“Anak-anakku lebih cantik daripada bulan. Apakah kamu bisa melihat bulan? Mereka lebih cantik.” Haitham Salem, seorang tawanan Palestina yang dibebaskan dalam kesepakatan gencatan senjata antara kelompok perlawanan Palestina dan Israel, mengucapkan kalimat tersebut berulang kali. Momen pembebasan ini telah lama ia nantikan, kerinduan yang dalam membuatnya tidak sabar untuk bisa segera memeluk istri dan anak-anaknya. Namun, segalanya berubah ketika bus yang membawanya tiba di Gaza pada 13 Oktober 2025. Ia mendapat kabar bahwa istri dan keempat anaknya telah meninggal bulan lalu akibat serangan Israel. “Semua orang di sekitar saya gembira, merangkul keluarga mereka, namun saya tidak punya siapa-siapa lagi… Saya lebih suka menghabiskan hidup saya di penjara daripada kehilangan mereka,” Haitham mengatakan dengan putus asa.
Dalam kesepakatan gencatan senjata, kelompok perlawanan Palestina dan Israel telah melaksanakan proses pertukaran tawanan, meski belum sempurna. Dari ribuan tawanan, potongan kisah Haitham Salem adalah satu di antara kisah-kisah tragis lainnya yang dialami oleh para tawanan Palestina. Di penjara Israel, mereka terputus dari dunia luar, sedangkan waktu tidak pernah berhenti berputar. Ketika dibebaskan, mereka baru menyadari bahwa mereka telah melewatkan banyak momen dan kehilangan banyak hal berharga. Rangkaian penyiksaan di penjara Israel memang menyakitkan, namun keluar dari penjara dan menyadari bahwa tidak ada yang tersisa dari kehidupan sebelumnya juga tak kalah pedih.
Meskipun ribuan tawanan telah dibebaskan, ribuan tawanan lainnya masih mendekam di balik jeruji besi Israel. Banyak keluarga masih menunggu, bertanya-tanya bagaimana nasib orang tercinta mereka yang belum kunjung dibebaskan. Mereka hanya dapat menggali sedikit Informasi dari beberapa kesaksian tawanan yang dibebaskan, tentang penyiksaan, makanan yang tidak layak, serta pengabaian medis di penjara-penjara Israel. Keluarga yang masih menanti pembebasan orang-orang tercinta, kini hanya bisa berharap, semoga nanti akan ada kesempatan untuk memeluk orang terkasih mereka dalam keadaan hidup, bukan dikembalikan dengan kondisi terbungkus kain kantong jenazah.
Mereka Bebas dari Penjara, Bukan Bebas dari Penangkapan Berulang

Pada 13 Oktober 2025, Israel membebaskan 1.968 tawanan Palestina sebagai bagian dari fase pertama gencatan senjata, sedangkan kelompok perlawanan Palestina membebaskan 20 tahanan Israel sebagai imbalannya. Kantor Media Tawanan Palestina melaporkan bahwa 1.700 tawanan dari Penjara Negev dipulangkan ke Jalur Gaza, 96 tawanan dibawa ke Beitunia menggunakan bus Palang Merah Internasional (ICRC), dan sekitar 154 tawanan dideportasi ke Mesir.
Dari hampir 2.000 tawanan Palestina yang dibebaskan, di antaranya termasuk 250 tawanan politik Palestina yang menjalani hukuman seumur hidup. Berdasarkan data dari Al Jazeera, seluruh tawanan tersebut, kecuali sembilan orang, berasal dari Tepi Barat. Sebanyak 88 tawanan dipulangkan ke Tepi Barat, delapan orang dipulangkan ke Gaza, sedangkan 154 lainnya dideportasi ke Mesir karena Israel tidak ingin mereka disambut sebagai “pahlawan” atau “pemimpin” yang melawan penjajahan Israel.
Para tawanan yang dideportasi ke Mesir dilaporkan tinggal di sebuah hotel di Kairo di bawah pengawasan komisi resmi Palestina yang mengawasi urusan tawanan. Komisi tersebut melaporkan bahwa para tawanan ini belum memiliki paspor dan belum ada informasi lebih lanjut apakah mereka akan tetap berada di Mesir atau nantinya akan dipindahkan ke negara lain. Beberapa tawanan yang dideportasi antara lain Imad Qawasmeh, yang dituduh Israel sebagai komandan Hamas dan Basem Khandaqji, seorang penulis yang menciptakan novel dan puisi di penjara.
Kepulangan para tawanan seharusnya menjadi momen yang sangat membahagiakan bagi orang-orang tercinta yang menanti mereka. Akan tetapi, Israel mengancam keluarga para tawanan untuk tidak melakukan penyambutan dalam bentuk apa pun. Israel memerintahkan keluarga para tawanan untuk tidak membuat perayaan atau mengibarkan bendera Palestina di Tepi Barat dan Al-Quds bagian timur (Yerusalem Timur). Tak hanya itu, Israel juga melarang keluarga dari tawanan yang dideportasi untuk bepergian ke luar negeri, dengan tujuan agar mereka tidak bisa menemui orang terkasih mereka yang telah dibebaskan.
Dari ribuan tawanan yang dibebaskan, 1.718 di antaranya merupakan orang-orang yang ditangkap dan ditahan di Gaza selama genosida berlangsung. Kritikus Palestina menyatakan bahwa banyak tawanan tidak pernah menghadapi tuntutan resmi di pengadilan Israel, sehingga para kritikus menduga Israel menggunakan tawanan Palestina sebagai alat tawar menawar untuk pertukaran sandera dengan kelompok perlawanan Palestina. Beberapa tawanan ditangkap di pos pemeriksaan, yang lainnya ditangkap selama operasi militer. Selain itu, Israel juga menangkap ratusan tenaga medis, di antaranya Dr. Husam Abu Safiya, Direktur RS Kamal Adwan; Dr. Ahmed Muhanna, Direktur Rumah Sakit Al-Awda di Gaza utara dan Dr. Adnan Ahmad Al-Bursh, yang meninggal di balik jeruji besi Israel.
Investigasi yang dilakukan oleh The New York Times pada tahun 2024 mengungkap bahwa warga sipil Palestina yang ditahan di pangkalan militer Israel mendapat perlakuan yang sangat tidak layak. Israel melarang para tawanan untuk bertemu dengan pengacara, juga menghalangi para tawanan untuk mengajukan kasus mereka kepada hakim. Beberapa tawanan atau keluarga tawanan yang berhasil diwawancarai oleh The New York Times juga mengungkapkan penyiksaan yang dialami oleh para tawanan, seperti paksaan untuk menanggalkan pakaian, pemukulan, interogasi, juga pencegahan terhadap segala akses komunikasi.
Rangkaian penyiksaan yang Israel lakukan terhadap para tawanan Palestina membuat puluhan tawanan meninggal di balik jeruji besi. Komisi Urusan Tawanan dan Masyarakat Tawanan Palestina melaporkan bahwa 80 tawanan telah meninggal di penjara Israel sejak Oktober 2023, belum termasuk jenazah tawanan yang ditahan sebelum genosida Gaza. Jenazah tawanan yang ditahan Israel biasanya dikubur di “kuburan angka”. Sesuai namanya, “kuburan angka” membuat jenazah tawanan Palestina tidak dikenali lagi karena hanya ditandai dengan angka, tanpa identitas apa pun. Bagi Israel, nyawa para tawanan hanyalah statistik, mengabaikan kenyataan bahwa setiap individu juga memiliki kisah dan keluarga yang menanti kepulangan mereka.
Dalam ketentuan gencatan senjata, Israel berkomitmen untuk membebaskan 15 jenazah tawanan Palestina sebagai imbalan atas setiap jenazah tahanan Israel yang dikembalikan. Pada tahap pertama gencatan senjata, Israel mengembalikan hampir 200 jenazah tawanan Palestina. Akan tetapi, Dr. Ahmed Dheir, spesialis forensik senior di Rumah Sakit Nasser, melaporkan bahwa mayoritas jenazah yang dikembalikan menunjukkan tanda-tanda cedera traumatis, juga tidak dapat diidentifikasi karena Israel hanya mengembalikan jenazah dengan kode angka.
Meski ribuan tawanan telah kembali mendapatkan kebebasan mereka, namun bukan berarti hidup mereka telah bebas sepenuhnya dari ancaman. Tahani Mustafa, pakar Israel-Palestina di Dewan Eropa untuk Hubungan Luar Negeri (ECFR) mengatakan bahwa Israel cenderung untuk menangkap kembali tawanan Palestina yang telah dibebaskan. Contohnya, pada November 2023 lalu, Israel membebaskan 240 tawanan Palestina kemudian menangkap kembali 30 orang beberapa pekan kemudian. Ini menunjukkan bahwa komitmen pertukaran tawanan yang diajukan oleh Israel bukanlah kesepakatan yang berkelanjutan, namun hanya janji rapuh yang bisa kapan saja mereka langgar.
Dari Dokter Hingga Tokoh Politik, Penjara Israel Tak Mengenal Profesi

Hampir 2.000 tawanan Palestina telah dibebaskan dalam kesepakatan gencatan senjata, namun itu tidak bisa menutupi fakta bahwa hingga kini ribuan tawanan Palestina masih menderita di penjara-penjara Israel. Addameer, organisasi hak asasi manusia yang melacak tawanan Palestina menyebutkan bahwa sejak Oktober 2023, jumlah warga Palestina yang ditangkap oleh Israel telah meningkat dari 5.200 menjadi 11.100 orang. Sebagian besar tawanan ini berasal dari Tepi Barat, dan 400 di antaranya adalah anak-anak. Artinya, 2.000 tawanan yang dibebaskan barulah sebagian kecil dari keseluruhan tawanan, sebab 9.100 tawanan lainnya masih berada di balik jeruji besi Israel.
Di antara ribuan tawanan yang belum dibebaskan oleh Israel, ada beberapa tawanan yang memiliki peran penting bagi Palestina, baik secara politik maupun sosial. Berikut adalah beberapa tawanan tersebut:
Marwan Barghouti
Tokoh pertama adalah Marwan Barghouti (66). Lahir di kota Kobar, Tepi Barat pada tahun 1962, beliau merupakan salah satu tokoh politik yang pernah menjadi sekretaris jenderal Fatah dan terpilih menjadi Dewan Legislatif Palestina pada 1996. Israel menangkap Barghouti pada 2002 setelah menuduhnya sebagai dalang Intifada Kedua. Pada tahun 2004, Israel kembali menuduh Barghouti melakukan pembunuhan–meski tuduhan ini telah ditolak–dan kini Barghouti menjalani lima hukuman seumur hidup di penjara Israel.
Barghouti sering disebut sebagai “Mandela Palestina” karena pengaruh dan kualitas kepemimpinannya. Ia bahkan diprediksi akan menjadi kandidat kuat presiden Palestina jika ia bisa mencalonkan diri dalam pemilihan umum. Putra Barghouti, yang berkesempatan mengunjungi ayahnya baru-baru ini, mengatakan bahwa otoritas penjara Israel tengah melakukan upaya pembunuhan terhadap ayahnya melalui serangan fisik dan kelalaian medis yang disengaja, yang diduga sebagai pembalasan atas sikap dan pengaruh politiknya. Meski Barghouti dipandang sebagai tokoh yang mampu untuk menyatukan warga Palestina, namun presiden AS, Donald Trump, belum memberikan kejelasan akan pembebasannya dan mengatakan akan mempertimbangkan keputusan terlebih dahulu.
Dokter Hussam Abu Safiya


Tokoh kedua adalah Dr. Hussam Abu Safiya (51). Lahir pada 1973 di Jabalia, Gaza utara, Dr. Abu Safiya merupakan dokter anak yang memegang gelar magister dan sertifikasi dewan Palestina dalam bidang pediatri dan neonatologi. Dr. Abu Safiya, yang dikenal dengan panggilan Abu Elias, juga merupakan Direktur Rumah Sakit Kamal Adwan di Beit Lahiya. Sebagai tenaga medis, Dr. Abu Safiya merupakan individu yang sangat berdedikasi dalam bidangnya. Ketika Israel mengepung Rumah Sakit Kamal Adwan pada akhir 2024, ia menolak untuk meninggalkan rumah sakit, yang membuatnya ditangkap oleh pasukan Israel. Israel menuduhnya terlibat dalam “kegiatan teroris” tanpa memberikan bukti apa pun.
Direktur Jenderal Kementerian Kesehatan di Gaza, Munir al-Barsh, mengatakan Dr. Abu Safiya dipukuli dengan tongkat dan pentungan oleh pasukan Israel, kemudian mereka memaksanya untuk menanggalkan pakaian dan mengenakan pakaian yang diperuntukkan bagi tawanan. Organisasi Kesehatan Dunia mengatakan bahwa pihaknya kehilangan kontak dengan Dr. Abu Safiya setelah serangan tersebut.
Gheed Kassem, pengacara Dr. Abu Safiya, menyatakan bahwa kliennya sempat ditawan di penjara Sde Teiman, penjara yang terkenal karena penyiksaan yang kejam terhadap tawanan Palestina. Dari sana, ia dipindahkan ke penjara Ofer dan dilaporkan mengalami kondisi kesehatan yang menurun akibat situasi kebersihan dan sanitasi yang buruk, makanan yang tidak layak, penyiksaan, juga pengabaian medis meski Dr. Abu Safiya telah meminta kunjungan dokter karena merasakan sakit di jantungnya.
Ahmad Saadat

Tokoh ketiga adalah Ahmad Saadat (72). Lahir pada tahun 1953 di Al-Bireh, dekat Ramallah di Tepi Barat, beliau pernah menjadi sekretaris jenderal Front Populer untuk Pembebasan Palestina (PFLP). Pada tahun 2001, Saadat diangkat menjadi pemimpin PFLP setelah Israel membunuh pendahulunya, Abu Ali Mustafa. PFLP kemudian menanggapi pembunuhan tersebut dengan menargetkan Rehavam Zeevi, menteri pariwisata sayap kanan Israel pada saat itu. Israel kemudian menuduh Saadat sebagai dalang serangan balas dendam terhadap Zeevi, sehingga mereka menangkapnya dan menjatuhi hukuman selama 30 tahun dengan dakwaan terorisme.
Abdullah Barghouti

Tokoh keempat adalah Abdullah Barghouti (53), yang tidak memiliki hubungan keluarga sama sekali dengan Marwan Barghouti. Lahir di Kuwait pada tahun 1972, Barghouti menjadi tawanan yang menjalani hukuman penjara terlama dibanding tawanan mana pun saat ini. Ia dikenal sebagai pembuat bom utama Hamas, terlibat dalam sayap bersenjata Brigade Al-Qassam, dan dituduh terlibat dalam serangan pada awal tahun 2000-an.
Israel menangkap Barghouti pada tahun 2003 dan menjatuhinya 67 hukuman seumur hidup dan 5.200 tahun penjara. Barghouti dilaporkan telah menghabiskan sekitar 23 tahun di sel isolasi dan mengalami penganiayaan fisik yang parah oleh Israel sehingga menyebabkan banyak patah tulang.
Empat tokoh yang disebutkan di atas hanyalah sebagian kecil dari banyak tawanan yang memiliki pengaruh besar bagi Palestina dalam berbagai bidang. Ini menunjukkan bahwa Israel tidak menangkap dan membebaskan penduduk Palestina secara acak, namun sudah memiliki pola dan perencanaan tersendiri. Israel menjatuhi hukuman yang panjang kepada individu-individu yang mereka anggap “mengancam” tindakan mereka, juga melakukan penganiayaan secara fisik maupun pelecehan untuk merendahkan para tawanan. Hingga kini, penduduk Palestina dan dunia masih menuntut pembebasan dari tokoh-tokoh Palestina tersebut, juga tetap memperjuangkan kebebasan bagi ribuan tawanan lainnya yang masih berada di penjara Israel.
Tawanan Palestina Terancam Hukuman Mati, Perjuangan Belum Boleh Berhenti

Ribuan tawanan yang dibebaskan dalam gencatan senjata tidak membuat kondisi tawanan lepas dari ancaman. Belum lama ini, dalam video yang beredar, Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben-Gvir, menyerukan eksekusi terhadap tawanan Palestina ketika ia sedang berkunjung ke penjara Israel. Ia juga menghasut petugas penjara untuk terus melakukan “genosida sistematis”l, juga menyatakan bahwa tawanan Palestina “pantas mendapatkan hukuman mati”. Pernyataan Ben-Gvir tersebut muncul bersamaan dengan “langkah legislatif berbahaya” parlemen Israel, Knesset, yang akan membahas rancangan undang-undang yang mengizinkan penjatuhan hukuman mati bagi pihak yang dianggap melakukan tindakan terorisme.
Ben-Gvir telah lama menyerukan hukuman mati terhadap tawanan Palestina dan diberlakukannya penyiksaan yang lebih kejam terhadap mereka. Di bawah pengawasannya, para tawanan Palestina menghadapi penyiksaan yang semakin parah di penjara Israel, baik secara fisik maupun verbal. Penyiksaan-penyiksaan terhadap tawanan terlihat dari kondisi jenazah yang dikembalikan, juga dari kesaksian para tawanan yang telah dibebaskan. Kelompok hak asasi manusia internasional telah memperingatkan bahwa penggunaan hukuman mati semacam itu oleh Israel seringkali didasarkan pada “alasan yang sangat samar atau tidak berdasar.”
Asosiasi tawanan dan kelompok hak asasi manusia mengatakan bahwa kondisi di penjara-penjara Israel merupakan perpanjangan dari genosida yang lebih luas yang dilakukan terhadap warga Palestina. Tidak seperti genosida Gaza yang ditampilkan secara terang-terangan, penyiksaan di penjara Israel jelas lebih sulit terekam oleh media karena ketatnya kunjungan yang diizinkan. Akan tetapi, jenazah-jenazah yang dikembalikan dalam kondisi tak berbentuk, kondisi fisik dan psikologis para tawanan yang berubah drastis, termasuk luka bakar, memar, dan bekas pukulan yang tampak di tubuh para tawanan, telah menjadi bukti kondisi penjara Israel yang tidak manusiawi. Hingga kini, ribuan tawanan Palestina masih terjebak di penjara Israel, terputus dari dunia luar. Maka euforia atas gencatan senjata yang rapuh, adalah kebahagiaan yang terlalu prematur. Gencatan senjata bukanlah kebebasan, sehingga jangan sampai membutakan kita dari kenyataan bahwa perjuangan belum usai. Jalan masih sangat panjang, ribuan tawanan masih membutuhkan suara dan tindakan nyata. Perlawanan harus terus berjalan, hingga seluruh tawanan mendapatkan kebebasan abadi mereka di tanah air yang merdeka.
#FreeThemAll #FreePalestine
Salsabila Safitri, S.Hum.
Penulis merupakan Relawan Departemen Penelitian dan Pengembangan Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana jurusan Sastra Arab, FIB UI dan saat ini sedang menempuh pendidikan magister di program studi linguistik, FIB UI.
Sumber:
Al Jazeera
Anadolu Agency
Islamic Relief
Le Monde France
Middle East Eye
Reuters
The Conversation
The New Arab
The Guardian
The New York Times
Quds News Network
+972 Magazine







