Haji merupakan salah satu pilar penting dalam agama Islam yang harus dipenuhi oleh umat Islam. Tugas ini harus dilakukan jika seorang Muslim memiliki kemampuan untuk melakukan perjalanan ke tempat suci. Kemampuan seseorang untuk menjalankan haji dapat diukur melalui berbagai persiapan yang mencukupi, seperti kemampuan finansial untuk pelaksanaan haji, kesehatan fisik, dan biaya yang terkait dengan perlengkapan yang diperlukan.
Bagi orang Indonesia (Nusantara), perjalanan panjang dalam menunaikan ibadah haji ke Makkah telah berlangsung sejak ratusan lalu, ketika moda transportasi yang digunakan adalah kapal layar dan kapal uap. Jemaah haji dari Nusantara, membelah jalur maritim kepulauan Nusantara, Teluk Persia, dan Laut Merah untuk mencapai Makkah, tanah suci yang dirindukan.
Arti Haji dan Mengunjungi Tanah Suci bagi orang Indonesia
Menurut Zainal dalam Regulasi Haji Indonesia dalam Tinjauan Sejarah, pada abad ke-17 atau sekitar tahun 1630-an, Raja Banten dan Raja Mataram saling bersaing, mengirim utusan mereka ke Makkah dengan tujuan antara lain mencari pengakuan dan meminta gelar sultan. Para raja berpikir bahwa gelar yang diberikan oleh Makkah akan memberikan dukungan supranatural terhadap kekuasaan mereka. Namun, sebenarnya tidak ada lembaga di Makkah yang memberikan gelar kepada penguasa lain, tetapi raja-raja Jawa tersebut meyakini bahwa hanya Syarif Agung, penguasa Haramain (Makkah dan Madinah), yang memiliki kekuatan spiritual.
Beberapa puluh tahun kemudian barulah Abdul Kahar (Sultan Haji), anak dari Sultan Banten Agung Tirtayasa, pergi berhaji pada tahun 1674. Rangkaian amalan ibadah haji yang dilakukannya meliputi thawaf di sekitar Ka’bah dengan membaca doa, mencium Hajar Aswad, melakukan ziarah ke berbagai syekh, ziarah ke Nabi Khidir, dan pergi ke Madinah.
Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, seperti yang dijelaskan oleh M. Dien Madjied dalam Berhadji di Masa Kolonial, jumlah jemaah haji dari berbagai wilayah di Nusantara melebihi 40 persen dari total jemaah haji dari negara-negara lain di seluruh dunia. Ibadah haji memang memiliki peranan penting dalam kehidupan umat Islam di Nusantara sejak lama. Terdapat kesan bahwa masyarakat Nusantara memberikan lebih banyak perhatian terhadap ibadah haji daripada banyak bangsa lain, dan penghargaan yang diberikan kepada para haji juga lebih tinggi.
Rute Perjalanan Haji Tempo Dulu
Dalam buku Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje Jilid VIII karya Soedarso Soekarno, dijelaskan bahwa pada masa lampau, mobilisasi jemaah haji di Nusantara banyak terpusat di Aceh. Hal ini juga menjadi alasan mengapa Aceh sering disebut sebagai “Bumi Serambi Makkah”. Di Aceh, jemaah haji menunggu kapal yang akan membawa mereka ke India, Hadramaut di Yaman, atau langsung ke Jeddah. Perjalanan ini sering kali memakan waktu enam bulan atau lebih. Selama perjalanan, para musafir menghadapi berbagai risiko dan bahaya, bahkan setelah tiba di tanah Arab, mereka belum tentu aman.
Perjalanan ibadah haji dari tanah air menuju tanah suci menjadi lebih mudah setelah dibangunnya Terusan Suez pada tahun 1869 M. Hal ini menyebabkan peningkatan jumlah kapal uap yang berangkat dari Hindia Belanda menuju Jeddah, tidak hanya untuk para jamaah haji, tetapi juga bagi mereka yang bermukim di Makkah. Akibatnya, jumlah jemaah haji yang pulang ke Tanah Air lebih banyak daripada yang berangkat. Situasi ini menimbulkan kekhawatiran bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Otoritas Hindia Belanda pada waktu itu tidak dapat mengawasi aktivitas penduduk Hindia Belanda di luar pelaksanaan ibadah haji. Sementara, pada saat itu, Pan-Islamisme menjadi pemikiran yang populer di Timur Tengah. Pemerintah Hindia Belanda khawatir bahwa pemikiran tersebut masuk ke wilayah jajahan mereka dan memicu gerakan perlawanan di masyarakat. Akhirnya, pada 1872 M, pemerintah Hindia Belanda membuka konsulat di Jeddah sebagai perwakilan negara. Selain itu, pemerintah Hindia Belanda juga mulai mengambil alih pengelolaan proses ibadah haji, mulai dari keberangkatan hingga kepulangan para jamaah ke Tanah Air.
Perjalanan Haji Tokoh-tokoh Indonesia
R.A.A Wiranatakusuma: Pegawai Pribumi Pertama yang Pergi Haji
Dalam buku Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The Umma Below The Winds, Michael Laffan mencatat bahwa Bupati Bandung, R.A.A Wiranatakusuma, merupakan pejabat pribumi pertama pada abad 20 yang mendapatkan izin dari pemerintah untuk menjalankan ibadah haji. Pada tahun 1924, ia melakukan perjalanan haji dan mencatat pengalamannya. Memoar tersebut kemudian diberi judul “Mijn reis naar Mekka” (Perjalanan Saya ke Makkah), dan terbit sebagai cerita bersambung di koran berbahasa Belanda, Algemeen Indisch Dagblad de Preangerbode, yang terbit di Bandung pada 1925.
Bupati Bandung yang memiliki nama asli Raden Adipati Aria Muharam Wiranatakusuma ini lahir di Bandung pada 8 Agustus 1888. Ia merupakan putra dari Bupati Bandung sebelumnya, yaitu Raden Tumenggung Kusumadilaga, Bupati Bandung ke-10, yang bergelar Wiranatakoesoema IV. Sang ayah meninggal ketika Wiranatakusuma berumur 5 tahun. Dengan warisan yang ditinggalkan oleh ayahnya, dia dapat menikmati kehidupan yang layak dan mendapatkan pendidikan yang baik. Bahkan setelah kematian ayahnya, orientalis Snouck Hurgronje, menjadi wali penggantinya secara langsung. Berkat bantuan Hurgronje, Wiranatakoesoema memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan di HBS (Hogere Burgerschool) Gymnasium Willem II di Batavia.
Wiranatakusuma memulai perjalanan haji tiga bulan sebelum waktu yang ditentukan. Pada tanggal 23 Maret 1924 dia meninggalkan Bandung. Selang dua hari kemudian, ia melewati Batavia (Jakarta), dan akhirnya tiba di Jeddah pada 13 April 1924. Memoar Wiranatakusuma tentang perjalanannya ini menjadi menarik karena berisi banyak pengalaman pribadinya sebagai jemaah haji dan tokoh masyarakat. Salah satu cerita menarik dari perjalanan Wiranatakusuma ialah ia sering bertemu oleh Syarif Hussein Ali, penguasa Makkah, bahkan diundang dan dijamu olehnya. Wiranatakusuma juga mendapatkan beberapa keistimewaan, seperti diberikan fasilitas mobil untuk keperluan tertentu. Keberadaan mobil ini sangat berarti bagi Wiranatakusuma saat Mekah diserang oleh pasukan Bani Saud yang berusaha mengambil alih Tanah Suci. Mobil tersebut membantu Wiranatakusuma untuk menyelamatkan diri.
Selain itu pengalamannya dituliskannya dengan penuh hikmat dan haru ketika ia memperhatikan persatuan orang-orang Islam dari seluruh dunia yang berkumpul di Masjidil Haram. Dalam memoarnya, ia menuliskan “Sekian banyak manusia sujud semata-mata menyembah satu Tuhan; bermacam-macam bangsa, dari berbagai negara dengan wujud yang sama, telah berkumpul ke Makkah dan hidup di sana sebagai bersaudara. Saya sendiri pun ikut bagian dari persaudaraan yang besar itu.” Lebih lanjut ia menuliskan “Di sana, di Mekah itu, berpuluh ribu sekali tunduk dan sujud dengan wujud yang satu, berjenis-jenis bangsa mengerjakan suruhan Tuhan Yang Esa. Walaupun tiap-tiap bangsa mencarinya bangsa masing-masing, akan tetapi sekaliannya itu menjadi satu jua, sama tunduk, sama sujud, sama duduk dengan wujud yang sama…”
Selain penggalan cerita tersebut sebenarnya masih banyak lagi pengalamannya yang dituliskan dalam memoarnya, mulai dari berangkat, perjalanannya di tengah laut, dan saat di karantina haji di Pulau Onrust. Ketika Wiranatakusuma berada di Makkah, ia mengunjungi Istana raja, melakukan perjalanan ke Thaif, Arafah, dan Mina. Memoarnya berlanjut hingga perjalanan pulang.
Kisah perjalanan Wiranatakusuma menarik untuk diulas karena menggambarkan Tanah Suci dari perspektifnya yang merupakan seorang ningrat yang dapat diasumsikan tertutup dan kaku.
Ali Hasjmy: Perjalanan Haji dan Diplomasi

Ali Hasjmy merupakan orang Aceh yang terkenal di tingkat nasional. Ia pertama kali naik haji pada tahun 1949 dalam usia 35 tahun ketika menjadi bagian dari utusan diplomatik dalam kunjungan ke negara-negara Islam. Ceritanya hampir tidak membahas secara rinci tentang ibadah haji, tetapi tetap menarik karena melibatkan konteks politik yang relevan.
Muhammad Ali Hasjmy adalah anak dari Tengku Hasjmy, seorang pegawai negeri di Aceh. Ali mengalami perpindahan sekolah selama masa pendidikannya: dari sekolah dasar di Banda Aceh, madrasah tsanawiyah dan aliyah di Padang Panjang, kuliah di Perguruan Tinggi Islam di Padang, hingga akhirnya Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara di Medan. Sejak usia 16 tahun, Ali telah aktif terlibat dalam berbagai organisasi sosial-politik. Pada 1939, Ali menjadi Ketua Pemuda PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh), sebuah organisasi yang dipimpin oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh. Hal ini memberikan kesempatan baginya untuk sering bertemu dengan Daud Beureueh, seorang tokoh yang sangat ia kagumi.
Selain pada 1949, Ali Hasjmy juga pernah berhaji pada 1978. Kisah hajinya ia tuangkan dalam bukunya Surat-surat dari Tanah Suci. Pada 1949 ia ditugaskan untuk menjadi perwakilan Indonesia dalam Misi Haji Kedua. Misi tersebut dijalankan oleh enam orang, yakni Syekh H Abdul Hamid sebagai ketua, S R H Ameh Sjamsir, Mohammad Noer el-Ibrahimy, Prof. Abdulkahar Mudzakkir, Ali Hasjmy, dan Syekh Awab Syahbal, dan berhasil mencapai kemenangan besar dalam diplomasi, sebagaimana yang disebutkan oleh Ali Hasjmy dalam tulisannya berjudul “Naik Haji Sambil Melaksanakan Tugas Diplomasi”.
Misi Haji Kedua bertujuan untuk memanfaatkan musim haji sebagai kesempatan untuk bertemu dengan para pemimpin dunia Islam yang hadir di Makkah, serta mengunjungi negara-negara Islam lainnya. Tujuan misi ini meliputi penjelasan tentang perjalanan dan tahap-tahap perjuangan Republik Indonesia, memperkuat hubungan dengan Arab Saudi dan negara-negara Islam lainnya, menyampaikan kebijakan pemerintah, serta meningkatkan popularitas bangsa Indonesia di dunia Islam.
Diceritakan Ali Hasjmy dalam tulisan yang sama, bahwa mereka berangkat pada pertengahan bulan September ke Yogyakarta. Di sana, mereka bertemu dengan Presiden Sukarno, Menteri Sosial/Perhubungan Koesnan, Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim, Menteri Agama KH. Masykur, Panglima Jenderal Besar Sudirman, dan Bung Tomo. Kemudian, mereka kembali ke Jakarta dan kesulitan untuk menggunakan paspor Indonesia mengingat masih ada Belanda. Mereka berangkat dengan pesawat KLM milik Belanda pada 27 September 1949 dan tiba di Jeddah pada 30 September 1949. Kedatangan mereka pun disambut oleh HM Rasjidi selaku Duta Besar Indonesia dan beberapa tokoh Indonesia, serta wakil Kerajaan Arab Saudi
Pada kesempatan itu, para delegasi bukan saja berhaji, melainkan juga mengadakan sejumlah pertemuan dengan perwakilan pemerintah Arab Saudi, tokoh dari Palestina, Pakistan, Mesir, Turki, Suriah, Tiongkok, Iran, Yaman, wakil jemaah haji Indonesia, serta orang-orang Indonesia yang bermukim di Hijaz. Mereka juga sempat menghadap Raja Abdul Aziz bin Saud di Istana Mina dan Istana Makkah, yang kemudian memberikan berbagai fasilitas bagi mereka. Delegasi Misi Haji Indonesia juga mengabarkan berita kemerdekaan Indonesia melalui surat kabar dan radio.
Buya Hamka Memimpin Haji pada 1950
Pada 1950 Buya Hamka dipilih sebagai pemimpin jemaah haji. Pengalaman perjalanannya kemudian diabadikan dalam sebuah buku yang berjudul Mandi Cahaya di Tanah Suci yang diterbitkan pada 1951. Pada tanggal 16 Agustus 1950, Buya Hamka berangkat naik kapal Kota Baru dari Pelabuhan Tanjung Priok. Dia ditunjuk sebagai pemimpin jemaah haji oleh Majelis Pimpinan Haji (MPH), yang terdiri atas 970 orang.
Tahun 1950 merupakan tahun penting sebab kemerdekaan Indonesia telah diakui oleh bangsa-bangsa di seluruh dunia. Selain itu, ini juga merupakan tahun pertama pengelolaan haji dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, menandakan bahwa kebijakan terkait haji tidak lagi tergantung pada pemerintah kolonial.
Momen Hamka naik haji pada 1950 juga dinarasikan dalam buku Naik Haji pada Masa Silam. Salah satunya adalah saat Buya Hamka merenungkan ibadah wukuf. Ia mengamati bagaimana orang-orang dari berbagai negara berkumpul dengan pakaian yang serupa. Tidak ada perbedaan antara raja dan rakyat jelata dalam momen tersebut. Saat merenungkan acara wukuf, Hamka membahas tema-tema yang lazim ditemukan dalam buku-buku lain (bahwa wukuf menyerupai sebuah kongres Islam sedunia, pakaian ihram memiliki persamaan dengan kain kafan) serta juga tema baru yang menurutnya bangsa-bangsa di dunia bersifat sementara dan tergantung keadaan “Tidak ada kebangsaan! Kebangsaan hanya istilah di dalam hidup, menurut perhitungan zaman dan tempat.” Indonesia dulu terbagi atas sekian kerajaan, sekarang bersatu dalam sebuah negara, tetapi untuk berapa lama? “Akan tetapkah begitu?” Ini pertanyaan yang terasa sangat berani, apalagi tahun 1950.
Selain itu Hamka juga mendapat undangan resmi untuk menghadiri jamuan makan di Kerajaan Arab Saudi. Pada tanggal 8 Zulhijah, diadakan perjamuan di istana Arab Saudi. Hamka menggambarkan acara makan tersebut dengan kritik pedas dan ironi, terutama terhadap pujian yang berlebihan yang ditujukan kepada Raja Abdul Aziz. Menurut Hamka, hal ini tidak sesuai dengan tradisi dan sejarah bangsa Indonesia.
Kewajiban Hamka sebagai pemimpin jemaah hanya terbatas pada saat pelayaran di kapal dari Indonesia menuju pelabuhan di Jeddah. Setelah tiba di sana ia bebas melaksanakan ibadah haji sendiri. seluruh ibadahnya ia lakukan dengan tertib dan khidmat. Pada akhir kisah hajinya, Buya Hamka menggambarkan kebahagiaannya. Meskipun mengalami banyak kesulitan selama perjalanan haji, Hamka merasa sangat senang dapat menjalankan rukun Islam kelima tersebut.
“Pasir dan debunya telah tinggal, panas teriknya dan kesulitan di sana hanya tinggal dalam ingatan saja. Bekasnya yang abadi dari ibadahku telah turun ke dalam dasar jiwaku. Adapun susah, maka dari kecilku aku telah belajar susah. Kesusahan telah dikalahkan oleh nikmat cinta.” tulis Hamka.
Yunda Kania Alfiani
Penulis merupakan Relawan Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan
Referensi:
Dien Majid, M. 2008. Berhaji di masa kolonial. Jakarta: Sejahtera.
Laffan, Michael Francis., dkk,. 2003. Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: the Umma Below the Winds. London: RoutledgeCurzon.
Loir, Henri Chambert., dkk. 2013. Naik Haji di Masa Silam. Jakarta: KPG.
Zainal, Zainal. 2012. “Regulasi Haji Indonesia Dalam Tinjauan Sejarah.” Juris, vol. 11, no. 2.
Misi Diplomatik Haji di Masa Revolusi
Pegawai Pribumi Pertama yang Berhaji
Catatan Perjalanan Haji Nusantara
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini