Ia adalah Safiatuddin Tajul Alam Syah, perempuan pertama Aceh yang memperoleh gelar “Sultanah” atau pemimpin. Ia menggantikan suaminya, Sultan Iskandar ats-Tsani yang meninggal mendadak pada 1641. Sultanah Safiatuddin memerintah sebagai ratu Aceh selama 34 tahun sampai kematiannya pada 1675.
Sultanah Safiatuddin bukanlah sosok sembarangan. Ia merupakan anak dari penguasa legendaris Aceh, Sultan Iskandar Muda (w.1636). Sejak kecil ia sudah terbiasa melihat pola pemerintahan yang diberlakukan oleh ayahnya. Dalam kitab Bustan al-Salatin karya ulama besar Aceh, Nuruddin ar-Raniry dituliskan bahwa Sri Sultanah bersifat dan berperangai baik, takut kepada Allah, tidak pernah meninggalkan salat, gemar membaca Al-Qur’an, mendorong rakyatnya berbuat kebajikan dan melarang kejahatan, serta adil dalam persoalan hukum. Selain itu, ia juga menguasai empat bahasa, yaitu Arab, Persia, Spanyol, dan Urdu. Ia gemar belajar syair dari Hamzah Fansuri dan belajar ilmu Fikih dari Nuruddin Ar-Raniry.
Mewarisi kebesaran dua pendahulunya (Ayahya, Sultan Iskandar Muda, dan suaminya, Sultan Iskandar ats-Tsani), tidak menjadikan Sultanah Safiatuddin bisa menduduki posisi kepemimpinan dengan mudah, karena ia adalah seorang perempuan. Ketika Sultan Iskandar ats-Tsani wafat, ia tidak mempunyai putra mahkota yang dapat menggantikan posisinya. Oleh karena itu, terjadilah kegaduhan di kalangan para pembesar dan bangsawan (orangkaya) Aceh yang merasa berkesempatan untuk menjadi sultan. Khawatir akan kegaduhan tersebut, para ulama Aceh menggelar musyawarah, dipimpin oleh qadhi Malikul Adil Nuruddin ar-Raniry.
Setelah musyawarah yang cukup alot dengan mempertimbangkan situasi sekaligus kecakapan yang dimiliki oleh Sultanah Safiatuddin, maka musyawarah tersebut menobatkan Safiatuddin sebagai sultanah. Ini adalah momen yang sangat bersejarah karena untuk pertama kalinya Kerajaan Aceh Darussalam dipimpin oleh seorang perempuan. Ia diberi gelar Paduka Sri Sultan Tajul Alam Safiatuddin Syah Berdaulat Zillulahi Fil Alam binti Sultan Iskandar Muda Johan Berdaulat.
Pada masa awal kepemimpinannya, Sultanah Safiatuddin menghadapi banyak tantangan, di antaranya harus mengatasi VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang pengaruhnya semakin besar setelah berhasil merebut Kota Malaka dari tangan Portugis pada 14 Januari 1641, sekaligus harus menghadapi kelompok-kelompok yang menolak kepemimpinannya.
Namun, meskipun Sultanah Safiatuddin tidak mampu mengembalikan kejayaan militer Aceh pada masanya, tetapi ia berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh, mencegah VOC untuk memperoleh komoditi atas perdagangan timah dan lainnya. Sultanah Safiatuddin juga berhasil menjadikan Aceh mencapai puncak kemapanan ilmu pengetahuan, melebihi masa-masa sebelumnya. Hal ini tidak lepas dari dukungan dua ulama Aceh yang paling disegani kala itu, Nuruddin ar-Raniry dan Abdurrauf as-Singkili. Dua ulama ini pula yang menghalau pendapat-pendapat yang menginginkan digantinya posisi pemimpin Aceh dengan laki-laki.
Sultanah Safiatuddin juga merupakan pemimpin yang mengedepankan dialog. Ia mendorong ratusan ulama, termasuk yang menentangnya, untuk meluaskan pengaruh mereka dengan membuat dayah-dayah (pesantren) di berbagai tempat, hingga berkembang pesat di daerah-daerah kekuasaan Aceh, bahkan meluas hingga ke daerah Ulakan Sumatera Barat, Yan Kedah, Siak Seri Indrapura, dan lain lain.
Jami’ (Universitas) Baiturrahman di Banda Aceh berkembang pesat, para ulama didorong untuk menulis kitab dan melakukan penerjemahan kitab-kitab berbahasa Arab ke dalam bahasa Melayu atau Jawi. Di antara kitab yang diterjemahkan adalah tafsir Al-Qur’an Anwarut Tanzil wa Asrarut Takil yang menjadi kitab tafsir pertama yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu.
Ketika itu, Jami’ Baiturrahman membuka berbagai bidang keilmuan, seperti Darul Tafsir wal Hadits (Fakultas Tafsir dan Hadits), Darul Thib wal Kimiya (Fakultas Kedokteran
dan Kimia), Darul Adab wal Tarikh (Fakultas Sastra dan Sejarah), Darul Hisab (Fakultas Sains), Darul Siyasah (Fakultas Ilmu Politik), Darul Akli (Fakultas Ilmu Eksakta), Darul Zira’ah (Fakultas Pertanian), Darul Ahkam (Fakultas Hukum), Darul Filsafat (Fakultas Filsafat), Darul Wizarah (Fakultas Administrasi Negara), Darul Khazanah Baitul Mal (Fakultas keuangan), Darul Ardi (Fakultas Pertambangan), Darul Nahw (Fakultas bahasa Arab), Darul Mazahib (Fakultas Perbandingan Agama), Darul Harb (Fakultas Perang), Darul Shanaah (Fakultas Teknologi), Darul tijarah (Fakultas Perdagangan), serta Darul Ulum (Fakultas Ilmu)
Kecintaan Sultanah Safiatuddin terhadap ilmu pengetahuan membuat pendidikan di Aceh berkembang pesat. Ia mendorong laki-laki dan perempuan untuk belajar di ruang-ruang pendidikan. Ia ingin memberantas buta huruf dan buta ilmu sehingga di setiap desa didirikan meunasah atau sekolah dasar dan zawiyah atau sekolah menengah. Baginya, pendidikan merupakan sarana untuk meningkatkan martabat dan status seseorang sehingga menciptakan bangsa yang cinta akan ilmu dan bermartabat.
Dibukanya kesempatan yang sama luasnya bagi lelaki dan perempuan dalam menuntut ilmu membuat bidang pekerjaan yang diisi oleh perempuan menjadi semakin banyak, termasuk di sektor pemerintahan atau di Balai Majelis Mahkamah Rakyat. Bahkan, secara khusus, Sultanah Safiatuddin juga mendidik dan menggembleng tiga perempuan yang ia rencanakan bakal menggantikan dirinya. Di antaranya adalah Putri Naqiyah, Putri Raja Setia, dan Putri Punti.
Dengan demikian, tidaklah berlebihan jika pada 34 tahun masa kepemimpinan Sultanah Safiatuddin, dikatakan bahwa Aceh berhasil mencapai puncak kegemilangan ilmu pengetahuan dan terus melahirkan para ulama dan cendekiawan besar, dengan kitab-kitab maupun karya terjemahan yang hingga kini masih lestari. Sultanah Safiatuddin wafat pada usia 63 tahun. Ia kemudian digantikan oleh Putri Naqiyyah yang ketika memimpin Aceh digelari Sultanah Nur al-‘Alam Naqiyyat al-Din. (LMS)
Sumber:
Ilham, Muhammad & Yulia Merry. (2021). “Kebijakan Hukum pada Pemerintahan Sultanah di Kesultanan Aceh Darussalam (1641-1699)”. Criksetra: Jurnal Pendidikan Sejarah.
Kloos, David. (2018). “Sovereign Women in a Muslim Kingdom: The Sultanahs of Aceh, 1641–1699, by Sher Banu A.L. Khan”. Journal of Humanities and Social Sciences of Southeast Asia Vol. 17, Issue 2–3.
Diakses di https://brill.com/view/journals/bki/174/2-3/article-p320_14.xml
Putra, Rahmad Syah. (2015). “Islamic Education in Sri Ratu Tajul Safiatuddin’s Period (Historical Review). Ar-Raniry: International Journal of Islamic Studies Vol. 2, No.2. (www.journalarraniry.com)
Sa’adah, S, Rd. (2007). “Ratu-Ratu Aceh Abad ke 17 M”. Al-Turas. Diakses pada Senin, 10 Oktober 2022 di https://journal.uinjkt.ac.id/index.php/al-turats/article/view/4263/3022
Setiyanto, Arief. “Sultanah Safiatuddin Tajul Alam, Kunci Kebangkitan Ilmu Pengetahuan Aceh Darussalam”. Diakses pada Selasa, 11 oktober 2022. https://islamtoday.id/ulas-nusa/20190710150834-2052/sultanah-safiatuddin-tajul-alam-kunci-kebangkitan-ilmu-pengetahuan-aceh-darussalam/
Zamzami, Fitriyan. “Safiatuddin Sang ‘Muslimah Sempurna’” Diakses pada Rabu, 12 Oktober 2022. https://www.republika.co.id/berita/ontgw5393/safiatuddin-sang-muslimah-sempurna
***
Tetaplah bersama Adara Relief International untuk anak dan perempuan Palestina.
Kunjungi situs resmi Adara Relief International untuk berita terbaru Palestina, artikel terkini, berita penyaluran, kegiatan Adara, dan pilihan program donasi.
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini seputar program bantuan untuk Palestina.
Donasi dengan mudah dan aman menggunakan QRIS. Scan QR Code di bawah ini dengan menggunakan aplikasi Gojek, OVO, Dana, Shopee, LinkAja atau QRIS.
Klik disini untuk cari tahu lebih lanjut tentang program donasi untuk anak-anak dan perempuan Palestina.