsep ini ditelurkan oleh Masharawi dan Rawan untuk membantu mengurangi tingkat pengangguran yang cukup tinggi yang mencapai 40 persen.
“Kami bertanya kepada diri kami sendiri, apa yang membuat Gaza menderita? Permasalahan utama adalah kekurangan bahan bangunan,” demikian ungkap Mashrawi kepada Al Jazeera. “Saya berkata kepada Abdelatif bahwa semen adalah permasalahan utama. Oleh karena itu mari mencari alternatif lain.”
Sejak penjajahan Israel terhadap Gaza, banyak material-material yang dianggap “dual-use” sehingga dilarang untuk masuk ke wilayah Palestina. Meskipun diperbolehkan, namun hanya bisa masuk dalam jumlah yang terbatas.
Keadaan ini membuat Gaza terhenti untuk melakukan pembangunan setelah serangan yang dilakukan Israel di tahun 2014 menghancurkan 18.000 rumah. Sebanyak 75.000 orang hingga kini masih mengungsi. Berdasarkan data PBB, masih banyak penduduk yang tinggal di tempat penampungan sementara yang hanya berdindingkan seng. Akibatnya, sejumlah bayi meninggal tahun ini akibat kedinginan dan kurangnya pemanas di rumah-rumah mereka.
Selama ini Gaza juga hanya menerima satu pertiga semen dari jumlah yang seharusnya dibutuhkan untuk melakukan rekonstruksi. Hanya 20 persen dari rumah-rumah yang dihancurkan dapat dibangun kembali. Karena terbatasnya semen yang diperbolehkan masuk ke Palestina, harga batu bata menjadi mahal dengan kualitas yang rendah.
Masharawi kemudian mencari jalan keluar untuk masalah tersebut. Ia belajar bahwa sejumlah besar abu selama ini terbuang dengan percuma. Dua negara besar seperti Amerika Serikat dan Cina misalnya, secara bersama-bersama menghasilkan 800 juta ton debu pertahunnya.
Di Gaza juga terdapat tiga restoran yang dapat mengasilkan 100 kilogram abu tiap harinya. Sementara itu terdapat 7 ton lebih abu yang dihasilkan dari pabrik pot lumpur setiap pekannya. Keadaan ini membuat Mashrawi menyadari bahwa ia harus mendaur ulang abu untuk membuat batu bata.
“Saya berfikir ini merupakan ide yang bagus. Sebab hal ini tidak hanya dapat diaplikasikan di Gaza, tetapi juga di seluruh dunia,” ungkap Mashrawi.
Setelah gagal mencoba sebanyak 10 kali, Mashrawi membawa prototipe batu batanya ke pabrik lokal untuk dilakukan uji coba. Tetapi ia kembali gagal. Ia justru ditertawakan oleh sang pemilik pabrik dan berkata kepadanya agar ia kembali ke dapur dan membuat hal yang lain, mungkin “Green Cake” yang sebenarnya.
Meski dicemooh, Mashrawi dan Abdelatif tak bergeming. Ia tetap melanjutkan percobaannya. Hingga akhirnya usahanya tersebut membuahkan hasil. Setelah ia mengubah cara mereka untuk mencampur bahan-bahan yang ada sehingga membuatnya lebih homogen dan menambahkan material yang baru, batu bara ‘Green Cake’ temuannya akhirnya berhasil dibuat. Mereka menamakan batu bata tersebut ‘Green Cake’ karena sifatnya yang ramah terhadap lingkungan dan beratnya yang ringan.
Batu bata temuannya ini juga berhasil memenangkan ajang inkubator start-up lokal yang dinamakan Mobaderoon III. Ia menang dari 800 pelamar lainnya dan akan dibiayai untuk produksi pertama mereka pada bulan September tahun ini. Mereka juga diminta untuk membangun sebuah tembok dengan menggunakan 1.000 batu bata.
Harga ‘Green Cake’ yang murah dengan kualitas yang memuaskan memang telah menarik penduduk lokal, tetapi mereka kesulitan untuk mempromosikannya secara internasional akibat adanya pengepungan Israel. Mashrawi sebenarnya juga diminta untuk berkompetisi di laga final MIT Arab Startup Competition di Arab Saudi tahun lalu. Namun sayangnya ia tidak memperoleh izin untuk meninggalkan Palestina di pos penjagaan Erez.
“Pada saat itu saya merasa kecewa,” ujar Masharawi. “Ketika kami sedang mempresentasikan idea kami melalui Skype, tiba-tiba kami kehilangan koneksi, sehingga kami menyelesaikan presentasi kami melalui telefon
Kesulitan yang dihadapi oleh Masharawi dan rekannya belum selesai sampai disini. Mereka menghadapi sejumlah kesulitan untuk melakukan uji coba terhadap produk batu bata mereka. Laboraturium yang berada di Gaza tidak ada yang memenuhi syarat untuk melakukan uji coba tersebut. Pada awalnya Masharawi hendak menguji coba prototipenya di Tepi Barat. Namun sayangnya hal tersebut tidak diperbolehkan.
Namun kabar baik berhembus di musim panas lalu. Setelah mengalahkan 40 kompetitor lainnya di ajang the Japan Gaza Innovation Challenge, yang merupakan sebuah kompetisi yang memberikan kesempatan investasi terhadap proyek-proyek yang berkenaan dengan peningkatan kondisi kehidupan di Gaza.
Menurut pendiri kompetisi ini, Fumiya Kamikawaji, banyak orang yang tertarik untuk mendukung batu bata ‘Green Cake’ ini.
“Idenya untuk memproduksi bahan-bahan konstruksi yang berasal dari debu sangatlah inovatif, dan kami sangat mengapresiasi terhadap semangatnya untuk membangun kembali kota Gaza yang hancur melalui ‘Green Cake’ ini,” ujar juri Seiichiro Yonekura kepada Al Jazeera.
“Mereka sangat mengubah hidup saya. Mereka melakukan banyak hal untuk saya yang tidak dapat saya lakukan di Gaza,” kata Masharawi. “Mereka bertanya kepada saya. ‘Apa yang saya inginkan?’ Saya katakan kepada mereka bahwa saya ingin mengetahui lebih banyak pengetahuan mengenai ilmu material, mengenai pengetesan dan tentang bisnis perteknikan dan saya akan mendapatkannya dari mereka (Jepang –red).”
Sebagai bagian dari hadiah, ia juga akan melakukan perjalanan ke Jepang bulan ini untuk dilatih oleh perusahaan konstruksi dan teknik Maeda. Sekelompok ilmuwan juga akan membantunya untuk mengembangkan batu batanya ke tahap lebih lanjut. “Sekarang saya kembali memiliki harapan kembali,” ungkap Masharawi.
Mimpi Masharawi tidak berhenti sampai disini. Karena harga semen yang semakin menanjak, Masharawi masih bertekad untuk mencari alternatif bagi bahan tersebut.
“Tidak ada batas bagi fikiran manusia,” ia berkata. “Jika kamu ingin melakukan sesuatu, kamu haru mempercayai itu dan melakukan itu dengan keyakinan… Karena hanya kamu satu-satunya orang yang bertanggung jawab terhadap masa depan.”
Sumber : Al Jazeera
Ditulis ulang oleh : Fitriyah Nur Fadhilah