Gaza menjadi rumah bagi puluhan ribu anak yang berjalan tanpa alas kaki, di antara puing-puing bangunan dan kenangan pahit kehilangan orang tua. Mereka adalah anak-anak yatim yang tumbuh di tengah dentuman bom, tetapi masih memeluk harapan untuk hidup seperti anak-anak di belahan dunia lainnya —bermain, belajar, dan berupaya untuk tersenyum dengan tanpa rasa takut.
Namun, di balik senyum kecil yang mereka pertahankan, tersimpan kerinduan akan pelukan hangat dan rasa aman yang telah lama hilang. Puluhan ribu anak ini terus menggenggam harapan bahwa suatu hari kehidupan mereka bisa diperbaiki. Di tanah yang hancur lebur akibat genosida, harapan itu tetap tumbuh —rapuh, namun tak pernah padam.
Momen gencatan senjata di Gaza baru saja diumumkan pada 10 Oktober yang lalu. Seluruh penduduk berharap besar atas momen ini untuk dapat memberi sedikit ruang bagi nafas kehidupan mereka, termasuk anak-anak yatim yang mencoba kembali ke rumah mereka. Terdapat secercah kelegaan di setiap sudut mata mereka saat menyaksikan kondisi Gaza telah mencapai gencatan senjata, meski serangan Israel masih terus berjalan. Bagi mereka, genosida yang melanda Gaza selama dua tahun terakhir bukan hanya menyingkap tabir tentang rapuhnya kehidupan, namun juga menunjukkan betapa kuatnya tekad untuk bertahan.
Kelegaan yang hadir saat kesepakatan gencatan senjata mulai diterapkan ini juga menjadi harapan bagi tim kemanusiaan Adara di lapangan. Mereka sangat berharap bahwa momen ini dapat menjadi kesempatan untuk membangun kembali harapan anak-anak yatim Adara, di tengah luka yang terkoyak. Meskipun demikian, situasi di Gaza masih tidak menentu, sehingga ketidakpastian ini menjadi bayang-bayang yang menghantui. Tim lapangan harus mengerahkan upayanya semaksimal mungkin untuk menjangkau anak-anak yatim yang terpencar di sepanjang jalur Gaza.
Baca selengkapnya Meski Sepakati Tahap Pertama Gencatan Senjata, Namun Serangan Israel ke Gaza Masih Berlanjut
“Di tengah kondisi kemanusiaan yang semakin memburuk di Jalur Gaza, menjangkau anak-anak yatim menjadi tugas yang sulit bagi kami,” ungkap Baseel, salah satu anggota tim kemanusiaan Adara di lapangan.
Hingga saat ini, tercatat sebanyak 1.948 anak yatim telah menerima bantuan Adara untuk pemenuhan kebutuhan harian mereka. Namun, lebih dari 72 anak di antaranya belum dapat dihubungi akibat perpindahan yang terus terjadi atau pergantian wali setelah syahidnya salah satu anggota keluarga mereka. Selain itu, terdapat 12 anak yatim yang meninggalkan Jalur Gaza untuk mencari tempat yang lebih aman ataupun menjalani pengobatan. Sementara itu, 30 anak yatim lainnya belum dapat dijangkau sama sekali karena tidak adanya nomor kontak maupun alamat yang dapat dikunjungi.
“Kami melakukan komunikasi setiap hari dan kami mengikuti setiap petunjuk yang ada. Akan tetapi, pengungsian besar-besaran dan kehilangan yang terus menerus membuat kami kehilangan jejak,” sambung Baseel dalam laporan yang disampaikannya pada Adara.
Kondisi Umum Anak-Anak Yatim Adara di Gaza
Agresi yang berlangsung selama lebih dari dua tahun telah memperburuk kondisi anak-anak yatim di Gaza. Salah satu dampak terparah terlihat pada sektor kesehatan, yang runtuh akibat terbatasnya fasilitas medis, obat-obatan, dan tenaga kesehatan. Anak-anak yatim harus berjuang keras menghadapi kondisi ini, terutama bagi mereka yang memiliki penyakit kronis atau luka akibat serangan.
Dari sisi psikologis, sebagian besar anak yatim mengalami gangguan mental berat akibat agresi yang berkepanjangan. Ketakutan, kecemasan, dan mimpi buruk menjadi bagian dari keseharian mereka. Trauma kehilangan orang tua dan pengalaman menyaksikan kekerasan secara langsung meninggalkan luka mendalam yang sulit terpulihkan.
Sementara dari sisi fisik, tidak sedikit dari mereka yang menderita malnutrisi akut. Kelaparan yang mencekik, ditambah sulitnya akses terhadap bahan pangan, membuat tubuh anak-anak melemah dan rentan terhadap penyakit. Namun, situasi yang serba terbatas ini tidak membuat anak-anak yatim di Gaza menyerah. Mereka tetap berjuang untuk bertahan, menanti datangnya hari di mana mereka bisa hidup dengan layak, sehat, dan aman seperti anak-anak lainnya di dunia.
Selain itu, kondisi kehidupan yang anak yatim jalani di kamp pengungsian atau rumah-rumah sewa mereka menjadi begitu sulit. Di tengah statusnya sebagai seorang pengungsi, anak-anak yatim di Gaza hidup dalam lingkungan yang jauh dari kata layak, tidak ada syarat minimum kebersihan dan privasi. Terpaksa mereka hidup berdampingan dan berbagi tempat dengan pengungsi lainnya, yang bukan bagian dari keluarga mereka. Itulah pengalaman terpahit yang mereka lalui sebagai seorang pengungsi di Gaza.
Menghidupkan Kembali Harapan Anak Yatim Gaza
Sahabat Adara, alhamdulillah, program Dekap Yatim Palestina (DYP) masih terus berjalan hingga detik ini. Program ini menjadi salah satu gerbang untuk membantu menyejahterahkan kehidupan anak-anak yatim yang jauh dari kata layak. Bantuan setiap bulan dari Sahabat memberikan porsi dalam memenuhi sebagian kebutuhan primer yang harus mereka penuhi—kebutuhan pangan, pakaian, dan obat-obatan.
Di tengah momen gencatan senjata, bantuan dari Sahabat memberikan ruang bagi tim kemanusiaan untuk memaksimalkan setiap kerja kerasnya. Meski menghadapi berbagai tantangan, mulai dari keterbatasan komunikasi hingga keamanan yang tidak menentu, tim kemanusiaan Adara di Gaza tetap berupaya semaksimal mungkin untuk memastikan setiap anak asuh agar tetap dalam pemantauan. Melalui jaringan mitra lokal dan relawan di berbagai wilayah Gaza, tim terus mencari cara agar amanah dari Sahabat tetap dapat tersampaikan dengan tepat sasaran.
“Untuk memastikan bahwa bantuan sampai kepada anak-anak yatim kita di Gaza, kami mengandalkan metode pengiriman yang aman dan andal, baik secara tunai ketika media elektronik tidak tersedia, ataupun melalui e-wallet yang tersedia bagi keluarga para yatim. Hal ini bertujuan agar memastikan dana tetap terjaga. Bantuan bukan hanya sekadar sejumlah uang, melainkan pesan seumur hidup.” Tutup Baseel dalam laporannya terkait kondisi anak yatim Adara di Gaza.








