\Sejarawan Yahudi asal Oxford University, Prof. Avi Shlaim, secara terbuka mengecam Israel dan memuji perlawanan Palestina. Dalam wawancara dengan Haaretz, Shlaim menegaskan berulang kali bahwa rakyat Palestina, termasuk Hamas, memiliki hak untuk melawan pendudukan.
“Membunuh warga sipil itu salah, titik,” ujarnya. “Namun Palestina hidup di bawah pendudukan. Mereka memiliki hak untuk melawan, termasuk dengan perlawanan bersenjata. Serangan awal Hamas ditujukan pada basis militer dan membunuh tentara, polisi, serta aparat keamanan. Itu bukan kejahatan perang.”
Shlaim mengecam serangan brutal Israel setelah operasi perlawanan 7 Oktober sebagai “hal yang sepenuhnya gila dan irasional.” Menurutnya, meski Israel mengklaim berhak membela diri, responsnya harus tetap dalam batas hukum internasional. “Saya mengutuk respons Israel terhadap serangan itu,” katanya.
Ia menekankan bahwa sejak awal pendiriannya, Israel sudah melakukan ketidakadilan besar terhadap Palestina. “Pembentukan negara Israel melibatkan pembersihan etnis terhadap rakyat Palestina pada 1948. Pada Juni 1967, Israel melanjutkan pendudukannya dengan kekuatan militer. Palestina adalah korban dari proyek Zionis.”
Shlaim juga menolak ideologi zionisme. “Di sekolah versi Zionis, saya belajar tentang konflik dan menerimanya tanpa pertanyaan. Kami diajarkan bahwa Israel adalah negara kecil yang cinta damai dikelilingi oleh Arab yang bermusuhan. Saya percaya kami tak punya pilihan selain berperang,” kenangnya. Namun pandangannya berubah seiring waktu. “Israel sejak awal adalah gerakan kolonial pemukim,” tegasnya.
Menurut Shlaim, Hamas merupakan ekspresi sah dari perlawanan Palestina dan Arab. “Hamas adalah bagian integral dari masyarakat Arab. Tak ada solusi yang bisa mengabaikan Hamas. Hamas sendiri menegaskan bahwa masalahnya bukan dengan orang Yahudi, melainkan dengan Israel dan zionisme.”
Ia juga mengutuk blokade Israel atas Gaza. “Israel menolak memberi bantuan kemanusiaan dan terus menggunakan kelaparan sebagai senjata perang. Jika itu bukan genosida, saya tidak tahu lagi apa. Intinya ada pada niat. Dalam Perang Dunia II, orang Yahudi adalah korban tak berdaya Nazi Jerman. Hari ini, Palestina adalah korban tak berdaya.”
Shlaim menilai tanggung jawab atas kejahatan perang tidak hanya berada di tangan Netanyahu. “Benjamin Netanyahu bukan diktator. Ia terpilih sebagai perdana menteri. Jadi masyarakat Israel secara keseluruhan ikut bertanggung jawab. Hari ini, rasisme di Israel tak lagi tersembunyi, tetapi diucapkan secara terbuka, dari pemimpin hingga rakyat.”
Ia juga menyoroti peran kekuatan Barat. “Inggris meletakkan dasar bagi Nakba dan mengkhianati Palestina. Deklarasi Balfour mengabaikan hak 90 persen penduduk asli, yaitu orang Palestina.”
Shlaim bahkan mendukung penghapusan Hamas dari daftar teroris di Inggris. “Hamas menjalankan haknya di bawah hukum internasional untuk melawan pendudukan Israel. Saya tidak mendukung Hamas dalam hal lain, tapi saya mempelajari sejarah dan perjuangannya untuk mengembalikan penentuan atas nasib sendiri”
Mengenang latar belakang Iraknya, Shlaim menggambarkan keluarganya sebagai orang Arab lebih dulu, Yahudi kemudian. “Kami hidup berdampingan dengan Arab. Itu bukan imajinasi yang jauh, tapi kenyataan sehari-hari sebelum Zionisme dan pendirian Israel.” Namun setelah pindah ke Israel, keluarganya dipinggirkan. “Kami dipaksa melepas identitas Arab kami dan dilempar ke negara asing yang didominasi Ashkenazi.”
Kini, Shlaim menilai tidak ada lagi perbedaan bermakna antara Israel “yang sah” dan Israel di Tepi Barat. “Ini adalah apartheid dan supremasi Yahudi. Saya telah bergeser dari posisi tengah menjadi sikap yang lebih tegas.”
Ia menutup dengan peringatan keras: “Israel akan menyesali perang melawan Hamas, karena penerus Hamas akan lebih militan lagi. Israel tidak menyukai orang Palestina moderat; justru mereka dianggap ancaman. Israel melemahkan mereka dan membuka jalan bagi tokoh yang lebih ekstrem.”