Bulan Oktober menandai masa panen di Palestina, tak terkecuali di Gaza. Di rumah keluarga Shahin di lingkungan Shuja’iyya di timur kota Gaza, seluruh anggota keluarga berpartisipasi dalam masa panen. Mereka menghabiskan akhir pekan bersama-sama dengan memetik zaitun, bahkan turut serta memprosesnya hingga menjadi minyak lezat untuk hidangan yang mereka nikmati.
Keluarga Shahin memiliki lahan seluas sebelas hektar yang dipenuhi sekitar 300 pohon zaitun. Setiap hari pada musim panen, para ibu di keluarga itu menunggu anak-anak mereka pulang dari sekolah dengan hidangan di meja. Anak-anak segera menyantap makan siang kemudian bersiap untuk bekerja. Dari sore hingga matahari terbenam, seluruh keluarga bekerja keras di masa panen. Anak laki-laki akan menaiki tangga yang tinggi dan memetik buah zaitun dari atas pohon kemudian menjatuhkannya, sementara saudari perempuan dan ibu mereka memungut dan mengumpulkan buah zaitun, langsung memisahkan zaitun hitam dan hijau di kantong plastik yang berbeda.

Keluarga Shahih memanen pohon zaitun di Gaza, Oktober 2022 (Foto: Mohammed Salem)
“Saat mencelupkan potongan roti pertama ke dalam minyak yang kami buat, saya merasa semua upaya yang kami lakukan untuk memanen telah mencair,” kata Amr Shahin, 13, yang turut berpartisipasi dalam panen. Ia menikmati waktu yang ia habiskan untuk memetik zaitun bersama para sepupu yang seumuran dengannya. Sambil memetik zaitun, mereka mengobrol dan tertawa-tawa.
Memanen zaitun bagi keluarga Shahin, sebagaimana keluarga Palestina lainnya, lebih dari sekedar proses produksi. Sejak proses penanaman hingga panen, zaitun telah menjadi tradisi keluarga Palestina yang diwariskan dari satu generasi ke generasi. Dari buah yang diproses secara cepat menjadi acar yang langsung dapat dikonsumsi, diolah hingga menghasilkan minyak, ataupun diproses menjadi sabun, zaitun sangat lekat dengan tradisi Palestina yang bersejarah.
Menurut data Biro Pusat Statistik Palestina, pada tahun 2019 sekitar 177.000 ton zaitun diperas di Palestina dan menghasilkan 39.600 ton minyak zaitun – kira-kira 30.000 liter (7.925 galon). Provinsi Jenin, Tubas dan Lembah Utara menghasilkan jumlah minyak zaitun tertinggi yaitu 10.442 ton, diikuti oleh Tulkarm (6.031 ton) dan Gaza (5.582 ton).
Nilai perdagangan yang dihasilkan dari sektor zaitun, menurut Pusat Perdagangan Palestina, PalTrade, berkisar antara $160 juta dan $191 juta pada tahun-tahun panen yang baik. Sementara itu, sekitar 100,000 keluarga Palestina bergantung pada pendapatan dari perkebunan zaitun mereka, yang telah dibudidayakan di seluruh Palestina selama ribuan tahun dan telah menjadi simbol ketahanan Palestina terhadap pendudukan Israel.
Penjajahan yang Mengubah Habitat Alam dan Tradisi Pertanian
Di Tepi Barat, Palestine Heirloom Library didirikan sebagai sebuah inisiatif untuk melestarikan benih asli pertanian Palestina. Inisiatif ini melambangkan keyakinan mendasar bahwa pertanian benar-benar terdiri dari ‘agri’ atau praktik pertanian tradisional, dan ‘culture’, yaitu tradisi gaya hidup dan mata pencaharian terkait yang penting bagi identitas komunitas.
Vivie Sansour, pendiri inisiatif ini mengatakan bahwa ia telah menghabiskan puluhan tahun mencari varietas benih pusaka untuk disimpan dan diperbanyak tidak hanya sebagai benih, namun juga sebagai cerita budaya. Terutama karena, “Ritual, praktik, metode, yang telah kami gunakan selama berabad-abad, telah kami warisi dari nenek moyang kami,” jelasnya.

Vivien Sansour bersama Khader dan Abu Diaa, petani yang berpartisipasi dalam upaya Palestine Heirloom Library.
(Sumber: +972Magazine)
Menurut Sansour, petani adalah ilmuwan dan seniman pada saat yang sama. Agar dapat mengembangkan hasil pangan, mereka juga harus mengajukan pertanyaan dan melakukan berbagai observasi. Sementara itu, mereka juga harus membayangkan kemungkinan baru dan mencobanya, sebagaimana yang dilakukan seniman.
“Kombinasi seniman dan ilmuwan ini menciptakan budaya sehingga hal-hal yang mereka kembangkan selama ribuan tahun menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari, praktik kita sehari-hari. Itulah warisan kita: apa yang nenek moyang kita kembangkan agar kita bisa bertahan hidup dan dapat menikmati hidangan,” katanya.
Vivien Sansour tumbuh di Beit Jala, yang saat ini dipenuhi berbagai bangunan yang tidak menarik. Tetapi dulunya, kata Vivien, wilayah itu penuh terasering dengan berbagai keanekaragaman hayati dan habitat alami yang istimewa. Namun yang mengubah habitat ini adalah penjajahan.
Sejak berada di bawah penjajahan, Israel menyangkal kedaulatan pangan Palestina dengan berbagai kebijakan yang membuat orang Palestina tidak dapat memproduksi bahan makanan mereka sendiri. Atau singkatnya, dengan menghancurkan sektor pertanian.

Pohon zaitun ditumbangkan oleh pemukim Israel, di Tepi Barat pada 13 Januari 2021
(Sumber: Issam Rimawi/Anadolu Agency)
Di Tepi Barat, penghancuran pertanian Palestina paling nyata terlihat dalam serangan sistematis pemukim Israel yang didukung oleh tentara, terutama selama musim panen zaitun. Pada Bulan Oktober 2022 saja, terhitung hampir 1.200 serangan digencarkan terhadap warga Palestina oleh pasukan pendudukan Israel dan pemukim Israel di seluruh Tepi Barat. Sebagian besar terjadi di Hebron, diikuti oleh Nablus dan kemudian Ramallah.
Bentuk serangan termasuk perampasan tanah dengan kekerasan, kampanye penangkapan, perusakan lahan pertanian, dan penutupan kota yang mengakibatkan korban luka. Laporan juga menunjukkan bahwa serangan mencakup perusakan dan pencabutan sekitar 1.584 pohon zaitun oleh pemukim ilegal Yahudi, sebuah upaya yang secara sistematis telah mereka lakukan bertahun-tahun untuk mengancam pertanian dan kedaulatan pangan Palestina. Terhitung sejak 1967, sekitar 1 juta pohon zaitun telah dicabut oleh otoritas Israel.
Meski demikian, petani Palestina tidak pernah menyerah: “Kami akan tinggal di sini sampai Palestina bebas,” kata Hafez Hureini, 51, seorang petani yang baru-baru ini mengalami kekerasan oleh pemukim Yahudi.
Hureini mengalami kekerasan oleh pemukim sekitar akhir September 2022, saat ia sedang bekerja merawat lahan milik keluarganya di Desa at-Tuwani, Provinsi Hebron. Secara tiba-tiba, lima orang pemukim Israel bertopeng bersenjatakan senapan MI6, tongkat pemukul dan pipa logam, muncul dari pos pemukiman ilegal terdekat dan menyerangnya. Hureini yang terdesak berupaya membela diri dengan sekop, namun kekuatannya tidak seberapa. Kedua lengannya patah akibat serangan pemukim pada hari itu.
Saat pemukim mulai menembak, Hureini kemudian menggunakan semua tenaga yang tersisa untuk melarikan diri dan menantikan ambulans Palestina. Meski demikian, ambulans tiba bersamaan dengan datangnya sekelompok tentara Israel dan para pemukim yahudi yang berbalik menuduh korban sebagai penyerang. Tentara kemudian langsung menahan Hureini bahkan menghancurkan tandu tempat dia berbaring, menyayat ban ambulans dan menyerang kru medis.
Pada akhirnya, Hafez Hureini ditahan dengan tuduhan upaya pembunuhan terhadap pemukim. Ia mendapatkan seorang pengacara, namun hanya diperbolehkan berbicara sebentar dengannya, dan dilarang hadir selama interogasi. Selama 10 hari penahanannya, Hureini harus menghadapi pengalaman menyakitkan pengangkutan dari dan ke pengadilan dengan diborgol ke kursi besi, selain juga mengalami penyiksaan secara fisik. Dia kemudian dibebaskan setelah 10 hari, dengan jaminan 10.000 shekel ($2.890) dan mendapat larangan untuk bekerja di tanah pertaniannya sendiri selama 30 hari. Sementara itu, tak satu pun dari lima pemukim yang terlibat telah ditangkap atau bahkan diinterogasi.

Petani Palestina berusia 51 tahun Hafez Hureini (Sumber: MEMO)
Hafez Hureini yang lahir dan dibesarkan di At-Tuwani di wilayah Masafer Yatta, Provinsi Hebron di Tepi Barat, juga adalah seorang aktivis hak asasi manusia terkemuka. Selama bertahun-tahun ia telah mengamati bahwa serangan pemukim dan pasukan, termasuk ke lahan pertanian Palestina merupakan bagian dari pembersihan etnis Israel. Hureini mencatat bahwa 60% dari lahan keluarganya telah dicuri dan diserahkan kepada pemukim Israel.
Masafer Yatta, yang berada di selatan Hebron dan termasuk dalam Area C, merupakan 60 persen dari wilayah Tepi Barat yang berada di bawah kendali militer dan administratif Israel. Daerah tersebut tidak terhubung dengan jaringan air dan listrik sebagaimana pemukiman ilegal dan pos-pos di sekitarnya. Israel melarang warga Palestina di daerah itu untuk membangun atau menghubungkan properti mereka dengan layanan publik, membatasi akses mereka ke padang rumput untuk menggembala, dan menyerang lahan-lahan pertanian.
“Dari tahun delapan puluhan hingga hari ini, Israel melanjutkan kebijakan apartheid dan pembersihan etnis melalui administrasi militer yang mengatur dan mengendalikan kami. Tanah kami disita dan dicuri; daerah ditutup untuk orang Palestina; dan pos pemeriksaan militer ditempatkan di pintu masuk desa. Kami juga menghadapi rentetan hinaan dan pelecehan yang terus-menerus.” kata Hureini. “Namun, kami tidak akan menghentikan protes damai kami bahkan ketika mereka mencoba mengusir kami dari tanah kami. Bagi kami, begitulah hidup, sampai Palestina merdeka.”
Resistensi Tanpa Kekerasan
Dari Bil’in, sebuah desa di Ramallah, petani lainnya, Mohab Alami, mengatakan, “Saya pikir bertani dan tetap bertahan di daerah ini adalah resistensi tanpa kekerasan.”
Tergantung pada musimnya, Kebun Om Sleiman yang ia kelola bersama rekannya, Yara Duwani, menanam brokoli, jahe, kunyit, kangkung dan semangka, serta buah-buahan dan sayuran lainnya. Ia mengklaim sebagai satu-satunya pertanian di Tepi Barat yang menanam ubi jalar organik.

Yara Duwani dan Mohab Alami berdiri di pintu masuk pertanian agroekologi mereka, Om Sleiman, di Bil’in, Ramallah (Sumber: Al Jazeera)
Om Sleiman dimulai sebagai sebuah program agroekologi dengan berbasis dukungan masyarakat. Agroekologi adalah pendekatan pertanian yang mencoba meminimalisir dampak lingkungan. Pertanian ini juga menghubungkan petani secara langsung dengan para konsumen, sehingga masyarakat memiliki akses langsung terhadap hasil pertanian untuk mendukung kebutuhan pangan mereka. Tujuannya adalah untuk merebut kembali kedaulatan pangan dan menjauh dari produk Israel yang banyak dijual di pasar lokal.
Alami mengatakan bahwa mereka memilih Bil’in sebagai lokasi pertanian sebagai upaya melanjutkan tradisi ‘perlawanan tanpa kekerasan’ atas daerah itu. Sebelumnya, desa itu telah kehilangan sebidang tanah yang luas akibat pembangunan permukiman Israel di dekatnya. Melalui perjuangan damai lewat demonstrasi dan berbagai pengadilan, mereka berhasil mempertahankan sebagian lahan sehingga banyak dikutip sebagai sebuah model pertahanan pertanian Palestina.
Menurut Biro Pusat Statistik Palestina, pada tahun 2003, sebanyak 45% penduduk Palestina bekerja di bidang pertanian, termasuk kehutanan dan perikanan. Namun pada 2017, persentasenya turun menjadi 14 persen. Khusus di Tepi Barat, data menunjukkan 30% penduduk bekerja di pertanian pada 2013, meskipun hanya 16 persen yang bertahan di industri pada 2017. Penyebab penurunan dramatis tersebut, menurut Alami, adalah karena perintah penggusuran paksa Otoritas Israel, kekerasan pemukim, dan kontrol Israel atas sumber daya air mereka.
Untuk itu, inisiatif pertanian kecil yang dipimpin masyarakat seperti Om Sleiman sangat signifikan bagi masyarakat Palestina dalam menghadapi upaya Israel yang terus memperluas upaya pemukiman di berbagai wilayah yang secara tradisional merupakan ‘food basket/keranjang pangan’ Palestina, yaitu Area C di Tepi Barat. Wilayah itu memiliki 63% sumber daya pertanian Palestina, namun telah mengalami banyak penyusutan selama beberapa dekade, akibat berbagai taktik intimidasi serta penghancuran langsung oleh pasukan Israel.

Area C dengan 63% sumber daya pertanian Palestina merupakan wilayah yang berada dibawah kontrol Otoritas Israel. (Ilustrasi oleh Nadine Fattaleh. Sumber: Science for the People)
Oleh karena itu, berbicara tentang dampak penjajahan pada praktik pertanian Palestina, Vivien Sansour mengatakan, “Saya tidak terinspirasi oleh para pemimpin dunia yang hebat,” kata Sansour. “Saya sangat terinspirasi oleh para petani yang terus menanam, mengolah, dan memberi makan dunia. Ada begitu banyak kekuatan yang bekerja melawan mereka, namun mereka tetap bersemangat.”
Lebih lanjut, ia mengatakan: “Petani yang dapat memproduksi makanan mereka sendiri dan membuat benih mereka sendiri merupakan ancaman bagi kekuatan hegemonik yang ingin mengendalikan populasi. Jika kita mandiri, kita benar-benar memiliki lebih banyak ruang untuk menikmati [tanaman kita] sendiri, untuk menciptakan sistem kita sendiri, untuk menjadi lebih subversif.” (IHHU)
Sumber:
https://www.#/20221101-israel-almost-1200-attacks-against-palestinians-in-october/
https://www.aljazeera.com/news/2021/10/14/infographic-palestines-olive-industry
In-pictures-gazas-olive-harvest-from-farm-to-table
https://www.aljazeera.com/amp/news/2019/2/15/working-towards-food-sovereignty-in-palestine
https://www.juancole.com/2020/10/israeli-destroyed-palestinian.html
https://www.972mag.com/seeds-of-resistance-the-woman-fighting-occupation-through-agriculture/
https://socialistproject.ca/2022/06/farming-food-struggles-palestine/
https://www.#/20221031-israel-bans-palestinian-farmers-from-their-land-destroy-180-olive-trees/
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini








