Selama ini jamak diketahui bahwa bagian dari hewan, seperti kulit, dapat diolah menjadi sesuatu yang memiliki nilai guna. Contohnya, kulit sapi diolah menjadi “kerupuk kulit” yang salah satu khasiatnya sebagai obat diare; kulit buaya diolah dan dimodifikasi sehingga menghasilkan tas, sepatu, dan berbagai barang lainnya. Namun, tidak jarang juga kulit babi disamak menjadi sepatu, yang hukumnya masih diperselisihkan para ulama.
Hal tersebut menimbulkan berbagai pertanyaan di masyarakat mengenai hukum penggunaan barang yang menggunakan unsur babi, buaya, ataupun hewan lain yang haram hukumnya untuk dimakan. Apakah menyamak (menghilangkan kotoran) dapat menyucikan kulit dari hewan-hewan tersebut?
Jika merujuk pada pengertiannya, menurut Al-Khatib asy-Syarbini, dalam kitab Al-Mughni al-Muhtaj, yang dimaksud dengan menyamak adalah menghilangkan kotoran pada kulit, yang berbentuk cair dan basah, sehingga kulit itu akan rusak jika kedua bentuk kotoran tersebut masih ada.
Adapun mengenai hukum penggunaan kulit yang disamak, berdasarkan pengertian tersebut, para ulama berbeda pendapat tentang samak dan hukum yang berkaitan dengannya. Akan tetapi, mereka semua sepakat bahwa semua kulit bangkai bisa disamak, kecuali kulit babi yang memang sudah diharamkan dalam Al-Quran.
قُل لَّا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Katakanlah: Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, darah yang mengalir, atau daging babi — karena sesungguhnya semua itu kotor– atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun, Maha Penyayang” (QS. al-An’am [6]: 145).
وَجَدَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ شَاةً مَيِّتَةً أُعْطِيَتْهَا مَوْلَاةٌ لِمَيْمُونَةَ مِنَ الصَّدَقَةِ، فَقالَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: هَلَّا انْتَفَعْتُمْ بجِلْدِهَا؟ قالوا: إنَّهَا مَيْتَةٌ، قالَ: إنَّما حَرُمَ أكْلُهَا.
Dari Ibn Abbas ra ia berkata: Nabi saw. menemukan kambing yang merupakan sedekah kepada Maimunah dalam keadaan mati. Nabi saw bersabda: mengapa kalian tidak mengambil manfaat dengan kulitnya? Para sahabat menjawab: Kambing itu telah jadi bangkai. Kemudian Rasul saw pun menjawab: yang diharamkan adalah memakannya” (HR. Bukhari)
عن ابن عباس رضي الله عنهما قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إذا دُبِغ الإهابُ فقد طهُ؛
(أخرجه مسلم)
“Dari Ibn Abbas ra., bahwasannya Rasulullah saw. bersabda, Setiap kulit hewan yang disamak telah menjadi suci ” (HR. al-Turmudzi).
عن عائشة زوج النبي صلى الله عليه وسلم أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أمر أن يستمتع بجلود الميتة إذا دبغت.
Dari Aisyah, istri nabi saw, bahwasanya Rasulullah saw memerintahkan untuk mengambil manfaat terhadap kulit bangkai apabila telah disamak. (HR. Abu Dawud)
Sementara itu, mengenai samak kulit anjing, ada berbagai pendapat. Menurut Imam Syafi’i, kulit anjing tidak bisa disamak karena termasuk binatang yang najis. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Al Hadawiyah dari madzhab Maliki yang mengatakan bahwasannya samak tidak menyucikan bangkai. Berbeda dengan Az-Zuhri yang memperbolehkan memanfaatkan kulit bangkai meskipun belum disamak, termasuk kulit anjing.
Proses menyamak dalam hukum Islam disebut dengan Istihaalah, yakni berubahnya suatu benda dari tabiat dan sifatnya atau tidak adanya ketetapan pada benda tersebut. Sebagai contoh buah Aren, Allah telah menghalalkan bagi hamba-Nya segala sesuatu yg baik, termasuk buah aren. Namun, hukumnya berubah ketika buah buah aren ini difermentasikan menjadi arak, dari yang awalnya halal menjadi haram karena buah aren telah menjadi minuman memabukkan. Meski demikian, setelah proses fermentasi lainnya, arak yg dihasilkan dari buah aren ini berubah menjadi cuka yang tidak memabukkan. Ini menyebabkan hukumnya kembali ke hukum semula, yaitu halal.
Terdapat beberapa perbedaan pendapat mengenai hukum istihaalah. Mazhab Maliki dan Hanafi berpendapat bahwa istihaalah dapat mengubah hukum, misalnya mengubah najis menjadi tidak najis, sementara menurut mazhab Syafi’i dan Hanbali, istihaalah tidak mengubah hukum.
Wallahu a’lam bisshowab
Nurul Fitriani, Lc
Penulis merupakan lulusan Fakultas Syariah LIPIA, Jakarta. Ia aktif menerjemahkan buku-buku dan menulis tema keislaman seputar fikih dan sirah. Penulis juga merupakan staf Programme Associate Adara Relief International.
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini








