• Profil Adara
  • Komunitas Adara
  • FAQ
  • Indonesian
  • English
  • Arabic
Senin, September 29, 2025
No Result
View All Result
Donasi Sekarang
Adara Relief International
  • Home
  • Tentang Kami
    • Profil Adara
    • Komunitas Adara
  • Program
    • Penyaluran
      • Adara for Palestine
      • Adara for Indonesia
    • Satu Rumah Satu Aqsa
  • Aktivitas
    • Event
    • Kegiatan
    • Siaran Pers
  • Berita Kemanusiaan
    • Anak
    • Perempuan
    • Al-Aqsa
    • Pendidikan
    • Kesehatan
    • Hukum dan HAM
    • Seni Budaya
    • Sosial EKonomi
    • Hubungan Internasional dan Politik
  • Artikel
    • Sorotan
    • Syariah
    • Biografi
    • Jelajah
    • Tema Populer
  • Publikasi
    • Adara Palestine Situation Report
    • Adara Policy Brief
    • Adara Humanitarian Report
    • AdaStory
    • Adara for Kids
    • Distribution Report
    • Palestina dalam Gambar
  • Home
  • Tentang Kami
    • Profil Adara
    • Komunitas Adara
  • Program
    • Penyaluran
      • Adara for Palestine
      • Adara for Indonesia
    • Satu Rumah Satu Aqsa
  • Aktivitas
    • Event
    • Kegiatan
    • Siaran Pers
  • Berita Kemanusiaan
    • Anak
    • Perempuan
    • Al-Aqsa
    • Pendidikan
    • Kesehatan
    • Hukum dan HAM
    • Seni Budaya
    • Sosial EKonomi
    • Hubungan Internasional dan Politik
  • Artikel
    • Sorotan
    • Syariah
    • Biografi
    • Jelajah
    • Tema Populer
  • Publikasi
    • Adara Palestine Situation Report
    • Adara Policy Brief
    • Adara Humanitarian Report
    • AdaStory
    • Adara for Kids
    • Distribution Report
    • Palestina dalam Gambar
No Result
View All Result
Adara Relief International
No Result
View All Result
Home Artikel Sorotan

Educide: Perampasan Hak Anak-Anak Palestina untuk Menempuh Pendidikan Melalui Genosida dan Yahudisasi

by Adara Relief International
September 28, 2025
in Sorotan
Reading Time: 9 mins read
0 0
0
Sekolah Dar Al-Arqam di Gaza yang telah dihancurkan Israel pada April 2025 (Al Jazeera)

Sekolah Dar Al-Arqam di Gaza yang telah dihancurkan Israel pada April 2025 (Al Jazeera)

16
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsappShare on Telegram

Pada awal bulan September, tahun ajaran baru dimulai di Palestina, namun dengan suasana yang berbeda dari biasanya. Tak seperti anak-anak di belahan dunia lain yang menyambut hari pertama sekolah dengan antusias, anak-anak Palestina justru menjalani hari pertama tahun ajaran baru dengan dihantui sejumlah ketakutan. Bagaimana tidak, kondisi Palestina yang dijajah dan diserang dari berbagai sisi oleh Zionis tentunya tidak bisa menjadi tempat yang kondusif bagi anak-anak untuk menuntut ilmu.

Bagi kebanyakan anak di Palestina, tak ada seragam, sepatu, buku, maupun ransel baru untuk menyambut hari pertama mereka bersekolah. Yang ada hanyalah ransel usang anak-anak Gaza yang diisi dengan pakaian untuk berlari dari pengeboman, atau lebih parah lagi, diisi dengan potongan anggota tubuh keluarga mereka yang menjadi korban serangan. Adapun di Tepi Barat, yang tersisa hanyalah sepatu anak-anak yang terlepas saat berlari ketakutan menyelamatkan diri dari kejaran pemukim ilegal. Sementara itu, mereka harus menerima buku berisi kurikulum Israel yang dipaksakan kepada anak-anak di Al-Quds (Yerusalem), atau mereka tidak boleh bersekolah sama sekali.

Pendidikan yang seharusnya menjadi hak mendasar bagi setiap anak untuk bertumbuh dan berkembang, telah dijadikan sebagai senjata dan alat politik bagi Israel untuk meneruskan penjajahannya di atas tanah Palestina. Perampasan hak yang telah berlangsung selama bertahun-tahun ini kemudian memunculkan sebuah istilah: educide. Istilah ini merujuk pada penghancuran pendidikan, pengetahuan, dan budaya masyarakat yang tertindas dan terjajah. Istilah ini disebutkan dalam permohonan Afrika Selatan kepada Mahkamah Internasional (ICJ) untuk menghentikan genosida di Gaza yang telah menghancurkan nyaris seluruh gedung sekolah, serta merenggut nyawa banyak akademisi, profesor, serta siswa dan mahasiswa.

Dan hingga detik ini, educide masih terus berlangsung di Gaza, Tepi Barat, Al-Quds (Yerusalem), dan di seluruh wilayah Palestina. Anak-anak Palestina yang membawa harapan akan masa depan bangsa mereka, kini terkekang akibat ancaman yang menghalangi mereka untuk dapat menempuh pendidikan setinggi-tingginya.

Generasi yang Hilang di Gaza

Anak-Anak Gaza berdiri di depan Taman Kanak-Kanak yang telah dihancurkan Israel di Rafah (MEE)
Anak-Anak Gaza berdiri di depan Taman Kanak-Kanak yang telah dihancurkan Israel di Rafah (MEE)

Misk, seorang gadis kecil di Gaza, telah kehilangan pendidikannya sejak genosida dimulai, dan kini ia juga kehilangan ayahnya akibat genosida. “Dua tahun hidup kami terbuang sia-sia,” katanya. “Kalau bukan karena genosida, saya sekarang pasti sedang bersiap-siap ke sekolah, membeli pulpen dan perlengkapan sekolah. Sekarang, kami mencari perlindungan dan makanan, berlarian mencari air dan dapur umum.” Dia menahan tangisnya sambil melanjutkan, “Kami ini anak-anak. Kami ingin hidup seperti anak-anak lainnya. Ayah saya gugur dalam genosida. Apa salah saya sampai saya menjadi yatim piatu di usia muda? Apa salah saya sampai saya kehilangan keluarga dan segalanya?”

Kata-kata yang diucapkan Misk adalah suara dari seluruh anak-anak di Gaza saat ini. Badan PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA) mengatakan bahwa lebih dari 660.000 anak telah kehilangan kesempatan bersekolah selama tiga tahun berturut-turut akibat genosida, yang bahkan sebelum genosida pun keadaan sudah cukup sulit akibat kemiskinan dan blokade yang terjadi di Jalur Gaza.

Kementerian Pendidikan Palestina menambahkan bahwa sekitar 700.000 siswa di Gaza telah melihat sekolah mereka terhenti akibat pengeboman, dan lebih dari 70.000 lainnya tidak dapat mengikuti ujian sekolah menengah selama dua tahun berturut-turut. Pada tahun ajaran baru ini, yang bisa mereka saksikan hanyalah ruang-ruang kelas yang berubah menjadi tempat pengungsian, serta lapangan sekolah yang seringkali berubah menjadi tempat pengumpulan jenazah korban serangan.

Sebelum genosida, sektor pendidikan di Gaza berkembang pesat. Meskipun menderita akibat penjajahan dan blokade, Gaza menjadi salah satu wilayah dengan tingkat literasi tertinggi di dunia, mencapai 97 persen. Dulunya, tingkat pendaftaran di pendidikan menengah di Gaza mencapai 90 persen, dan tingkat pendaftaran di pendidikan tinggi mencapai 45 persen. Gaza adalah kota yang melahirkan siswa-siswi cerdas dan bertekad kuat. Hal tersebut sangat ditakuti oleh Zionis. Maka, sistem pendidikan pun dihancurkan, anak-anak Gaza dihalangi untuk bisa menempuh pendidikan dan meraih cita-cita mereka.

Kini, sektor pendidikan Gaza telah mengalami kehancuran yang paling parah. Menurut statistik PBB, 496 dari 564 sekolah – hampir 88 persen – telah rusak atau hancur, dan seluruh universitas serta perguruan tinggi di Gaza telah dinyatakan hancur total. Mayoritas sekolah yang dikelola UNRWA (sekitar 200) di Jalur Gaza diubah menjadi tempat penampungan bagi para pengungsi, dan 70% di antaranya telah dibom, beberapa di antaranya hancur total, sementara yang lain rusak parah. Menurut UNRWA, empat dari setiap lima gedung sekolah di Gaza terkena dampak langsung atau rusak akibat genosida. Lebih dari 645.000 mahasiswa telah kehilangan ruang kelas, dan 90.000 mahasiswa mengalami gangguan pendidikan.

Anak-anak, termasuk anak usia sekolah di Gaza telah menyumbang lebih dari 30 persen jumlah kematian sejak Israel memulai genosida hampir dua tahun lalu, membuat daerah kantong yang terkepung itu menjadi “tempat paling berbahaya bagi anak-anak”. Menurut data terbaru dari Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza, agresi genosida ini telah menyebabkan lebih dari 25.000 anak terbunuh atau terluka, termasuk lebih dari 17.000 siswa sekolah dan lebih dari 1.200 mahasiswa di Gaza. Hampir 1.000 tenaga kependidikan juga telah terbunuh di Gaza, sementara ribuan lainnya terluka atau ditahan di seluruh wilayah Palestina.

Direktur Regional Advokasi dan Komunikasi UNICEF untuk Timur Tengah dan Afrika Utara menyatakan bahwa selain mengakibatkan kematian dan cedera, pengeboman Israel yang terus berlangsung di Gaza juga menyebabkan sekitar 1,1 juta anak mengalami trauma psikologis dan emosional yang tak tertahankan, yang berdampak parah pada perkembangan mereka. Jangankan bersekolah, bahkan untuk bertahan hidup sehari-hari pun sudah menjadi beban yang sangat berat bagi anak-anak Gaza, terutama bagi yang kehilangan orang tua dan keluarga di depan mata mereka.

Selain trauma psikologis akibat pengeboman terus-menerus, statistik terbaru Kementerian Kesehatan juga menunjukkan bahwa lebih dari 58 persen penduduk Gaza berada dalam kondisi kelaparan dan kekurangan gizi “darurat”, dengan 32 persen (641.000) berada pada tingkat kelaparan paling parah. Ada lebih dari 450 kematian akibat kelaparan yang tercatat, termasuk 150 anak-anak. Kelaparan di Gaza bukan hanya tentang perut yang kosong berhari-hari, tetapi juga masa depan yang direnggut secara paksa. Banyak anak kini menderita malnutrisi, membuat fisik dan kognitif mereka tidak berkembang sebagaimana anak-anak normal lainnya, membuat mereka seolah berhenti bertumbuh dan kehilangan harapan akan hari esok.

Anak-anak Gaza yang sekitar dua tahun lalu masih bebas berlarian ke sekolah, tertawa dan bermain, sekarang harus berdiri di bawah terik matahari atau menahan dinginnya cuaca ekstrem. Mereka terpaksa berdagang, berjalan jauh, juga mengantre panjang demi mendapatkan sedikit makanan dan air agar keluarga mereka bisa tetap bertahan. Dua tahun genosida sudah cukup lama untuk menghancurkan impian anak-anak Gaza, dan membangunnya kembali akan membutuhkan waktu yang sangat lama di tengah kehancuran parah yang terjadi saat ini.

Generasi yang Terancam di Tepi Barat

Anak-Anak di Tepi Barat datang ke sekolah yang nyaris runtuh akibat penyerangan (Wafa)
Anak-Anak di Tepi Barat datang ke sekolah yang nyaris runtuh akibat penyerangan (Wafa)

Pada 8 September 2025, anak-anak di seluruh Tepi Barat memulai tahun ajaran baru, termasuk hampir 47.000 anak pengungsi Palestina yang belajar di sekolah-sekolah UNRWA. Bagi 5.000 anak laki-laki dan perempuan yang memulai perjalanan pendidikan mereka, ini akan menjadi pertama kalinya mereka menginjakkan kaki di ruang kelas. Meski beberapa anak di Tepi Barat dapat dikatakan “lebih beruntung” dari anak-anak Gaza karena masih bisa menginjakkan kaki ke sekolah, namun bukan berarti perjalanan pendidikan mereka bebas dari ancaman.

Pembukaan tahun ajaran baru periode ini digelar di Sekolah Deir Jarir, timur Ramallah, dan dilanjutkan di Sekolah Shalal al-Auja, Jericho. Namun, kegiatan belajar mengajar terhenti di hampir 48 sekolah di Distrik Qabatiya, Jenin, karena serangan militer Israel. Menteri Pendidikan Amjad Barham menyatakan sekolah-sekolah tersebut akan dibuka kembali segera setelah serangan berhenti, yang masih belum jelas kapan waktu itu akan tiba. Ia juga menambahkan bahwa sekolah-sekolah di Tulkarem dan Jenin terpaksa ditutup total akibat serangan berkelanjutan terhadap kamp-kamp pengungsi dan komunitas sekitarnya.
Di Tepi Barat utara, sepuluh sekolah UNRWA di Kamp Jenin, Tulkarm, dan Nur Shams masih ditutup akibat operasi “Tembok Besi” yang dilakukan oleh pasukan pendudukan Israel. Lebih dari 4.000 anak, alih-alih kembali ke ruang kelas, kini terpaksa berpartisipasi dalam program pendidikan yang diadaptasi termasuk pembelajaran jarak jauh, materi belajar mandiri, dan ruang belajar sementara. Saat ini ada lebih dari 30.000 warga Palestina yang masih mengungsi di Tepi Barat utara, lebih dari sepertiganya adalah anak-anak, yang kini masih bertanya-tanya kapankah kiranya mereka akan diizinkan kembali datang ke sekolah.

Sejak 21 Januari 2025, operasi militer Israel di Tepi Barat utara dimulai di Jenin dan menandai operasi terpanjang di Tepi Barat sejak awal tahun 2000-an. Puluhan ribu orang telah mengungsi dari kamp-kamp pengungsi Jenin, Tulkarem, dan Nur Shams, yang kini hampir kosong. Operasi yang semakin intensif di Tepi Barat ini sangat mengganggu kegiatan sekolah dan membahayakan anak-anak, mengakibatkan pengungsian, penutupan dan pembongkaran sekolah, kerusakan infrastruktur, ruang kelas yang penuh sesak, kekurangan sumber daya pendidikan, serta trauma psikologis bagi ribuan siswa dan guru. Selain itu, total 849 penghalang pergerakan turut ditempatkan Israel di seluruh Tepi Barat dengan tujuan mempersulit akses yang aman bagi anak-anak dan guru untuk datang ke sekolah.

Kini, lebih dari 47.000 anak pengungsi Palestina yang terdaftar di 96 sekolah UNRWA di Tepi Barat kehilangan akses terhadap pendidikan yang aman, mengingat banyak dari mereka yang tinggal di kamp-kamp dan lingkungan yang rentan akan serangan. Beberapa sekolah UNRWA juga kini terpaksa beralih fungsi menjadi ruang perlindungan dan layanan vital di tengah krisis yang berkepanjangan. Setiap ancaman terhadap keberlangsungan hidup penduduk di Tepi Barat telah memperparah tantangan yang sudah mereka hadapi setiap harinya, juga semakin menambah ketidakpastian, ketidakstabilan, dan ketakutan dalam kehidupan sehari-hari. Tawa gembira dan langkah kaki anak-anak ke sekolah kini menjadi hal yang langka, berubah menjadi tangis ketakutan yang setiap hari terdengar akibat serangan yang berkelanjutan.

Anak-Anak yang Tak Terlihat di Al-Quds (Yerusalem)

Anak-Anak perempuan bermain di salah satu sekolah di Al-Quds (Jerusalem Story)
Anak-Anak perempuan bermain di salah satu sekolah di Al-Quds (Jerusalem Story)

Tahun ini, untuk pertama kalinya dalam sejarah, UNRWA tidak dapat membuka sekolah-sekolahnya di Al-Quds bagian timur (Yerusalem Timur) pada tahun ajaran baru, menyusul penutupan paksa enam sekolah UNRWA oleh Israel pada Mei 2025. Penutupan ini berdampak pada hampir 800 anak, dan hanya beberapa dari ratusan siswa tersebut yang diizinkan mendaftar di sekolah lain. Berbeda dari anak-anak di Gaza dan Tepi Barat yang pendidikannya dihalangi oleh ledakan bom atau pos penghalang pergerakan, tantangan pendidikan yang terjadi di Al-Quds cenderung senyap, namun merusak dari dalam.

Seperti yang telah disebutkan, penutupan sekolah tidak hanya mengakibatkan anak-anak di Al-Quds kehilangan sekolah, tapi mereka juga dipersulit untuk mendaftar ke sekolah lain. ada puluhan ribu pelajar Palestina di Al-Quds bagian timur yang disebut “tidak terlihat” oleh sistem karena kondisi pendidikan mereka tidak diketahui, entah karena kegagalan melacak nomor peserta didik atau kegagalan mendidik oleh negara karena Israel menolak bekerja sama dengan sekolah-sekolah yang dikelola oleh Otoritas Palestina. Anak-anak ini kemudian disebut sebagai “anak-anak yang tak terlihat” atau mungkin lebih tepatnya “tidak diakui keberadaannya” karena Israel tidak memenuhi kewajibannya untuk memberikan hak menempuh pendidikan kepada anak-anak tersebut.

Persentase anak-anak yang seharusnya bersekolah tetapi keberadaannya tidak diketahui telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Apakah ini sekadar kegagalan pelacakan (misalnya, karena pemerintah kota menolak bekerja sama dengan sekolah-sekolah yang dikelola oleh otoritas Palestina) atau yang lebih mengkhawatirkan, penolakan Israel untuk mendidik anak-anak Palestina, karena akar masalahnya masih belum jelas. Ir Amim, sebuah lembaga Israel, melaporkan bahwa sekitar 30 persen dari anak-anak “tak terlihat” ini berusia tiga hingga enam tahun, usia awal anak-anak masuk sekolah, yang seharusnya menjadi permulaan perjalanan pendidikan mereka..

Sebuah laporan yang diterbitkan oleh Pusat Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Al-Quds (JLAC) pada Agustus 2023 menunjukkan bahwa dari 110.293 siswa Palestina di Al-Quds Timur, sekitar 45.223 telah terdaftar dalam sistem pendidikan Kotamadya Al-Quds, atau sebesar 41 persen.

Angka ini telah meningkat selama dua tahun terakhir. Kotamadya Al-Quds mengklaim telah menerima 52.000 siswa Palestina di lembaga-lembaganya pada awal tahun ajaran 2025–2026. Akan tetapi, statistik ini tidak memperhitungkan anak-anak “tak terlihat” yang seharusnya juga bersekolah pada tahun ajaran baru ini. Karena mereka “tak terlihat”, data mereka seolah dilenyapkan, menghalangi mereka untuk mendaftar ke institusi pendidikan mana pun.

Pada tahun ajaran baru ini, diumumkan juga pembukaan beberapa sekolah baru di Shu’fat, Kufr ‘Aqab, Jabal Mukabbir, dan Beit Hanina, termasuk sekolah campuran, taman kanak-kanak, dan sekolah swasta. Langkah-langkah ini merupakan bagian dari Strategi Israel yang mereka katakan bertujuan “untuk mengurangi kesulitan sosial-ekonomi warga Palestina di Yerusalem melalui inisiatif pembangunan”. Akan tetapi, pada akhirnya rencana tersebut hanyalah dalih untuk menutupi tujuan Israel sesungguhnya, yakni untuk menggalakkan upaya yahudisasi pendidikan di Al-Quds.

Apa yang kemudian terlihat dari pembangunan sekolah-sekolah tersebut adalah pemberian hak istimewa khusus kepada sekolah-sekolah yang mengajarkan kurikulum Israel atau yang muatan kurikulum aslinya yang telah dimodifikasi. Hak istimewa ini termasuk perluasan gedung, penambahan spesialisasi baru, transportasi gratis, dan pemeliharaan gedung dan fasilitas.

Ir Amim, sebuah LSM Israel yang berfokus pada aturan pemerintah di Al-Quds, melaporkan bahwa keputusan tersebut mengeksploitasi krisis yang ada di sekolah-sekolah Palestina, memaksa “orang tua, siswa dan pendidik untuk memilih antara terus menanggung kekurangan ruang kelas yang parah—termasuk kelebihan kapasitas dan fasilitas yang bobrok—atau meninggalkan kurikulum Palestina, yang berakar pada identitas nasional dan warisan budaya mereka.”

Laporan tersebut, yang dirilis pada Agustus 2025, menunjukkan adanya kekurangan 1.461 ruang kelas di Al-Quds bagian timur pada awal tahun ajaran 2025–2026. Hal ini terjadi bersamaan dengan undang-undang Israel yang baru-baru ini disahkan yang memungkinkan Kementerian Pendidikan Israel memberhentikan guru berdasarkan “pendapat yang diungkapkan” dan untuk menghentikan dana sekolah jika ada pernyataan “dukungan terhadap terorisme atau kekerasan”. Israel juga telah beberapa kali menindak sekolah-sekolah swasta Palestina atau sekolah-sekolah yang berafiliasi dengan Departemen Wakaf dan Kementerian Pendidikan Otoritas Palestina (PA), termasuk menyita buku pelajaran Palestina dan menuntut distributornya.

Ziad Hammouri, direktur Pusat Hak Ekonomi dan Sosial Yerusalem (JCSER), mengatakan bahwa Pemerintah Kota Al-Quds dan lembaga-lembaga Israel lainnya telah membuat langkah signifikan dalam yahudisasi pendidikan di Al-Quds. Ia menambahkan bahwa di Al-Quds, lebih dari 120.000 siswa belajar di sekolah negeri, swasta, dan berbagai jenis sekolah lain. Namun, jumlah mereka jauh melebihi kapasitas ruang kelas yang tersedia. Kelas-kelas menjadi sangat penuh, guru sulit memberikan perhatian kepada setiap siswa, dan fasilitas seperti meja, kursi, dan buku tidak mencukupi.
Lebih dari sekadar masalah fisik, situasi ini juga berkaitan dengan identitas dan sejarah anak-anak Palestina. Banyak orang tua khawatir jika anak-anak mereka pindah ke sekolah lain, mereka akan belajar kurikulum Israel, yang berpotensi menghapus pengetahuan tentang sejarah, budaya, dan identitas Palestina.
Selain itu, krisis keuangan juga menjadi masalah serius. Sekolah-sekolah mengalami defisit kronis akibat ketidakmampuan orang tua membayar biaya sekolah, di samping undang-undang ketat yang menentukan tingkat tunjangan berdasarkan jumlah siswa dan kriteria pendaftaran guru.

Baca Juga

Energi sebagai Instrumen Kolonialisme Israel dalam Penjarahan Gas Palestina dan Diplomasi Global

Zionisme: Sistem Raksasa yang Mengelola Rangkaian Kehancuran dan Penderitaan di Tanah Palestina

Dr. Audeh Quawas, CEO Sekolah Patriarkat Ortodoks Yunani Al-Quds mengatakan Israel telah membekukan rekening bank Patriarkat Ortodoks Yunani pada 6 Agustus, tepat sebelum tahun ajaran dimulai. Dengan dana yang diblokir, Patriarkat tersebut tidak akan mampu membayar gaji para pendeta, guru, dan staf lainnya. Oleh karena itu, ia menjelaskan, masalah pendidikan di Al-Quds bukan sekadar masalah akademis atau finansial, melainkan perjuangan sehari-hari untuk mempertahankan keberadaan identitas Palestina di tengah yahudisasi yang terjadi di kota tersebut.

Pendidikan: Senjata Perlawanan Penduduk Palestina untuk Mempertahankan Tanah Air

Anak-Anak Gaza belajar di Sekolah Darurat Adara di Zaitun, Kota Gaza (Adara)
Anak-Anak Gaza belajar di Sekolah Darurat Adara di Zaitun, Kota Gaza (Adara)

Pendidikan merupakan salah satu elemen fundamental yang memungkinkan penduduk Palestina yang tertindas di bawah penjajahan untuk bertahan hidup. Oleh karena itu, selama bertahun-tahun, sistem pendidikan telah menjadi “senjata lunak” perlawanan dan ketahanan bagi warga Palestina, yang diwariskan dari generasi ke generasi untuk mempertahankan identitas, sejarah, warisan, dan keberadaan mereka di tanah air. Hal tersebut telah menjadi ketakutan yang nyata bagi Israel, sehingga mereka menghancurkan sistem pendidikan di Palestina dari berbagai sisi.

Akan tetapi, penduduk Palestina tidak pernah sendirian dalam menghadapi masalah pendidikan ini. Pada tahun ajaran baru 2025–2026 ini, Adara Relief International mewujudkan Sekolah Darurat di Sekolah Imam Asy-Syafi’i di Zaitun, Kota Gaza. Sekolah Darurat ini menjadi sarana bagi 180 anak di Gaza untuk kembali menempuh pendidikan. Jumlah ini memang masih jauh dari kata cukup untuk mengembalikan hak atas pendidikan terhadap seluruh anak di Gaza, dan di Palestina secara umum, namun pendirian sekolah darurat ini setidaknya menjadi bukti bahwa kita semua bergerak dan berusaha menghidupkan kembali pendidikan di Jalur Gaza dan seluruh wilayah Palestina.

Saat ini, meski anak-anak Gaza telah kehilangan sekolah-sekolah mereka, anak-anak Tepi Barat harus melewati serangkaian pos penghalang dalam perjalanan, dan anak-anak di Al-Quds tengah berusaha melawan sistem yang berusaha menghapuskan keberadaan mereka, namun anak-anak ini juga menyimpan kerinduan yang besar untuk bisa kembali bersekolah dalam kondisi yang aman.

Kita, sebagai orang-orang merdeka yang memiliki kebebasan untuk menempuh pendidikan, seharusnya juga bisa melakukan banyak hal agar anak-anak Palestina juga mendapatkan kesempatan yang sama. Setiap ucapan, tulisan, karya, juga donasi, seluruhnya menunjukkan bahwa kita telah berpihak, dan kita tidak akan pernah diam menyaksikan sistem pendidikan di Palestina terus dihancurkan oleh Zionis.

Salsabila Safitri, S.Hum.

Penulis merupakan Relawan Departemen Penelitian dan Pengembangan Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana jurusan Sastra Arab, FIB UI dan saat ini sedang menempuh pendidikan magister di program studi linguistik, FIB UI.

Sumber:
Al Jazeera
Anadolu Agency
Jerusalem Story
Middle East Eye
Palestine Studies
PCBS
UN News
Reliefweb
Wafa

 

ShareTweetSendShare
Previous Post

Kondisi Memburuk, Dokter Gaza Ditahan Israel Tanpa Proses Hukum

Next Post

Knesset Setujui RUU Hukuman Mati bagi Tawanan Palestina

Adara Relief International

Related Posts

Energi sebagai Instrumen Kolonialisme Israel dalam Penjarahan Gas Palestina dan Diplomasi Global
Artikel

Energi sebagai Instrumen Kolonialisme Israel dalam Penjarahan Gas Palestina dan Diplomasi Global

by Adara Relief International
September 22, 2025
0
46

Sejak pendudukan Israel atas Jalur Gaza, Tepi Barat, dan Al-Quds bagian timur (Yerusalem Timur) pada 1967, penguasaan tanah, air, dan...

Read moreDetails
Zionisme: Sistem Raksasa yang Mengelola Rangkaian Kehancuran dan Penderitaan di Tanah Palestina

Zionisme: Sistem Raksasa yang Mengelola Rangkaian Kehancuran dan Penderitaan di Tanah Palestina

September 1, 2025
77
Belajar Palestina Lewat Kuis Kemerdekaan 17 Agustus 2025

Belajar Palestina Lewat Kuis Kemerdekaan 17 Agustus 2025

Agustus 28, 2025
82
56 Tahun Pembakaran Mimbar Masjid Al-Aqsa: Apinya Telah Padam, Namun Panasnya Masih Terasa Hingga Masa Kini

56 Tahun Pembakaran Mimbar Masjid Al-Aqsa: Apinya Telah Padam, Namun Panasnya Masih Terasa Hingga Masa Kini

Agustus 27, 2025
28
Petinju perempuan Palestina berlatih di pantai Gaza"

Hari Pemuda Sedunia dan Impian Mereka yang Terkubur di Reruntuhan Gaza

Agustus 14, 2025
51
Kasih Ibu di Gaza Sepanjang Masa, Meski Tanpa Air Susu untuk Buah Hati Mereka

Kasih Ibu di Gaza Sepanjang Masa, Meski Tanpa Air Susu untuk Buah Hati Mereka

Agustus 6, 2025
58
Next Post
Knesset Setujui RUU Hukuman Mati bagi Tawanan Palestina

Knesset Setujui RUU Hukuman Mati bagi Tawanan Palestina

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

TRENDING PEKAN INI

  • Mimpi Kecil yang Sirna di Langit Gaza

    Mimpi Kecil yang Sirna di Langit Gaza

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kapal Indonesia dalam Global Sumud Flotilla Telah Berlayar Menuju Gaza

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Adara Palestine Situation Report 58

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menteri Israel Sebut Aksi Yahudi Meludahi Umat Kristen di Yerusalem Bukan Tindakan Kriminal 

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meneladani Sikap Tolong Menolong Pada Masa Rasulullah Saw dan Para Sahabat

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
Currently Playing

Edcoustic - Mengetuk Cinta Ilahi

Edcoustic - Mengetuk Cinta Ilahi

00:04:42

Sahabat Palestinaku | Lagu Palestina Anak-Anak

00:02:11

Masjidku | Lagu Palestina Anak-Anak

00:03:32

Palestinaku Sayang | Lagu Palestina Anak-Anak

00:03:59

Perjalanan Delegasi Indonesia—Global March to Gaza 2025

00:03:07

Company Profile Adara Relief International

00:03:31

Qurbanmu telah sampai di Pengungsian Palestina!

00:02:21

Bagi-Bagi Qurban Untuk Pedalaman Indonesia

00:04:17

Pasang Wallpaper untuk Tanamkan Semangat Kepedulian Al-Aqsa | Landing Page Satu Rumah Satu Aqsa

00:01:16

FROM THE SHADOW OF NAKBA: BREAKING THE SILENCE, END THE ONGOING GENOCIDE

00:02:18

Mari Hidupkan Semangat Perjuangan untuk Al-Aqsa di Rumah Kita | Satu Rumah Satu Aqsa

00:02:23

Palestine Festival

00:03:56

Adara Desak Pemerintah Indonesia Kirim Pasukan Perdamaian ke Gaza

00:07:09

Gerai Adara Merchandise Palestina Cantik #lokalpride

00:01:06
  • Profil Adara
  • Komunitas Adara
  • FAQ
  • Indonesian
  • English
  • Arabic

© 2024 Yayasan Adara Relief Internasional Alamat: Jl. Moh. Kahfi 1, RT.6/RW.1, Cipedak, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Daerah Khusus Jakarta 12630

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Tentang Kami
    • Profil Adara
    • Komunitas Adara
  • Program
    • Penyaluran
      • Adara for Palestine
      • Adara for Indonesia
    • Satu Rumah Satu Aqsa
  • Aktivitas
    • Event
    • Kegiatan
    • Siaran Pers
  • Berita Kemanusiaan
    • Anak
    • Perempuan
    • Al-Aqsa
    • Pendidikan
    • Kesehatan
    • Hukum dan HAM
    • Seni Budaya
    • Sosial EKonomi
    • Hubungan Internasional dan Politik
  • Artikel
    • Sorotan
    • Syariah
    • Biografi
    • Jelajah
    • Tema Populer
  • Publikasi
    • Adara Palestine Situation Report
    • Adara Policy Brief
    • Adara Humanitarian Report
    • AdaStory
    • Adara for Kids
    • Distribution Report
    • Palestina dalam Gambar
Donasi Sekarang

© 2024 Yayasan Adara Relief Internasional Alamat: Jl. Moh. Kahfi 1, RT.6/RW.1, Cipedak, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Daerah Khusus Jakarta 12630