Pada akhir Oktober lalu, salah satu jurnalis Palestina merasakan kebanggaan sekaligus kekecewaan dalam satu waktu. Dia adalah Shatha Hammad, seorang perempuan jurnalis Palestina yang bekerja di bawah naungan media Middle East Eye sejak 2018. Namanya menjadi kebanggaan bagi para jurnalis dan penduduk Palestina ketika Thomas Reuters Foundation mengumumkan namanya sebagai penerima penghargaan dari Kurt Schork Awards, penghargaan bergengsi untuk jurnalis berprestasi.
Hammad memperoleh penghargaan tersebut atas kerja kerasnya meliput penjajahan Israel dan serangan terhadap warga sipil Palestina di Tepi Barat. Dalam melakukan tugasnya, Hammad telah melewati berbagai rintangan, seperti ditahan di pos pemeriksaan tentara Israel dan dilecehkan oleh tentara. Akan tetapi, hal tersebut tidak pernah membuat Hammad berhenti untuk terus menyuarakan kebenaran.

Shatha Hammad (https://www.middleeasteye.net)
“Saya mencoba untuk fokus pada detail kehidupan sehari-hari warga Palestina,” kata Hammad ketika ia menerima penghargaan. “Kehidupan abnormal ini, yang selama bertahun-tahun mengalami penjajahan, telah menjadi normal dan rutin. Meskipun penghargaan ini penting pada tingkat profesional dan pribadi, penghargaan ini juga tertuju kepada warga Palestina yang berjuang di bawah ketidakadilan dan penjajahan, karena membuat suara mereka didengar.” tambahnya.
Ia juga memperoleh pujian dari Meera Selva, CEO Internews Eropa yang menjadi salah satu juri. “Kami telah melihat harga yang harus dibayar oleh jurnalis Palestina untuk meliput. Shatha Hammad telah berfokus untuk memberikan suara kepada mereka yang ada di lapangan.” kata Selva, memberikan apresiasi kepada Hammad yang pantang menyerah mengungkap penjajahan yang terjadi di Palestina, meski membahayakan keselamatannya sendiri.
Lubna Masarwa, kepala biro MEE Al-Quds (Yerusalem) tempat Hammad bekerja, juga turut memberikan komentar: “Shatha Hammad mengidentifikasi masalah politik yang penting, kemudian melaporkannya melalui mereka yang terkena dampak, melihat langsung apa yang dialami orang-orang, bukan dari pandangan politisi. Bekerja di sebuah desa dekat Ramallah, dia tidak hanya menulis tentang Tepi Barat dengan keseimbangan dan objektivitas, tetapi dia juga sangat terlibat di dalamnya.”
“Sebagai orang Palestina, dia tunduk pada pembatasan pergerakan dan kekacauan yang sama seperti warga Palestina lainnya. Dia tidak memiliki kekebalan dari halangan atau kekerasan, baik itu dari pasukan Israel atau Otoritas Palestina (PA). Ini juga sangat menantang bagi seorang perempuan Palestina untuk berkomitmen pada pekerjaan seperti itu. Tapi semua ini tidak menghentikan Shatha untuk melaporkan semua peristiwa di lapangan.” tambahnya.
Nahas, laksana membalik telapak tangan, semua penghargaan dan puja-puji yang Hammad peroleh bagai menguap tak bersisa. Tak sampai 48 jam setelah penghargaan tersebut disematkan ke Hammad, ia menjadi korban kampanye kotor yang menjadi titik balik karirnya sebagai jurnalis, lebih tepatnya sebagai jurnalis yang aktif menyuarakan hak-hak penduduk Palestina dan menentang penjajahan Israel.
Tak berselang lama setelah nama Hammad ditetapkan sebagai penerima penghargaan, kelompok Zionis “mengancam” Reuters dan Kurt Schork Fund selaku pemberi penghargaan. Kelompok tersebut “menggali” media sosial Hammad, kemudian mengambil beberapa postingan media Hammad pada 2014, sebelum Hammad aktif berkarir sebagai jurnalis.
Dengan memberikan “bumbu-bumbu”, kelompok Zionis menyerahkan postingan tersebut kepada pihak pemberi penghargaan, menyatakan bahwa apa yang diangkat Hammad di akun media sosialnya mengandung “anti-semitisme” dan “mendukung Hitler”. Tuduhan tersebut dibantah secara langsung oleh Hammad, bahkan dia mengatakan bahwa postingan di media tersebut telah direkayasa.
Sayangnya, Hammad kalah suara. Kurt Schork yang berada di bawah tekanan kemudian membatalkan penghargaan Hammad, seolah tidak ada yang terjadi. Tak berhenti sampai di sana, media Middle East Eye tempat Hammad bekerja juga mengumumkan memutuskan hubungan dengan Hammad. Inilah kisah nyata dari Shatha Hammad, salah satu di antara sekian banyak jurnalis Palestina lainnya yang mengalami “serangan” serupa.
Jurnalis Palestina, Para Perisai Kebenaran

Layaknya perisai, para jurnalis Palestina adalah penangkal kepalsuan dan kebohongan. Mereka tidak selalu berdiri paling depan ketika terjadi serangan, tapi mereka selalu tahu bagaimana caranya “menyerang balik” ketika diperlukan. Shatha Hammad adalah salah satunya, tapi bukan satu-satunya jurnalis Palestina yang bernasib miris.
Pada awal Oktober, sebelum kasus Hammad, seorang jurnalis Palestina yang bekerja untuk New York Times juga mengalami serangan serupa. Hosam Salem adalah seorang jurnalis foto yang berasal dari Gaza. Sama seperti Shatha Hammad, Hosam Salem juga telah bekerja di media besar tersebut sejak 2018.
Selama berkarir di New York Times, Salem telah meliput berbagai peristiwa penting di Gaza, seperti protes mingguan di pagar perbatasan dengan Israel. Dia juga melakukan penyelidikan atas pembunuhan Israel terhadap perawat lapangan Razan Al-Najjar, dan agresi Israel Mei 2021 di Jalur Gaza, yang menewaskan sedikitnya 254 warga Palestina, termasuk 66 anak-anak, 39 perempuan dan 17 lansia.
Akan tetapi, prestasi dan kontribusinya dalam dunia jurnalistik tidak membuat nasibnya menjadi lebih baik dari Hammad. Pada awal Oktober 2022, New York Times menyatakan telah memecat Hosam Salem, yang kemudian dikonfirmasi lagi oleh Salem melalui akun Twitternya.

Hosam Salem (https://mondoweiss.net/)
Lagi-lagi, Salem juga menjadi target kelompok Zionis. Salem mengatakan bahwa kelompok Zionis mengambil salah satu postingan media sosialnya yang menunjukkan perlawanan penduduk Palestina terhadap penjajah Israel. Kelompok Zionis kemudian menyatakan bahwa hal tersebut mengandung “anti-semitisme” dan “terorisme”, sehingga New York Times yang tertekan kemudian memecat Salem dengan alasan “telah mendukung gerakan perlawanan”. Tak hanya itu, Salem juga mengungkapkan bahwa New York Times juga mencegah kantor media internasional lainnya untuk menerima Salem.
Sebulan sebelum Shatha Hammad dan Hosam Salem kehilangan pekerjaannya sebagai jurnalis, Israel juga telah menahan seorang jurnalis Palestina, Lama Ghosheh. Pasukan Israel menangkap Ghosheh di rumahnya yang terletak di lingkungan Sheikh Jarrah setelah menggeledah dan menyita telepon seluler dan laptopnya, melumpuhkan semua hal yang berhubungan dengan pekerjaannya. Saksi mata mengatakan bahwa Ghosheh dibawa ke pusat interogasi Al-Maskobiya untuk menjalani penyelidikan.

Lama Ghosheh (https://english.wafa.ps/)
Lama Ghosheh merupakan seorang peneliti di Museum Palestina di Birzeit dan sedang menempuh pendidikan master. Ghosheh juga bekerja sebagai jurnalis untuk saluran ART, situs web Al-Qastal, dan Elia Foundation. Ia merupakan seorang ibu dari dua orang anak yang masih balita, yang kini dipisahkan darinya karena ia harus mendekam di penjara.
Sepanjang bulan September, Israel telah memperpanjang masa penahanan Ghosheh sebanyak lima kali, setelah menjalani dua kali sidang. Tak hanya menghalangi Ghosheh dari karirnya, pasukan Israel juga melakukan kekerasan terhadap Ghosheh selama masa penahanannya di penjara. Penangkapan terhadap Ghosheh diduga karena profesinya sebagai jurnalis yang kerap menentang kebijakan pengambilalihan paksa Israel terhadap rumah-rumah penduduk Palestina di Sheikh Jarrah.
Jika kita semua berpikir bahwa Israel hanya menyerang dan menghancurkan karir jurnalis yang memiliki darah Palestina, anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar. Pada awal Oktober, seorang jurnalis Amerika kehilangan pekerjaannya karena menyebut Israel sebagai “negara apartheid”. Ia bernama Katie Halper, seorang perempuan jurnalis Amerika yang bekerja untuk media The Hill.

Katie Halper (https://www.#/)
Halper kehilangan pekerjaannya setelah ia merilis podcastnya yang berjudul Rising. Di dalam podcast tersebut, Halper menyusun monolog sebagai tanggapan atas serangan yang terjadi terhadap Rashida Tlaib, seorang anggota Kongres AS dari Partai Demokrat yang berdarah Palestina. Sebelumnya, Rashida Tlaib juga telah diserang karena mengatakan bahwa tidak mungkin lagi untuk tetap progresif dan terus menjadi pendukung Israel.
Pernyataan Tlaib kemudian mengundang komentar dari kelompok-kelompok pro-Israel yang mengecam komentar Tlaib sebagai anti-Semit. Halper ingin melawan kritik tersebut dan menyusun konten podcast-nya dengan membedah pernyataan Tlaib, disertai dengan definisi apartheid menurut hukum internasional serta kutipan dari organisasi hak asasi manusia seperti B’Tselem Israel, Human Rights Watch, dan Amnesty International yang mengklaim Israel telah melakukan kejahatan apartheid.
Meskipun Halper telah menyusun monolognya dengan sumber-sumber yang dapat dipertanggungjawabkan, namun The Hill tetap memutuskan untuk memecatnya. Pada awalnya, The Hill hanya melarang Halper untuk membuat komentar yang mendukung Rashida Tlaib, tetapi kemudian Halper juga diberhentikan dari pekerjaannya. Kasus Hammad, Salem, Ghosheh, dan Halper membuka mata kita bahwa Israel tidak hanya menyerang Palestina secara fisik, namun juga membutakan mata dunia dari kebenaran yang sesungguhnya terjadi dengan cara menghancurkan karir para jurnalis Palestina.
Otak di Balik Penyerangan Jurnalis Palestina

Sejak awal tahun hingga September 2022, Komite Dukungan Jurnalis Arab yang berbasis di Beirut mencatat bahwa Israel telah melakukan 513 pelanggaran terhadap jurnalis Palestina. Komite tersebut menambahkan bahwa sebanyak 160 wartawan telah terluka oleh peluru hidup, karet dan spons, bom gas beracun, semprotan merica, dan bom suara, serta 61 kasus penangkapan dan 30 kasus perpanjangan masa hukuman bagi jurnalis yang telah ditahan.
Sepanjang bulan Oktober, Kantor Berita dan Informasi Palestina WAFA menyatakan dalam laporan bulanannya bahwa Israel telah melakukan 32 pelanggaran terhadap jurnalis Palestina pada bulan Oktober saja. Laporan itu menambahkan bahwa 23 wartawan terluka akibat peluru karet, gas air mata, pemukulan, dan serangan lainnya, serta terdapat 3 kasus penangkapan jurnalis pada Oktober. Ini berarti, sejak awal tahun hingga Oktober 2022, Israel diperkirakan telah melakukan 545 pelanggaran terhadap jurnalis Palestina, termasuk 183 kasus serangan dan 64 penangkapan terhadap jurnalis Palestina.
Sebagian dari kita mungkin bertanya-tanya, pihak mana yang menjadi dalang di balik rentetan kasus serangan dan penghancuran karir para jurnalis Palestina. Sebuah artikel yang diterbitkan oleh Mondoweiss telah mengungkapkan bahwa pihak yang bertanggungjawab atas hancurnya karir sejumlah jurnalis Palestina, adalah kelompok Zionis bernama Honest Reporting.
Berbanding terbalik dengan namanya yang berarti “Pelaporan Jujur”, Honest Reporting adalah organisasi pengawas Zionis yang memiliki misi membela rezim apartheid Israel dan mendukung kolonialisasi serta pembersihan etnis terhadap penduduk Palestina. Dalam mencapai misinya, kelompok ini memiliki fungsi yang hampir sama dengan badan intelijen Israel, yaitu “menggali” akun-akun media sosial para jurnalis Palestina dan menggunakan posting media sosial mereka yang “dibumbui” sebagai senjata untuk menyerang karir para jurnalis, tak peduli jika hal tersebut diunggah puluhan tahun yang lalu.
Sebagai badan pendukung Zionis yang aktif, kebanyakan anggota staf tertinggi di Honest Reporting juga telah bertugas di kelompok Zionis dan di organisasi pengawas pro-Israel lainnya, bahkan juga di barisan tentara Israel. CEO Honest Reporting bekerja di kelompok lobi pro-Israel AIPAC; Direktur Eksekutif dan Editorialnya berada di Unit Juru Bicara tentara Israel; dan Spesialis Media Digitalnya bertugas di “komando pusat sebagai tentara tunggal selama intifada kedua”. Tak heran apabila mereka selalu menargetkan jurnalis-jurnalis Palestina yang dianggap “berpengaruh” untuk diserang.

Situs Honest Reporting (https://honestreporting.com/)
Shatha Hammad dan Hosam Salem merupakan jurnalis Palestina yang telah menjadi korban Honest Reporting. Jika diperhatikan, alur penyerangan terhadap dua jurnalis tersebut hampir sama: Honest Reporting mengambil salah satu posting media sosial mereka, kemudian menyerahkannya ke lembaga media tempat mereka bekerja setelah merekayasa dan menyebutnya “anti-semitisme”. Lembaga media besar tempat kedua jurnalis Palestina bekerja tersebut kemudian tidak memiliki pilihan lain selain memecat mereka karena tekanan. Akhirnya, para jurnalis Palestina ditutup jenjang karirnya untuk bisa meliput di lembaga-lembaga media lainnya. Sebuah kampanye kotor untuk membungkam kebenaran apartheid yang telah dilakukan Zionis.
Zionis terus mempertahankan standar ganda dalam berbagai aspek dengan Palestina, termasuk dalam bidang jurnalistik. Ketika jurnalis Palestina membuat kecaman yang berapi-api atas kejahatan di depan mata mereka, atau ketika mereka berusaha menentang ketidakadilan, mereka justru dihina dan dipecat dari pekerjaan mereka. Tak berhenti sampai di sana, para jurnalis Palestina juga dituduh melanggar kesopanan, atau mengkhianati kode etik sebagai jurnalis, padahal yang mereka lakukan hanyalah menyuarakan kebenaran.
Di sisi lain, jurnalis non-Palestina tidak pernah kehilangan pekerjaan mereka karena kurangnya kesopanan ketika mereka menyaksikan kejahatan keji. Ketika ada jurnalis yang menulis sesuatu yang tidak bertanggungjawab puluhan tahun yang lalu, bukti itu tidak akan pernah diungkap Honest Reporting dan dijadikan senjata untuk melawan mereka ketika karir mereka sedang mencapai puncaknya.
Pada akhirnya, kampanye kotor Israel ini tak lain adalah untuk menutup seluruh celah bagi penduduk Palestina untuk menyuarakan kebenaran akan penjajahan Israel di tanah air mereka. Akan tetapi, para jurnalis Palestina adalah perisai tangguh. Mereka selalu menemukan cara untuk “menangkis” serangan, lantas meluncurkan serangan balik yang jitu untuk melumpuhkan lawan. Dan kita, sebagai konsumen media, tinggal memilih apakah akan berada di barisan perisai bersama para jurnalis Palestina, atau justru diam dan membiarkan peluru-peluru Israel terus melubangi perisai-perisai tersebut?
Penulis merupakan Relawan Departemen Penelitian dan Pengembangan Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana jurusan Sastra Arab, FIB UI.
Sumber:
https://www.middleeasteye.net/news/kurt-schork-award-shatha-hammad-honoured
https://www.#/20221003-us-jewish-american-journalist-sacked-for-calling-israel-apartheid-state/
https://www.#/20220820-report-israel-committed-479-violations-against-palestine-journalists-in-2022/
https://safa.ps/post/335318/جلسة-محكمة-للصحفية-لمى-غوشة-لتقديم-لائحة-اتهام-ضدها
https://safa.ps/post/334850/الاحتلال-يعتقل-الصحفية-لمى-غوشة-ويصادر-جهاز-الحاسوب
https://english.wafa.ps/Pages/Details/131662
https://english.wafa.ps/Pages/Details/131019
https://english.wafa.ps/Pages/Details/130829
https://english.wafa.ps/Pages/Details/130513
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di dini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini








