Meski Presiden AS Donald Trump menyatakan menolak aneksasi Israel atas Tepi Barat, kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya. Jumlah pos militer dan gerbang besi Israel hampir mencapai 1.000, sementara permukiman baru terus dibangun, jalan khusus pemukim dipaving, dan warga Palestina semakin terkurung di komunitas mereka sendiri.
Bagi warga Palestina, ini bukan sekadar ancaman, melainkan aneksasi de facto. Lahan pertanian yang dahulu menjadi sumber kehidupan kini telah dirampas. “Kami tidak lagi memiliki tanah. Dulu kami menanam, memanen, dan hidup darinya. Sekarang bahkan melihatnya dari jauh pun tidak bisa,” kata Khaled Abu Naim dari desa al-Mughayyir, timur Ramallah.
Selain perampasan tanah, Israel mulai membagikan izin khusus bagi warga Beit Iksa, Nabi Samwil, dan al-Khalayleh di barat laut Yerusalem untuk keluar dan masuk wilayah. Izin ini justru mengisolasi mereka, menjadikan wilayah itu semacam penjara terbuka tanpa layanan memadai. Menurut peneliti Ali al-Awar, langkah ini merupakan strategi sistematis yang didorong tokoh pemukim Yossi Dagan dan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich, yang mengalirkan dana besar untuk melegalkan pos-pos ilegal menjadi permukiman permanen.
Namun, pengumuman resmi aneksasi diyakini sulit dilakukan Netanyahu karena akan memicu penolakan internasional, terutama setelah gelombang pengakuan negara Palestina di berbagai forum dunia. Meski demikian, langkah-langkah di lapangan justru menguatkan arah aneksasi.
Salah satu contoh paling jelas adalah Kota Al- Khali (Hebron). Israel menangkap wali kota terpilih, Tayseer Abu Sneineh, lalu meningkatkan kontrol militer di kota itu. Sekolah-sekolah dirazia, buku peta Palestina disita, dan aksi protes dibubarkan dengan kekerasan. Al-Khalil secara bertahap dipisahkan dari Tepi Barat, mirip dengan skema yang dialami warga Palestina di Al-Quds (Yerusalem).
Bagi peneliti politik Mohamad Alqeeq, Al-Khalil dipilih sebagai proyek uji coba menuju aneksasi penuh Area C dan realisasi gagasan “Israel Raya”. Ia menilai Israel telah mengeksploitasi Perjanjian Oslo untuk melemahkan perlawanan, dan kini berusaha membubarkan masyarakat Palestina menjadi komunitas-komunitas terisolasi.
Menurutnya, kelemahan Otoritas Palestina, mulai dari represi terhadap perlawanan, korupsi, hingga krisis finansial turut membuka jalan bagi aneksasi. “Satu-satunya jalan penyelamatan adalah rekonsiliasi nasional Palestina dan membangun kembali rumah Palestina bersama. Jika tidak, Otoritas Palestina justru akan ikut serta dalam aneksasi dengan menutup jalan bagi rakyatnya sendiri,” tegasnya.
Sumber:
The New Arab