“Saya sepenuhnya terlibat di dalamnya, karena ini bukan hanya tentang Gaza, ini tentang kemanusiaan,” tegas Brahim Marzouk (64), pemimpin kontingen armada Prancis di Global Sumud Flotilla
Sejak 2 Maret 2025, Israel telah menutup seluruh jalur masuk ke Gaza, membuat ribuan truk bantuan tertahan di perbatasan, sedangkan 2,4 juta penduduk di Gaza menderita akibat kelaparan. Israel secara terang-terangan menunjukkan kepada dunia bahwa mereka menggunakan kelaparan sebagai senjata perang di Gaza. Hingga 2 September 2025, sebanyak 361 jiwa telah meninggal akibat kelaparan, termasuk 130 anak-anak. Saat ini kondisi Gaza menjadi semakin buruk dengan menyebarnya wabah influenza baru di tengah kelangkaan air bersih dan obat-obatan penting, serta terbatasnya tenaga medis akibat blokade. Kantor Media Pemerintah Gaza melaporkan bahwa saat ini ribuan orang telah terinfeksi di seluruh wilayah Gaza dan terdapat peningkatan harian, khususnya di kalangan anak-anak, lansia, dan penderita penyakit kronis.
Mengenal Global Sumud Flotilla, Gerakan Menembus Blokade Gaza Melalui Laut

Global Sumud Flotilla merupakan misi maritim terbesar ke Gaza, yang menyatukan lebih dari 50 kapal dan delegasi dari sedikitnya 44 negara di 6 benua. Menurut kelompok tersebut, para peserta tidak berafiliasi dengan pemerintah atau partai politik mana pun. Koalisi terdiri dari peserta dengan berbagai macam latar belakang, mencakup penyelenggara, pekerja kemanusiaan, dokter, seniman, pendeta, pengacara, dan pelaut, yang dipersatukan oleh keyakinan pada rasa kemanusiaan, kekuatan aksi tanpa kekerasan, dan tujuan yang sama: mengakhiri blokade ilegal Israel di Gaza melalui jalur laut, membuka koridor kemanusiaan dan mengakhiri genosida yang berlangsung, serta membawa bantuan dan pesan kuat bahwa “Blokade harus diakhiri.”
Misi ini diselenggarakan oleh empat koalisi utama, termasuk kelompok-kelompok yang sebelumnya telah berpartisipasi dalam upaya melalui jalur darat dan laut menuju Gaza:
- Global Movement to Gaza (GMTG) – Sebelumnya dikenal sebagai Global March to Gaza, adalah gerakan yang mengorganisasi aksi solidaritas global untuk mendukung Gaza dan mematahkan blokade.
- Freedom Flotilla Coalition (FFC) – Dengan 15 tahun pengalaman menjalankan misi laut, termasuk armada-armada sebelumnya seperti Madleen dan Handala, FFC berpartisipasi untuk memberikan saran langsung, panduan, dan dukungan operasional bagi upaya terkini untuk mematahkan blokade Gaza.
- Maghreb Sumud Flotilla – Sebelumnya dikenal sebagai Sumud Convoy, adalah sebuah gerakan inisiatif berbasis di Afrika Utara yang menjalankan misi solidaritas untuk memberikan bantuan dan dukungan kepada komunitas Palestina.
- Sumud Nusantara – Konvoi yang dipimpin Malaysia dan diikuti delapan negara lainnya, termasuk Indonesia, yang bertujuan untuk mendobrak blokade Gaza dan memupuk solidaritas antarnegara di belahan bumi selatan.
Secara kolektif, gerakan-gerakan ini akan membentuk armada sipil terkoordinasi terbesar dalam sejarah.
Dalam jumpa pers dari Placa del Rei di Barcelona pada 31 Agustus, aktivis Saif Abukeshek mengatakan jumlah pasti peserta akan dilaporkan pada waktu mendatang dan rincian pelabuhan. Ia juga menyampaikan bahwa identitas beberapa kapal yang berpartisipasi telah dirahasiakan karena alasan keamanan. Kelompok tersebut memperkirakan armada akan memakan waktu antara tujuh atau delapan hari untuk menempuh perjalanan sekitar 3.000 km (1.620 mil laut) ke Gaza.
Perjalanan ini adalah aksi besar yang melibatkan banyak orang, sehingga koordinasi yang baik sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Oleh sebab itu, dibentuklah panitia pengarah yang mencakup tokoh-tokoh terkemuka seperti aktivis Swedia Greta Thunberg, sejarawan Kleoniki Alexopoulou, aktivis hak asasi manusia Yasemin Acar, sosioenvironmentalis Thiago Avila, ilmuwan politik dan pengacara Melanie Schweizer, ilmuwan sosial Karen Moynihan, fisikawan Maria Elena Delia, aktivis Palestina Saif Abukeshek, tokoh kemanusiaan Muhammad Nadir al-Nuri, aktivis Marouan Ben Guettaia, aktivis Wael Nawar, aktivis dan peneliti sosial Hayfa Mansouri, dan aktivis hak asasi manusia Torkia Chaibi.
Global Sumud Flotilla akan menjadi “upaya terbesar yang pernah ada untuk mematahkan blokade ilegal Israel atas Gaza”, ungkap aktivis Swedia Greta Thunberg, dalam konferensi pers di Barcelona sebelum keberangkatan tanggal 31 Agustus. “Pertanyaan hari ini bukanlah mengapa kita berlayar. Kisah ini sama sekali bukan tentang misi yang akan kita mulai. Kisah ini adalah tentang Palestina – tentang bagaimana hak-hak sebuah bangsa sengaja dirampas dari sumber daya paling mendasar untuk bertahan hidup. Dan kisah ini juga tentang bagaimana dunia bisa memilih untuk diam.”
Rangkaian Perjalanan Panjang dalam Misi Kemanusiaan Menuju Gaza

(Al Jazeera)
Sejak 2007, Israel telah mengontrol ketat wilayah udara dan perairan teritorial Gaza, membatasi pergerakan barang dan manusia yang hendak memasuki Gaza. Bahkan jauh sebelum genosida, Gaza tidak memiliki bandara yang berfungsi setelah Israel mengebom dan menghancurkan Bandara Internasional Yasser Arafat pada 2001, hanya tiga tahun setelah dibuka. Mengetahui bahwa melakukan perjalanan menuju Gaza melalui jalur udara tidak memungkinkan, sedangkan melalui jalur darat juga pernah menghadapi kegagalan, maka Global Sumud Flotilla dibentuk untuk mengirimkan bantuan dan menghadapi blokade Israel melalui jalur laut.
Sebelum Global Sumud Flotilla berlayar, beberapa kapal dari Freedom Flotilla Coalition (FFC) juga pernah berupaya menembus blokade Gaza. Pada 2008, dua kapal dari Free Gaza Movement berhasil mencapai Gaza, menandai keberhasilan pertama yang menembus blokade laut Israel. Gerakan ini, yang didirikan pada 2006 oleh para aktivis selama agresi Israel di Lebanon, kemudian meluncurkan 31 kapal antara tahun 2008 dan 2016, lima di antaranya mencapai Gaza meskipun ada pembatasan ketat dari Israel.
Namun sejak 2010, semua armada yang berupaya menembus blokade Gaza selalu dicegat atau diserang oleh Israel di perairan internasional. Pada 2010, pasukan komando Israel menyerbu kapal Mavi Marmara di perairan internasional yang membawa bantuan kemanusiaan dan lebih dari 600 penumpang. Serangan tersebut menyebabkan 10 aktivis gugur dan melukai puluhan lainnya, sehingga memicu kecaman dari dunia global. Akan tetapi, perjuangan tidak berhenti begitu saja.
Freedom Flotilla II kemudian diluncurkan pada 2011 sebagai tindak lanjut dari misi tahun 2010. Dikoordinasi oleh koalisi aktivis dan LSM internasional, misi ini bertujuan untuk menembus blokade Israel di Gaza dan mengirimkan bantuan kemanusiaan. Lima tahun setelahnya, Freedom Flotilla III diluncurkan pada 2015 sebagai upaya besar ketiga oleh aktivis internasional untuk menerobos blokade laut Israel di Gaza. Misi yang dikelola oleh FFC ini melibatkan beberapa kapal, dipimpin kapal Marianne dari Gothenburg yang berbendera Swedia.

Pada 2018, dibentuklah Just Future for Palestine Flotilla – juga dikenal sebagai Gaza Freedom Flotilla. Armada ini merupakan bagian dari upaya berkelanjutan FFC untuk menantang blokade laut Israel terhadap Gaza. Tahun ini, kapal Conscience berlayar ke Gaza pada Mei 2025. Namun, saat bersiap berlayar ke Gaza, Conscience diserang dua kali oleh pesawat nirawak bersenjata, hanya 14 mil laut (25 km) dari lepas pantai Malta. Serangan tersebut memicu kebakaran dan menyebabkan kebocoran signifikan pada lambung kapal, memaksa 30 aktivis Turki dan Azerbaijan di dalamnya untuk berusaha keras menimba air dan menjaga kapal agar tetap mengapung.
Di antara kapal yang baru-baru ini diberangkatkan ke Gaza adalah Madleen, yang diluncurkan oleh Freedom Flotilla Coalition pada 9 Juni 2025. Sayangnya, kapal yang membawa misi kemanusiaan ini dicegat oleh militer Israel sekitar 185 km (100 mil laut) dari Gaza, di perairan internasional. Namun, misi tersebut tidak berhenti. Kapal dengan nama Handala melanjutkan perjuangan menuju Gaza dan berangkat pada Juli 2025. Nahas, nasibnya tak jauh berbeda dari Madleen, sebab pada 26 Juli, pasukan Israel menyerbu kapal tersebut.
Ancaman Israel Mengintai Global Sumud Flotilla

(Al Jazeera)
Aksi kemanusiaan yang besar dan melibatkan banyak tokoh terkemuka dunia bukan berarti akan bebas dari hambatan. Sebaliknya, misi ini sejak awal bahkan sudah mendapat ancaman dari Israel. Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben-Gvir, dilaporkan telah menyiapkan rencana kekerasan baru untuk menyerang Global Sumud Flotilla, armada solidaritas Gaza terbesar yang pernah dikonsolidasikan.
Menurut Israel Hayom, Ben-Gvir ingin mengambil langkah lebih jauh dari sekadar penangkapan dan deportasi terhadap para aktivis yang terlibat dalam Global Sumud Flotilla. Rencana tersebut ia sampaikan kepada Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan para pejabat keamanan pada 31 Agustus, ketika armada berangkat dari Spanyol. Ia mendorong “rencana pencegahan” yang bertujuan untuk menghukum para aktivis damai.
Usulan yang disampaikan oleh Ben-Gvir mencakup pemenjaraan peserta konvoi di bawah kondisi yang sama beratnya dengan warga Palestina yang dituduh melakukan “terorisme”. Para pria akan dikirim ke penjara Ketziot dan perempuan ke penjara Damon. Setelah itu, Israel akan memutus akses terhadap televisi, radio, atau makanan yang layak untuk para tawanan. Penahanan tersebut juga dikatakan akan berlangsung lebih lama daripada penangkapan armada sebelumnya.
Israel bermaksud membenarkan tindakan kejahatan mereka dengan melabeli para aktivis sebagai pelanggar “wilayah militer tertutup”. Para pejabat Israel juga berencana menyusun berkas-berkas yang memberatkan para aktivis, menuduh mereka terkait dengan ‘terorisme’ berdasarkan foto-foto dan asosiasi mereka pada masa lalu. Langkah selanjutnya adalah menyita kapal-kapal armada dan mengubahnya menjadi armada polisi.
Ben-Gvir berpendapat bahwa “perlakuan lunak” sebelumnya terhadap kapal-kapal Freedom Flotilla telah gagal menghentikan mereka. Strategi ini menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya aksi kekerasan di laut. Israel Hayom mengklaim bahwa para aktivis “dapat menantang Israel tidak hanya secara politik tetapi juga secara militer.” Narasi ini biasanya digunakan oleh Israel sebagai dalih pembenaran untuk menyerang kapal-kapal yang berlayar dengan damai dalam misi kemanusiaan.
Selain dari ancaman Israel, Global Sumud Flotilla juga mengalami kendala cuaca. Pada 31 Agustus 2025 sore hari, sekitar 15 kapal meninggalkan Barcelona, Spanyol, namun kapal-kapal tersebut terpaksa kembali karena cuaca buruk di laut. Setelah menghabiskan malam di pelabuhan, lebih banyak bantuan kemanusiaan dimuat ke dalam kapal. Armada kemanusiaan kembali berlayar pada 1 September 2025 sekitar pukul 18.30 (16:30 GMT).
Namun, cuaca buruk yang mengganggu pada awal perjalanan Global Sumud Flotilla masih berlanjut hingga Selasa pagi, membuat beberapa relawan di kapal Alma–salah satu kapal dari armada–mabuk laut. Karena kelelahan, para relawan mencari tempat istirahat di sudut kapal mana pun yang mereka bisa, bahkan di lantai kapal, yang memang tidak dirancang untuk mengangkut begitu banyak penumpang.
Panitia armada kemudian memeriksa kerusakan setelah cuaca buruk, dan menginstruksikan kapal-kapal untuk menyusun kembali rute pelayaran. Beberapa kapal mengalami kerusakan, tetapi dikabarkan masih dapat berlayar. Mereka tidak mengetahui bahwa ancaman lain tengah mengintai. Ketika kegelapan malam mulai menyelimuti dan hari berganti, alarm kapal Alma berbunyi. Semua orang bergegas menuju dek dan mengenakan jaket pelampung mereka.
Saat itulah para relawan di kapal Alma menyaksikan dua drone melayang di atas kapal. Hasil komunikasi dari kapal lain juga melaporkan hal yang sama. Ketika lampu kapal dimatikan, kerlip lampu drone terlihat melayang di atas kapal, sebelum akhirnya menghilang, membuat orang-orang di Alma terdiam dan waspada. Hingga saat ini, belum ada informasi lebih lanjut mengenai siapa pihak yang mengirim drone tersebut dan apa tujuan mereka mengintai kapal-kapal Global Sumud Flotilla.
Pada 8 September 2025, pesawat nirawak (drone) Israel menyerang salah satu kapal armada Global Sumud Flotilla (GSF) yang tengah bersandar di Pelabuhan Sidi Bousaid, Tunisia. Kapal yang diserang tersebut bernama “Family Boat” yang merupakan salah satu kapal utama yang membawa para pengarah GSF termasuk Greta Thunberg. Serangan yang terjadi pada pukul 23.31 waktu setempat tersebut tidak menimbulkan korban jiwa, sebab Greta dan rekan-rekannya telah menepi di pelabuhan beberapa jam sebelumnya.
Dalam rilis resminya, GSF mengonfirmasi penyerangan tersebut dan melaporkan bahwa seluruh penumpang dalam keadaan aman. “Kapal ini berlayar dengan bendera Portugis, semua kru dan penumpang selamat,” ungkap GSF. GSF menambahkan, kobaran api yang disebabkan oleh ledakan tersebut mengakibatkan kerusakan di dek utama dan ruang penyimpanan. “Saat ini investigasi tengah dilakukan secara menyeluruh. Ketika sudah ada informasi lebih lanjut akan segera dirilis.”

Israel sendiri telah menyatakan tidak akan mengizinkan kapal-kapal GSF mencapai Gaza, setelah sebelumnya menggagalkan upaya serupa pada Juni dan Juli. Selain serangan, Israel menuntut agar seluruh kapal merapat ke Pelabuhan Ashkelon untuk menyalurkan bantuan melalui jalurnya. Namun, penyelenggara flotilla menolak tuntutan itu dan menyebutnya sebagai bagian dari blokade berkepanjangan yang justru menghalangi aliran bantuan.
Sehari setelah insiden penyerangan “Family Boat”, pakar hak asasi manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 9 September 2025 mendesak Israel agar menghentikan ancaman terhadap Global Sumud Flotilla dan memastikan misi para relawan untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza dapat berjalan tanpa hambatan.
Mereka menegaskan bahwa setiap upaya untuk menghalangi armada kapal tersebut merupakan pelanggaran serius terhadap hukum internasional dan prinsip-prinsip kemanusiaan. Menurut para pakar, misi ini lahir akibat kegagalan komunitas internasional mengakhiri blokade Israel atas Gaza, yang mereka sebut sebagai tindakan ilegal dan bencana kemanusiaan.
“Para aktivis sipil tidak akan terpaksa mempertaruhkan nyawa di laut jika Majelis Umum atau Dewan Keamanan PBB mengambil langkah tegas untuk menjamin penyaluran bantuan ke Gaza secara aman dan tanpa halangan,” demikian mereka menegaskan dalam sebuah pernyataan.
Selain serangan Israel, cuaca ekstrem telah menyebabkan sejumlah kapal mengalami kerusakan sehingga perjalanan harus ditunda demi keselamatan peserta. Setelah menanti cukup lama, kapal Global Sumud Flotilla berangkat menuju Gaza secara bertahap pada 16 September 2025. Sebanyak 26 kapal berangkat dari Tunis, dengan sebagian telah berlayar dari Barcelona lalu bergabung dengan kapal tambahan dari Tunis. Badai yang dialami rombongan Barcelona menyebabkan banyak kapal rusak dan tak siap diberangkatkan ke Gaza, sehingga jumlah kapal berkurang banyak ketimbang jumlah awalnya. Sementara itu, 18 kapal berlayar dari Italia, dan 6 kapal berlayar dari Yunani. Kapal ini nantinya akan bertemu di titik kumpul Laut Mediterania, sebelum melanjutkan pelayaran menuju Gaza.
Pada 17 September 2025, Menteri Luar Negeri dari 16 negara; Bangladesh, Brasil, Kolombia, Indonesia, Irlandia, Libya, Malaysia, Maladewa, Meksiko, Pakistan, Qatar, Oman, Slovenia, Afrika Selatan, Spanyol, dan Turki memperingatkan konsekuensi atas serangan apa pun terhadap Global Sumud Flotilla—inisiatif masyarakat sipil yang melibatkan partisipasi warga negara masing-masing.
Dilansir dari portal Kementerian Luar Negeri Indonesia: “Global Sumud Flotilla telah menyampaikan tujuannya untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza, serta meningkatkan kesadaran mengenai kebutuhan kemanusiaan yang mendesak bagi rakyat Palestina, sekaligus mendesak dihentikannya genosida di Gaza. Kedua tujuan tersebut—perdamaian dan penyaluran bantuan kemanusiaan, serta penghormatan pada hukum internasional, termasuk hukum humaniter, merupakan komitmen yang juga dipegang oleh Pemerintah kami.”
“Oleh karena itu, kami menyerukan kepada semua pihak untuk menahan diri dari segala tindakan melawan hukum atau kekerasan terhadap Flotilla, serta menghormati hukum internasional dan hukum humaniter internasional. Kami menegaskan kembali bahwa setiap pelanggaran terhadap hukum internasional dan hak asasi manusia para peserta (konvoi) Flotilla, termasuk serangan terhadap kapal di perairan internasional atau penahanan yang melanggar hukum, akan menimbulkan permintaan pertanggungjawaban.”
Akan tetapi, perjalanan panjang ini masih dihantui oleh sejumlah ancaman. Pada 26 September 2025, Armada Global Sumud Flotilla yang membawa bantuan kemanusiaan menuju Gaza kembali menghadapi serangan dan tekanan dari Israel. Organisasi penyelenggara melaporkan adanya ledakan, komunikasi yang terganggu, serta lebih dari 15 drone menjatuhkan benda tak dikenal ke sejumlah kapal saat mereka berlayar di lepas pantai Yunani. Video yang diunggah aktivis menunjukkan ledakan di salah satu kapal, sementara aktivis asal Jerman, Yasemin Acar, menegaskan bahwa mereka hanya membawa bantuan kemanusiaan dan tidak memiliki senjata. Meski begitu, kapal-kapal tetap terus berlayar, dengan harapan kali ini akan berhasil mencapai misi kemanusiaan: mengakhiri blokade Gaza.
Pada 30 September 2025, Global Sumud Flotilla mengumumkan bahwa kapal-kapalnya telah berada kurang dari 150 mil laut (277 kilometer) dari Jalur Gaza. David Adler, salah satu aktivis di armada, memperkirakan bahwa armada akan tiba pada 1 atau 2 Oktober 2025, tepat pada peringatan Hari Raya Yahudi Yom Kippur, karena berlayar di sekitar 5-6 knot dan melakukan perjalanan sekitar 100 mil sehari. “Hanya 144 mil laut yang tersisa. Kami memasuki zona berisiko tinggi 6 mil yang lalu,” kata Wael Naouar, juru bicara Maghreb Flotilla. “Jumlah drone di atas kapal kami telah berlipat ganda, dan gangguan internet dan radio lebih besar dari biasanya. Kami semua siap untuk saat intersepsi, baik malam ini atau besok,” tambah Naouar. Seorang aktivis Turki, Muhammed Salih, yang berlayar di atas kapal Adagio, melaporkan bahwa kapal Angkatan Laut Israel telah terdeteksi 80 kilometer (50 mil) di dekat kapal-kapal Global Sumud Flotilla. “Keselamatan kami tergantung pada dunia yang menyaksikan,” ungkap Salih.
Adara Mewakili Indonesia Turut Mendukung Perjalanan Menembus Gaza

Global Sumud Flotilla adalah perjalanan kemanusiaan yang melibatkan puluhan negara, tak terkecuali Indonesia. Bersama para aktivis lainnya dari Indonesia, Adara mengirimkan dua perwakilan untuk membersamai misi mengakhiri blokade Gaza ini. Maryam Rachmayani selaku Direktur Utama dan Latifah Hariawati selaku Direktur Program dan Penyaluran Adara akan ikut serta dalam pemberangkatan di Tunisia bersama puluhan kapal Global Sumud Flotilla lainnya.
Sebelum keberangkatan menuju Tunisia pada 30 Agustus 2025, Maryam telah bertolak ke Kuala Lumpur pada 24 Agustus untuk menghadiri pelepasan Sumud Nusantara. Pelepasan ini diresmikan langsung oleh Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim. Dalam sambutannya, ia menegaskan bahwa, “Seperti Indonesia yang telah merdeka dari Belanda, dan Malaysia yang merdeka dari Inggris, maka Palestina juga bisa merdeka dari penjajahan.”
Kemudian dalam pelepasan rombongan di Bandung pada 27 Agustus 2025, Ustadz Husein sebagai pimpinan Indonesia Global Peace Convoy menjelaskan bahwa pergerakan ini akan dimulai pada 4 September menuju dermaga Tunisia setelah sebelumnya melaksanakan pelatihan. Ia menjelaskan sejauh ini tim Indonesia telah menyiapkan 8 kapal—menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan penyumbang kapal terbanyak.

Pada 31 Agustus 2025, perwakilan Adara dilaporkan telah tiba di Bandara Carthage, Tunisia. Bersama puluhan delegasi Indonesia lainnya, Adara mengikuti agenda utama di Tunisia, yaitu mengikuti pelatihan selama lima hari sebelum berlayar menuju perairan Gaza. “Kami berangkat membawa nama baik Indonesia. Kami mohon dukungan pemerintah Indonesia agar kami dapat mencapai tujuan. Jikapun terjadi sesuatu, kami berharap pemerintah memberikan bantuan diplomasi bagi kami. Mohon doa agar rombongan Indonesia berhasil membuka blokade Gaza, sehingga jalur bantuan dapat terbuka dan makanan, obat-obatan, serta air bersih bisa masuk,” ujar Maryam.
Latifah menyatakan bahwa, “Kami akan bertolak menuju Tunisia untuk bergabung dengan rombongan kapal-kapal dari Barcelona, Spanyol, dan Italia untuk menuju perairan Gaza. Segala upaya telah kita lakukan, lewat darat, udara, hari ini kita akan mencoba melalui jalur laut bersama tim Global Flotilla dari Eropa,” Latifah juga menambahkan, “Kita bicara pahitnya, kalaulah terjadi sesuatu, satu hal yang jelas, kami telah menunaikan amanah ini, semoga ini menjadi penggugur kifayah umat.”
Akan tetapi, setelah hampir dua pekan menanti kabar keberangkatan menuju Gaza, pada 12 September 2025, delegasi Indonesia memutuskan untuk memberikan kuotanya untuk delegasi dari negara lain. Selama hampir dua pekan di Tunisia, peserta Global Peace Convoy (GPC) dari Indonesia aktif mengikuti pelatihan serta menyiapkan berbagai hal untuk pelayaran, namun ternyata misi kemanusiaan ini menghadapi sejumlah kendala.
Selama berada di Tunisia, berbagai masalah yang kompleks telah menjadi pertimbangan bagi para delegasi untuk melanjutkan perjalanan panjang ini. Mulai dari kendala teknis kapal yang belum layak berlayar jauh ditambah cuaca ekstrem yang menyebabkan kerusakan pada kapal, membuat jumlah kapal yang siap layar berkurang banyak. Oleh sebab itu, Steering Committee Global Sumud Flotilla (SC GSF) memutuskan untuk mengurangi jumlah peserta sesuai dengan ketersediaan kapal yang layak untuk berlayar jauh.
Sikap GPC Indonesia mendapat pujian dari Steering Committee Global Sumud Flotilla sebagai bentuk sikap kontingen relawan yang memahami misi GSF. “Delegasi Indonesia merupakan contoh baik tentang pemahaman masyarakat terhadap misi ini. Mereka memberikan kontribusi finansial yang besar dan berkampanye di dalam dan luar negeri untuk menyukseskannya dan menyumbangkan 30 kuota mereka untuk memberi tempat bagi semua orang.’ tulis Melanie Schweizer dalam pernyataan SC GSF.
Sebagai respon atas keputusan GPC, Maryam Rachmayani, Direktur Utama Adara Relief International, mengaku merasa sedih karena gagal berangkat, namun beliau menegaskan bahwa kita masih bisa terus bergerak dari Indonesia. “Jika ditanya apakah sedih? Jawabannya pasti. Tapi kita sudah siap berangkat dengan segala kemungkinan termasuk gagal berangkat“.
Maryam melanjutkan, “Hal ini mengingatkan saya pada perjalanan di tahun 2009 menuju Gaza. Kondisinya persis seperti ini, 5 hari di Kairo tanpa kepastian, esok, esok, esok. Kemudian kembali menunggu di Al Arish 5 hari dan pada akhirnya gagal masuk”. “Tapi Alhamdulillah, kegagalan kita membuahkan hasil. Dengan mudahnya kita bisa masuk pada 2012. Jadi ketidakikutsertaan kita di dalam kapal bukan berarti misi ini selesai. Justru masih banyak yang harus kita lakukan“.
Meski perwakilan Adara belum bisa membersamai misi kemanusiaan ini secara fisik, namun Adara tetap memberikan dukungan untuk delegasi yang ikut berlayar. Pada 16 September 2025, delegasi Adara melepas Wanda Hamidah dan Muhammad Husein sebagai perwakilan dari Indonesia Peace Convoy yang berlayar menuju Gaza. Wanda Hamidah menjadi satu-satunya perempuan perwakilan dari Indonesia yang akan menembus blokade Gaza. Setelah penantian panjang, perempuan tangguh Indonesia ini akhirnya berhasil masuk ke dalam tim yang akan berlayar di hari terakhir, di kapal terakhir yang akan berangkat.

Melalui Indonesia Global Peace Convoy, koalisi Indonesia untuk Global Sumud Flotilla, Adara juga telah menyalurkan dana patungan dari Sahabat Adara, bersama dengan 23 lembaga kemanusiaan Indonesia lainnya. Dana patungan ini digunakan untuk membeli kapal, kebutuhan logistik pelayaran, serta bantuan kemanusiaan yang akan disalurkan untuk masyarakat Gaza.
Indonesia memberangkatkan 5 kapal: Marinette yang telah memulai pelayaran dari Barcelona, MiaMia dan Meteque berlayar dari Tunisia, Nights of London dari Yunani, serta Seulle dari Italia. Nama-nama ini merupakan nama kapal Indonesia yang tercatat di tracker Global Sumud Flotilla.
“Hakikatnya, misi ini bertujuan untuk memecah keheningan dunia, serta membuka blokade Gaza dan menyalurkan bantuan kemanusiaan. Meskipun kapal kita belum sampai di Gaza, namun misi ini telah berhasil mendobrak dunia. Kini, semua mata media telah tertuju ke Palestina,” tegas Maryam Rachmayani.
Di Laut Maupun di Darat, Semua Orang Bisa Melakukan Sesuatu untuk Gaza

Pada 30 Agustus 2025, para pekerja pelabuhan dari Genoa, Italia, dilaporkan mengeluarkan ancaman keras kepada Israel jika mereka berani mencoba mencegat armada tersebut, seperti yang telah mereka lakukan terhadap armada-armada sebelumnya. “Sekitar pertengahan September, kapal-kapal ini akan tiba di dekat pantai Gaza. Jika kami kehilangan kontak dengan kapal-kapal kami, dengan rekan-rekan kami, bahkan hanya 20 menit saja, kami akan menutup seluruh Eropa,” ujar seorang pekerja dermaga yang tidak disebutkan namanya. “Dari wilayah ini, 13.000 hingga 14.000 kontainer dikirim setiap tahun ke Israel, tidak akan ada satu pun yang dikirim lagi,” tambahnya.
Pernyataan tegas yang dilontarkan oleh pekerja pelabuhan di Italia tersebut telah mengobarkan semangat seluruh pendukung Palestina. Mungkin banyak orang yang ingin ikut berlayar menuju Gaza, namun keadaan tidak memungkinkan. Meski demikian, hal tersebut tidak menjadi alasan untuk diam dan menolak untuk peduli terhadap saudara-saudara kita yang terancam oleh genosida di Gaza.
Semua orang bisa bergerak, termasuk kita, masyarakat yang belum bisa ikut berlayar. Kita bisa membantu dengan terus mengikuti perkembangan perjalanan Global Sumud Flotilla, terus bersuara untuk menyebarkan kondisi Gaza, dan memboikot produk-produk yang terafiliasi dengan Israel. Selain itu, kita juga dapat mengirimkan donasi untuk membeli kapal dan bantuan-bantuan kemanusiaan yang dibawa oleh Global Sumud Flotilla. Tidak ada satu pun tindakan yang sia-sia, sebab seluruh upaya yang kita lakukan semuanya bermakna, baik di laut maupun di darat.
Salsabila Safitri, S.Hum.
Penulis merupakan Relawan Departemen Penelitian dan Pengembangan Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana jurusan Sastra Arab, FIB UI dan saat ini sedang menempuh pendidikan magister di program studi linguistik, FIB UI.
Sumber:
Adara Relief International
Al Jazeera
Anadolu Agency
Global Sumud Flotilla
Middle East Eye
Palestine Chronicle
Reuters
The Guardian
Quds News Network
Wafa