Di Gaza, masa kecil sudah tidak lagi berjalan sebagaimana mestinya. Sejak agresi 7 Oktober 2023 melanda wilayah tersebut, anak-anak Gaza mulai merasakan bertubi-tubi cobaan yang kian bertambah dari waktu ke waktu. Di setiap sudut tempatnya, tersimpan kisah kehilangan yang tak kunjung usai, air mata yang terus berderai, dan terdapat pundak anak-anak yang lunglai sebab memikul beban yang lebih berat dari usia mereka.
Menjadi seorang anak di Gaza, berarti tumbuh di tengah agresi, blokade, dan rasa kehilangan yang mendalam. Kehilangan orang-orang tercinta yang tertimbun puing-puing reruntuhan bangunan, atau bahkan peluru yang menyasar setiap tubuh yang tak bersalah. Semua itu anak-anak Gaza rasakan, hingga akhirnya mereka merasa sulit membedakan antara kehidupan dan juga kematian. Kehilangan seolah menjadi teman bermain mereka, yang siap-siap datang menghampiri, kemudian membawa orang-orang tersayang—tak terkecuali membawa pergi sang ayah tercinta.
Di Gaza, saat ini telah lebih dari 39.000 anak menjadi yatim. Kehilangan sang ayah terpaksa membuat mereka ditempa menjadi sosok yang kuat—lebih ekstra dalam menjalani hidup karena kehilangan sosok kepala keluarga. Dari 39 ribu anak, 2.000 dari mereka merupakan yatim yang Adara bantu sejak tahun 2021 di bawah naungan program Dekap Yatim Palestina (DYP). Mereka bukanlah sekadar angka dalam daftar penerima bantuan dari Sahabat Adara di Indonesia, melainkan jiwa-jiwa kecil yang berjuang untuk tumbuh di tanah yang terkepung dan dirundung kelaparan.
Hidup Tanpa Rumah dan Berpindah-Pindah
Saat ini, genosida yang masih terus berlangsung di Gaza membuat banyak anak-anak yatim ini kehilangan tempat tinggal mereka dan berada di berbagai lokasi pengungsian. Menurut data lapangan, sebanyak 90% dari yatim Adara tidak memiliki rumah sendiri, melainkan tinggal di hunian sementara yang rapuh. Sementara itu, 40% dari mereka tinggal di tenda-tenda yang sebagian besar tidak memiliki fasilitas yang layak, dan 10% di antaranya tinggal di perumahan bersama dengan keluarga lain. Tidak ada kata aman dalam hidup mereka, bahkan untuk mengamankan privasi mereka sendiri.
Lebih dari 75% anak yatim Adara kini terkonsentrasi di daerah Deir al Balah, Kota Gaza, Khan Younis, dan Rafah. Wilayah ini merupakan wilayah yang paling terdampak oleh berbagai serangan, hingga banyak dari mereka harus mengungsi untuk mencari tempat yang aman. Terhitung lebih dari 15 kali mereka terpaksa meninggalkan rumah sejak agresi dimulai. Berpindah-pindah menjadi aktivitas melelahkan yang harus mereka tempuh. Tidak ada pilihan lain selain berpindah hanya untuk menyelamatkan diri.
Tabel 1.1. Distribusi Geografis Anak Yatim Adara di Gaza
Lokasi |
Jumlah Yatim |
Presentase |
Deir Balah | 938 | 46,9% |
Kota Gaza | 325 | 16,3% |
Khan Younis | 275 | 13,8% |
Rafah | 262 | 13,1% |
Jabaliya | 88 | 4,4% |
Gaza Utara | 50 | 2,5% |
Beit Lahiya | 25 | 1,25% |
Nusairat | 25 | 1,25% |
Beit Hanoun | 13 | 0,65% |
Al-Maghazy | 13 | 0,65% |
Jumlah Keseluruhan | 2.000 anak | 100% |
Rumah yang Bukan Lagi “Rumah”
Sebagian kecil dari yatim Adara di Gaza ada yang masih menetap di rumah mereka sendiri. Namun, rumah yang mereka sebut “rumah” itu sebenarnya jauh dari kata layak. Dinding dan ruangan yang tersisa sudah tidak utuh, sebagian hancur, dan tidak lagi memberikan rasa aman.
Rumah yang mereka tinggali pun tidak mampu menyediakan air bersih. Akses terhadap air sangat terbatas, hingga 96% rumah tangga di Gaza kini mengalami krisis air. Anak-anak yatim terpaksa mengantre panjang hanya untuk mendapatkan sedikit air layak konsumsi. Bila tidak, mereka tak punya pilihan selain menggunakan air dengan kualitas rendah yang berisiko bagi kesehatan.
Di tempat yang mereka sebut rumah juga tidak memberikan akses listrik sebagai sumber energi dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga. Di Gaza, pasokan listrik sangat terbatas. Kantor PB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) memerkirakan setidaknya 2,1 juta penduduk Gaza tidak memiliki akses listrik. Akibatnya, banyak keluarga terpaksa membakar plastik atau puing-puing untuk memasak, meski berbahaya bagi kesehatan.
Rumah yang mereka tempati juga jauh dari kata nyaman. Privasi hampir mustahil terjaga, sementara ventilasi yang minim membuat udara pengap dan tidak sehat menjadi bagian dari keseharian mereka. Selain itu, anak-anak yatim ini tidak memiliki ranjang untuk beristirahat, sehingga harus tidur di lantai yang permukaannya terasa dingin.
Realitas Kesehatan Jiwa dan Raga
Kehilangan sosok ayah dan juga tempat tinggal bukanlah satu-satunya luka yang harus ditanggung anak-anak yatim Adara di Gaza. Kehilangan itu hanyalah permulaan dari derita yang jauh lebih dalam—sebuah luka yang terus menggerogoti jiwa dan raga mereka setiap hari.
Di tengah blokade yang mencekik, runtuhnya sistem kesehatan yang berkelanjutan semakin memperparah kondisi mereka. Banyak anak yatim Adara kini menghadapi masalah kesehatan yang kritis, tanpa akses yang memadai terhadap layanan medis. Data dari lapangan mencatat sekitar 213 anak yatim Adara di Gaza menderita gangguan fisik kronis yang membutuhkan perawatan intensif. Selain itu, beberapa di antaranya bahkan harus menjalani pengobatan harian dan pemeriksaan berkala. Ini semua hampir mustahil terpenuhi sebab minimnya tenaga kesehatan dan keterbatasan fasilitas serta pelayanan medis.
Hidup dalam kondisi demikian, luka fisik dan psikis mereka semakin dalam. Setiap hari, anak-anak ini bukan hanya berjuang untuk bertahan hidup, tetapi juga berusaha menemukan secercah harapan di tengah realitas yang begitu getir.
Salah seorang yatim Adara, Omar Moataz Abdel Moneim Al Saafin, seorang anak yang memiliki hobi menggambar, kini membutuhkan beberapa operasi untuk pulih agar bisa kembali mengembangkan bakatnya. Dia bersama keluarganya menjadi sasaran dalam penembakan hebat, yang mengakibatkan luka bakar yang parah di tangan.
Selain Omar, Mahmoud Abdul-Hay Al Mabhouh juga mengalami masalah pada kesehatannya. Saat ini, Omar mengalami gangguan pada saluran kemihnya akibat rasa takut yang menggerogoti jiwanya. Teror dan penembakan berulang yang dialami menambah rasa takutnya, dan hal ini mengganggu proses pencernaannya serta memengaruhi kehidupan sehari-harinya.
Sahabat Adara, bantuan yang Sahabat berikan setiap bulan untuk anak yatim bukan sekadar dukungan finansial. Bantuan ini bagaikan warna baru bagi kehidupan anak-anak yatim di Gaza, karena dapat memberikan rasa aman di tengah krisis yang sedang berlangsung di Jalur Gaza. Bantuan ini memberikan dampak nyata dalam meningkatkan kondisi kehidupan, pendidikan, dan kesehatan anak-anak yatim. Bukan hanya itu, bantuan ini memotivasi mereka untuk terus tumbuh dan belajar di tengah berbagai rintangan yang mereka hadapi.
Dalam menjalankan program Dekap Yatim Palestina (DYP), Tim Adara berupaya semaksimal mungkin untuk menjangkau setiap anak yatim dan memberikan bantuan dari Sahabat dengan tepat waktu. Tim di lapangan berjuang dengan sekuat tenaga, bahkan ada beberapa di antara mereka yang gugur dalam menjalankan tugas kemanusiaan tersebut. Pengorbanan ini tidak melemahkan tim, justru memperkuat tekad mereka untuk memberikan harapan kepada setiap anak yatim. Sebab bantuan ini bukan hanya tentang uang, ini tentang menyelamatkan nyawa ribuan yatim yang terjebak dalam genosida tak kunjung usai. [AM]