Gedung Putih merilis rencana damai 20 poin yang diklaim dapat menghentikan genosida Israel di Gaza, yang telah membunuh lebih dari 66.000 warga Palestina dan menghancurkan wilayah tersebut. Proposal ini disusun setelah pembicaraan Presiden AS Donald Trump dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, dan akan dibahas dalam pertemuan keduanya di Washington.
Rencana tersebut mencakup penghentian permusuhan segera, pembebasan seluruh tentara Israel yang ditawan dalam 72 jam, serta pembebasan tahanan Palestina, termasuk 250 yang divonis seumur hidup dan 1.700 warga Gaza yang diculik setelah 7 Oktober 2023. Gaza akan dikelola oleh otoritas transisi tanpa peran Hamas atau faksi perlawanan, di bawah pengawasan badan internasional bernama Board of Peace yang diketuai Trump bersama tokoh Barat seperti Tony Blair.
Berikut isi 20 poin utama rencana tersebut:
- Penghentian segera seluruh operasi militer.
- Garis pertempuran dibekukan sampai syarat penarikan pasukan Israel dan pembebasan tawanan dipenuhi.
- Semua tentara Israel yang ditawan, hidup atau gugur, dikembalikan dalam 72 jam setelah Israel menerima rencana.
- Pembebasan 250 tahanan Palestina dengan hukuman seumur hidup.
- Pembebasan 1.700 warga Gaza yang diculik setelah 7 Oktober 2023.
- Gaza dikelola otoritas transisi teknokrat Palestina tanpa peran Hamas atau faksi perlawanan.
- Otoritas transisi diawasi Board of Peace internasional yang diketuai Trump dan tokoh Barat lain.
- Gaza dijadikan zona tanpa militer dan “bebas teror.”
- Pelucutan senjata Hamas dan kelompok perlawanan, diawasi lembaga independen.
- Program penyerahan senjata (weapons buy-back) dan reintegrasi anggota faksi.
- Amnesti dan jaminan keselamatan bagi anggota Hamas yang setuju hidup berdampingan damai.
- Masuknya bantuan internasional melalui PBB, Bulan Sabit Merah, dan lembaga lain tanpa gangguan.
- Rehabilitasi infrastruktur Gaza: rumah sakit, air, listrik, roti, dan fasilitas publik.
- Penciptaan zona ekonomi khusus untuk investasi, pekerjaan, dan pembangunan.
- Pergerakan bebas bagi warga yang ingin keluar atau kembali ke Gaza.
- Penempatan Pasukan Stabilisasi Internasional untuk melatih polisi Palestina dan menjaga perbatasan.
- Israel menarik pasukannya secara bertahap sesuai demiliterisasi dan keamanan yang dipenuhi.
- Dialog lintas agama untuk mempromosikan “toleransi” dan “hidup berdampingan.”
- Syarat menuju penentuan nasib sendiri Palestina setelah reformasi pemerintahan dijalankan.
- Dialog politik jangka panjang antara Israel dan Palestina yang dipimpin AS.
Meski digadang-gadang sebagai solusi, banyak analis politik menilai rencana ini lebih menyerupai “kerangka penyerahan Palestina” ketimbang inisiatif perdamaian sejati. Ali Abu Rezeq menilai usulan ini “memundurkan pencapaian politik Palestina selama puluhan tahun” dan mengabaikan perjuangan nasional dengan menekankan aspek kemanusiaan semata. Saeed Al-Haj menambahkan bahwa rencana tersebut selaras dengan tuntutan lama Netanyahu terhadap Hamas, tanpa memberikan jaminan negara Palestina.
Penulis politik Muhammad Al-Akhras menyebut proposal itu melemahkan status hukum rakyat Palestina di wilayah 1967 dan mengikat bantuan serta rekonstruksi dengan syarat pelucutan senjata. Mantan pejabat senior PBB, Craig Mokhiber, bahkan mengecamnya sebagai “pengaturan bergaya kolonial” yang menegaskan kontrol eksternal atas Gaza tanpa akuntabilitas atas genosida maupun rehabilitasip bagi korban.
Pengumuman rencana ini sendiri dilakukan di tengah serangan udara Israel yang membunuh sedikitnya 33 warga Palestina, termasuk 24 orang di Kota Gaza. Serangan juga menghantam tenda pengungsi di Nuseirat, sementara operasi militer Israel terus berlanjut di Tepi Barat dengan penangkapan 17 warga Palestina, termasuk seorang anak berusia 14 tahun.
Dengan berbagai syarat yang dinilai berat sebelah, banyak pihak mempertanyakan: apakah rencana ini benar-benar langkah menuju perdamaian, atau justru mekanisme baru untuk melanggengkan kontrol atas Palestina?
Sumber:
Qudsnen, Palinfo