“Ada satu kata yang dapat menjelaskan pertumpahan darah, genosida, pembantaian, pengeboman rumah sakit dan sekolah di Gaza hari ini: ‘Zionisme’. Kata tersebut didefinisikan oleh praktiknya: penghancuran rumah, pendudukan militer, pengepungan, diskriminasi rasial, eliminasi rasial, fakta-fakta tersebut berbicara dengan sendirinya.” Pernyataan tersebut disampaikan oleh Mohammed El Kurd, seorang penulis muda yang berasal dari Sheikh Jarrah, Al-Quds (Yerusalem), sekaligus saksi dari proyek-proyek Zionis yang dilakukan di atas tanah Palestina.
Kalimat El Kurd yang menyandingkan fakta antara genosida Gaza dengan gerakan Zionisme menjadi petunjuk bahwa genosida yang terjadi saat ini di Gaza, penyerbuan dan penangkapan massal di Tepi Barat, serta penghancuran rumah dan penodaan Masjid Al-Aqsa di Al-Quds (Yerusalem) bukanlah praktik baru, melainkan “program” yang telah dirancang oleh sebuah sistem yang lebih besar, yaitu Zionisme. Melalui pemaparan singkat El Kurd, kita diajak untuk menyelami kembali dasar yang membentuk sistem penuh kejahatan yang saat ini menyerang tanah bersejarah Palestina.
Definisi dan Tujuan Dibentuknya Zionisme

Berdasarkan buku Political Encyclopedia of the Middle East, zionisme didefinisikan sebagai “gerakan untuk kebangkitan nasional dan kemerdekaan politik orang-orang Yahudi di Eretz Yisrael (Palestina), yang muncul menjelang akhir abad ke-19.” Sementara itu, The Shorter Oxford English Dictionary menawarkan definisi yang lebih singkat untuk zionisme: “Sebuah gerakan untuk [awalnya] pembentukan kembali kebangsaan Yahudi di Palestina, dan [sejak 1948] perkembangan negara Israel.”
The Political Dictionary of the State of Israel memberikan definisi yang lebih kompleks tentang zionisme. Catatannya mengenai zionisme mencakup tiga setengah halaman, yang diringkas oleh media The Guardian sebagai berikut: “Gerakan untuk kebangkitan nasional dan kemerdekaan orang-orang Yahudi di Eretz Yizrael [Bahasa Ibrani untuk tanah Israel]. Istilah zionisme diciptakan oleh penulis Yahudi, Nathan Birnbaum (1863–1937) pada 1885, dan berasal dari kata “Zion” – salah satu nama alkitabiah untuk Al-Quds (Yerusalem).”
Orang-orang Zionis mengklaim bahwa mereka menggunakan dasar-dasar dari ayat alkitabiah untuk gagasan zionisme, merujuk pada ayat yang menyebutkan Tuhan menjanjikan Tanah Kanaan kepada Abraham dan keturunannya – orang Israel – dan menamainya Tanah Israel. Orang-orang Yahudi kemudian memutuskan untuk pindah ke Palestina pada masa Utsmani menjelang akhir abad kesembilan belas. Migrasi massal pertama orang Yahudi ke Palestina (dikenal sebagai Aliyah Pertama) terjadi antara 1882 dan 1903. Sekira 15.000 hingga 25.000 orang Yahudi bermigrasi, menggandakan populasi Yahudi di Palestina pada saat itu.
Pada 1896, Theodor Herzl, seorang Yahudi Austria, menulis buku yang diberi judul Der Judenstaat atau “Negara Yahudi”, yang menjadi cikal bakal terbentuknya gerakan zionisme. Pemikiran ini terbentuk sejak ia menyaksikan kerusuhan antisemit di Paris pada 1895, yang membuatnya berpikir bahwa antisemitisme bukanlah sesuatu yang mudah dikalahkan. Oleh sebab itu, ia mendorong orang-orang Yahudi Eropa untuk meninggalkan benua tersebut dan menciptakan rumah nasional mereka sendiri.
Gagasan Theodor Herzl mengenai konsep “negara Yahudi” tersebut membuat ia kemudian diberi gelar sebagai “Bapak Zionisme Politik”. Di dalam bukunya, Herzl berpendapat bahwa orang Yahudi memiliki identitas nasional yang harus dianut. Namun, katanya, mereka tidak akan pernah aman dari antisemitisme kecuali apabila mereka tinggal di sebuah komunitas sebagai mayoritas.
Pada 1897, Theodor Herzl menginisiasi Kongres Zionis pertama yang diadakan di Basel, Swiss. Kongres berlangsung selama tiga hari yaitu pada 29 hingga 31 Agustus 1897. Diperkirakan peserta kongres terdiri atas 200 orang dari tujuh belas negara. Sebanyak 69 di antaranya adalah delegasi dari berbagai masyarakat Zionis dan undangan individu lainnya, ditambah sepuluh undangan non-Yahudi.
Pembahasan utama dalam agenda Kongres Zionis pertama adalah penyajian rencana Herzl, pembentukan Organisasi Zionis Dunia dan deklarasi tujuan zionisme-program Basel, yaitu untuk mendirikan tanah air Yahudi di atas tanah Palestina. Pada hari kedua kongres, ditegaskan bahwa “Tujuan zionisme adalah untuk menciptakan sebuah rumah di Eretz Israel bagi orang-orang Yahudi dan dijamin oleh hukum.” Di Kongres Zionis pertama ini, Theodore Herzl ditetapkan sebagai Presiden Organisasi Zionis. Kongres Zionis kemudian diadakan setiap tahun hingga 1901, dan setelahnya diadakan empat tahun sekali. Hingga kini, kongres tersebut telah diselenggarakan sebanyak 38 kali.
Sebelum membahas lebih jauh, perlu dipahami bahwa tidak semua orang Yahudi adalah Zionis. Banyak juga orang Yahudi religius ortodoks yang percaya bahwa penciptaan negara Yahudi oleh manusia adalah perampasan implisit peran Tuhan. Selain itu, ada banyak juga orang Yahudi liberal yang menentang pendudukan dan kolonisasi Yahudi terhadap Tepi Barat dan Jalur Gaza, dan yang tidak menyukai persamaan antara gagasan zionisme dengan ekspansionisme yang dilakukan Israel terhadap Palestina.
Fakta-Fakta Mengenai Zionisme

(Al Jazeera)
Seorang ahli sejarah Timur Tengah dan profesor Universitas Columbia berkebangsaan Palestina-Amerika, Prof. Rashid Khalidi, menjelaskan fakta bahwa zionisme datang dalam konteks imperialisme Inggris sebagai proyek pemukim kolonial (colonial settlers) yang dilindungi oleh imperium terbesar zaman itu, yang hendak memperluas, mendukung, dan membantu mendirikan rumah nasional Yahudi di negara yang hampir seluruhnya dihuni oleh orang Arab.
Dalam melakukan itu, Imperium Inggris akhirnya mengerahkan kekuatan militernya yang besar untuk menghancurkan Palestina sebagai upaya untuk mengubah Palestina menjadi tanah Israel. Dengan kata lain, ini bukanlah konflik antara Yahudi dan Arab. Pada awalnya, yang terjadi sesungguhnya merupakan konflik antara Inggris dan Palestina. Deklarasi perang dibuat oleh Inggris atas nama gerakan zionisme, tetapi sebenarnya adalah untuk kepentingan imperiumnya.
Terbukti pada 1917, dalam upaya untuk melemahkan kontrol Utsmani, Inggris secara implisit mendukung keberadaan tanah air Yahudi dalam Deklarasi Balfour. Deklarasi yang disahkan pada 2 November 1917 ini berbentuk surat dari Menteri Luar Negeri Inggris saat itu, Arthur Balfour, dan ditujukan kepada Lionel Walter Rothschild, seorang tokoh Yahudi-Inggris. Deklarasi ini merupakan upaya Inggris untuk melegalisasi masuknya orang-orang Yahudi ke tanah Palestina yang bersejarah.
Orang yang sama yang mengeluarkan Deklarasi Balfour adalah pejabat Inggris yang sebelumnya mengesahkan Alien Act pada 1905. Pengesahan tersebut bertujuan untuk menjaga pengungsi Yahudi agar tidak datang ke Inggris. Dengan menciptakan Alien Act, Inggris seolah-olah berkata, “Kami tidak ingin mereka (Yahudi) ada di sini. Namun, kami dengan senang hati mengirim mereka ke Palestina.” Oleh sebab itu, Prof. Khalidi menyebutkan motivasi paling penting dari Inggris untuk mendukung zionisme bukanlah sentimental, religius, atau anti-semit. Di atas segalanya, itu bersifat strategis.
Bertahun-tahun setelahnya, disahkan juga solusi partisi pada 1947, ketika PBB memberikan sebagian besar wilayah Palestina kepada Yahudi yang saat itu adalah minoritas, kemudian tidak melakukan apa-apa ketika Yahudi menggusur penduduk Arab Palestina dari tanah kelahiran mereka sendiri. Resolusi ini membuat wilayah Palestina yang diperuntukkan untuk Yahudi semakin besar, memicu gelombang kedatangan orang-orang Yahudi secara massal, hingga puncak dari bencana ini adalah Nakba, malapetaka bagi bangsa Palestina yang diklaim orang-orang Yahudi sebagai hari berdirinya “Negara Yahudi”.
Fakta kedua, zionisme bukanlah fenomena Timur Tengah. Ini adalah fenomena Yahudi Eropa Timur yang dimulai oleh orang Eropa, bukan dari tokoh-tokoh yang asli berasal dari Timur Tengah. Sebagai contoh, Theodor Herzl, “Bapak Zionisme Politik”, adalah seorang Austria dan bahasa pertamanya adalah Jerman-Austria. Kemudian Golda Meir, mantan Perdana Menteri Israel, lahir di Eropa Timur dan dibesarkan di Milwaukee. Kedua tokoh besar Zionis tersebut sama sekali bukan berasal dari Timur Tengah, seperti halnya sejumlah tokoh Zionis lainnya.
Fakta ketiga, mengenai tujuan Zionis yang ingin mendirikan negara Yahudi di “Tanah yang Dijanjikan”, Prof. Khalidi menegaskan bahwa Palestina bukanlah tanah tanpa bangsa. Mungkin banyak orang bisa berargumen bahwa orang-orang Yahudi adalah orang-orang tanpa tanah, tetapi Palestina bukanlah tanah tanpa bangsa. Jika ada pihak yang mengabaikan konteks itu dan hanya melihat orang-orang Yahudi yang miskin, tertindas, dan teraniaya datang ke tanah kosong, maka mereka sesungguhnya sedang berbicara tentang kepalsuan.
Dan fakta keempat, Benny Morris, seorang sejarawan Israel dalam bukunya yang berjudul Righteous Victims memaparkan bahwa Israel seringkali menggambarkan kepada dunia untuk memvalidasi bahwa apa yang mereka jalankan merupakan pendudukan yang ‘tercerahkan’ atau ‘baik hati’ yang secara kualitatif berbeda dari pendudukan militer lain yang pernah disaksikan dunia. Namun kenyataannya sangat berbeda, bahkan saat ini pun dunia sudah bisa menyaksikan secara faktual sekejam dan se-tidak manusiawi apa pendudukan yang dilakukan Israel di Palestina.
Sebagaimana seluruh penjajahan yang terjadi, pendudukan Israel juga didirikan atas dasar kekuatan brutal, penindasan, ketakutan, pengkhianatan, penyiksaan, serta intimidasi harian. Nakba yang diklaim sebagai peristiwa berdirinya Israel, secara historis telah mengusir ratusan ribu warga Palestina dari rumah mereka, juga membantai banyak orang dan menghapus desa-desa bersejarah Palestina dari peta. Oleh sebab itu, Morris menegaskan bahwa “Zionisme adalah ideologi dan gerakan penjajah dan ekspansionis. Ideologi dan praktik Zionis pada dasarnya adalah ekspansionis”.
Neo-Zionis: Zionisme Modern yang Lebih Brutal

Seperti yang dapat disaksikan oleh dunia, saat ini Zionis tengah melancarkan genosida di Jalur Gaza, menghabisi nyawa ribuan warga sipil. Ini membuat Ilan Pappé, seorang ahli sejarah dan politik Israel angkat suara, “Eropa, yang mengklaim sebagai model peradaban, telah mengabaikan genosida yang disiarkan televisi di zaman modern ini”. Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa “Kita berada dalam keadaan yang dapat didefinisikan sebagai neo-Zionis. Nilai-nilai lama zionisme sekarang lebih ekstrem, dalam bentuk yang jauh lebih agresif daripada sebelumnya, mencoba untuk mencapai dalam waktu singkat apa yang generasi Zionis sebelumnya coba untuk capai dengan cara yang lebih panjang, lebih bertahap”.
Ilan Pappé menegaskan bahwa apa yang terjadi saat ini bukanlah sesuatu yang baru, melainkan kelanjutan dari proyek Zionis sejak 1948, yaitu mengambil alih seluruh tanah bersejarah Palestina dan menyingkirkan sebanyak mungkin penduduk aslinya. Bedanya, fase saat ini tidak hanya dimaksudkan untuk menyelesaikan “pekerjaan 1948”, tetapi juga untuk membentuk wajah baru Israel sebagai kekuatan besar di kawasan. Israel ingin dipandang sebagai negara yang ditakuti atau dihormati oleh tetangganya, sehingga membuka peluang bagi ekspansi lebih jauh melampaui batas-batas mandat maupun wilayah historis Palestina.
Berdasarkan pengalaman dan pengamatannya, Ilan Pappé berargumen bahwa apa yang terjadi saat ini bisa jadi merupakan fase terakhir dari proyek zionisme. Ia menekankan bahwa, secara historis, dalam setiap gerakan ideologis—baik berbentuk kolonial maupun kekaisaran—bab penutup biasanya adalah fase paling kejam sekaligus paling ambisius. Namun, justru di titik inilah, ketika kekerasan dan penindasan sudah mencapai taraf yang berlebihan, sistem tersebut mulai goyah dan akhirnya runtuh. Dalam konteks hari ini, genosida Israel terhadap Jalur Gaza telah melampaui batas kemanusiaan yang dapat ditoleransi, dan tragisnya masih terus berlangsung dengan tingkat kebrutalan yang semakin meningkat.
Mengenai genosida di Gaza, Ilan Pappé menyatakan bahwa gencatan senjata tidak dapat dianggap sebagai akhir dari kejahatan kemanusiaan ini, karena apa yang tengah berlangsung merupakan genosida yang tersistem. Menurutnya, sebuah sistem seperti ini tidak serta-merta dapat dimusnahkan, melainkan hanya bisa “dijeda”. Satu-satunya cara yang harus dilakukan adalah mereset sistem yang sudah ada, menghabisi hingga ke akarnya, dan menggantinya dengan sistem yang baru. Pappé juga mengingatkan bahwa pemimpin Zionis sangat menyadari bahwa proyek yang mereka jalankan sejak awal memang menuntut pembersihan etnis atas penduduk asli Palestina. Itulah sebabnya sistem yang mereka bangun akan selalu berusaha mencapai titik tersebut, bagaimanapun caranya.
Gencatan senjata bukanlah solusi akhir, sebab Israel masih dapat melihat bayi-bayi Palestina yang mereka habisi nyawanya sambil tertawa dan berkata ‘Ini baik, sangat bagus!’ Dehumanisasi adalah bagian dari DNA Israel dan sangat sulit untuk dihadapi hanya dengan jeda sementara atau kecaman semata, sementara lembaga yang berwajib masih menerapkan standar ganda dan enggan memberikan sanksi yang seharusnya dijatuhkan kepada pihak yang melakukan kejahatan perang dan kemanusiaan secara nyata dan terang-terangan.
Kini, di tengah diamnya sebagian besar pemerintah dan elit politik dunia internasional atas penjajahan yang dilakukan Zionis di Palestina, sudah saatnya orang-orang yang peduli pada kemanusiaan untuk bergerak bersama. Waktu kita terlalu terbatas untuk menunggu tindakan dari para penguasa, sedangkan saat ini jutaan nyawa di Gaza tengah terancam akibat kelaparan dan genosida yang dilakukan secara terang-terangan. Beberapa waktu lalu, relawan dari berbagai negara yang berangkat dengan kapal Madleen dan Handala telah berusaha menuntaskan blokade Gaza, dan kini armada Global Sumud Flotilla juga tengah melakukan upaya yang sama. Gerakan internasional ini menjadi aksi nyata bahwa kita semua tetap bisa melakukan sesuatu untuk Palestina, jika kita fokus dan bersatu. Zionisme modern telah menuntut kita untuk bergerak, bersuara, dan berpihak. Gerakan kita mungkin belum bisa secara instan mereset sistem yang ada saat ini, tetapi keadilan selalu punya caranya sendiri untuk tegak di tengah kegelapan. Dan saat itu tiba, pastikan kita berada di barisan orang-orang yang memperjuangkannya. Hari ini, armada bergerak menuju Gaza, esok hari, semoga armada yang lebih besar akan bergerak dan menghapuskan Zionisme dari seluruh tanah bersejarah Palestina.
Salsabila Safitri, S.Hum.
Penulis merupakan Relawan Departemen Penelitian dan Pengembangan Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana jurusan Sastra Arab, FIB UI dan saat ini sedang menempuh pendidikan magister di program studi linguistik, FIB UI.
Sumber:
Caplan, N. (2001). Review Article: Zionism and the Arabs: Another Look at the “New” Historiography [Review of Righteous Victims: A History of the Zionist-Arab Conflict, 1881-1999; The Israel/Palestine Question; The Politics of Partition: King Abdullah, the Zionists and Palestine, 1921-1951; The Iron Wall: Israel and the Arab World, by B. Morris, I. Pappé, & A. Shlaim]. Journal of Contemporary History, 36(2), 345–360. http://www.jstor.org/stable/261230
Herzl, T. (1920). Der Judenstaat (1920). Faksimile-Verlag.
Pappé, I. (2006). The 1948 Ethnic Cleansing of Palestine. Journal of Palestine Studies, 36(1), 6-20. https://www.proquest.com/scholarly-journals/1948-ethnic-cleansing-palestine/docview/220624911/se-2
Palestine Deep Dive
Al Jazeera
The Guardian
Voices of War
The Conversation
Jewish Virtual Library