Sejumlah petani zaitun memilih bertahan di tanah mereka di Lebanon selatan meskipun ada deru pesawat dan bahaya yang menghadang mereka, sementara pertempuran dan pengeboman telah menghalangi banyak penduduk untuk kembali ke desa-desa lain di selatan yang telah mengalami kehancuran besar, dan telah ditinggalkan oleh penduduknya karena sudah tidak ada lagi yang bisa dipanen.
Bank Dunia memperkirakan 12% perkebunan zaitun terkena pengeboman di bagian selatan dan timur Lebanon. Oleh karena itu, bank tersebut memperkirakan dalam sebuah laporan yang diterbitkan pada Kamis lalu bahwa “gangguan panen zaitun akibat pengeboman dan pengungsian akan menyebabkan kerugian sebesar $58 juta.”
Di Al-Kfir, salah satu desa di Distrik Hasbaiya, pohon zaitun tersebar di mana-mana, mulai dari kaki Gunung Hermon hingga ke puncaknya yang belum tertutup salju, dan di dekat setiap ladang. Satu atau dua mobil yang terlihat menandakan adanya pekerja atau pemilik tanah yang sedang bekerja memetik zaitun pada musim ini.
Di penghujung hari kerja, seringkali terdengar pesawat-pesawat tempur Israel bermanuver, sementara para pekerja mengangkat kantong-kantong buah zaitun di punggung mereka dan memuatnya ke dalam truk sebagai persiapan untuk disimpan atau digiling dan diubah menjadi minyak.
Meski banyak warga yang memanen hasil panennya dengan tangan mereka sendiri, sebagian lainnya takut untuk datang ke desa tersebut. Hal ini secara tidak langsung berdampak pada pekerjaan lainnya. Salim Kassab (50 tahun), pemilik alat pemeras zaitun tradisional di Al-Kfir berkata sambil berdiri di depan mesin pemeras bahwa ia mewarisi mesin itu dari ayahnya, “Banyak orang tidak datang sendiri untuk memanen buah zaitun tahun ini, tetapi mereka membawa pekerja dari luar desa untuk memetiknya dan juga memeras buah zaitun di luar desa,” keluh Kassab, menunjukkan bahwa ini berdampak negatif pada pekerjaannya.
Kassab, yang datang ke desa sendirian pada musim ini tanpa istri dan anak-anaknya karena takut akan bahaya pengeboman, mengatakan, “Tentu saja ada ketakutan akan perang. Tidak semua orang berani datang ke sini.”
Di dalam bangunan batu tua di salah satu jalan sempit di desa, para pekerja terus-menerus memindahkan buah zaitun dari satu mesin ke mesin lainnya untuk dihaluskan, diperas, dan diubah menjadi minyak.
Seorang pemilik tanaman datang dengan jas hujan biru besar untuk mengumpulkan minyak dan memeriksa kemajuan pekerjaannya.
Sebelum perang, Kassab memperbaiki mesin pemerasnya di wilayah Nabatieh atau Sidon di Lebanon selatan, namun akses ke wilayah tersebut kini menjadi tidak mungkin karena pengeboman. Ia harus mencari alternatif di wilayah lain. Menurut Kassab hal itu menyebabkan diperlukan waktu 3 hingga 4 hari untuk memperbaiki kerusakan apa pun, bukan hanya satu hari.
Di Lebanon selatan dan timur, perang menyebabkan “sebagian besar lahan pertanian dibakar” atau “ditinggalkan,” selain “Hilangnya hasil panen karena perpindahan petani dari selatan”, menurut laporan Bank Dunia
Perang di Lebanon menyebabkan sekitar 900.000 orang mengungsi, menurut angka PBB.
Secara umum, selama agresi yang berlangsung lebih dari setahun terakhir ini, nilai “kerusakan pada sektor pertanian hingga 27 September 2024 berjumlah sekitar $124 juta,” menurut Bank Dunia.
Namun di Al-Kfir, ladang zaitun merupakan sumber mata pencaharian bagi sebagian besar penduduknya. Mereka menggambarkan ladang zaitun sebagai pohon yang “diberkati”.
Pada bulan lalu, Menteri Ekonomi Lebanon Amin Salam mengatakan – dalam sebuah wawancara dengan Al Jazeera – bahwa kerugian yang diderita negaranya akibat agresi Israel tidak terhitung banyaknya. Ia mencatat bahwa serangan Israel tidak terbatas pada Lebanon selatan dan Bekaa, tetapi juga mencakup wilayah lain, termasuk Beirut, Ibu Kota Lebanon.
Sumber: https://www.aljazeera.net
***
Kunjungi situs resmi Adara Relief International
Ikuti media sosial resmi Adara Relief di Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram untuk informasi terkini.
Baca berita harian kemanusiaan, klik di sini
Baca juga artikel terbaru, klik di sini



![Tank dan kendaraan militer Israel terlihat dikerahkan bersama beberapa kendaraan militer, helikopter, dan drone yang berpatroli di sepanjang wilayah perbatasan menyusul penerapan gencatan senjata antara Israel dan Hamas di Gaza dan penarikan pasukan Israel di dalam garis kuning di Sderot, Israel pada 14 Oktober 2025. [Mostafa Alkharouf – Anadolu Agency]](https://adararelief.com/wp-content/uploads/2025/11/AA-20251014-39412414-39412391-GAZAISRAEL_BORDER_REGION_FOLLOWING_THE_CEASEFIRE-1-1-120x86.webp)
![Seorang gadis Palestina yang terusir memegang boneka sambil bermain di luar tenda keluarganya di kamp pengungsian dekat pelabuhan di Kota Gaza, pada 19 Oktober 2025. [Foto oleh Majdi Fathi/NurPhoto via Getty Images]](https://adararelief.com/wp-content/uploads/2025/11/GettyImages-2241666942-1-120x86.webp)
![Warga Palestina, termasuk anak-anak, menunggu dengan panci untuk menerima makanan hangat yang didistribusikan oleh lembaga amal, sementara mereka berjuang melawan kelaparan akibat blokade makanan Israel di kamp pengungsi Nuseirat di Kota Gaza, Gaza pada 21 Oktober 2025. [Moiz Salhi – Anadolu Agency]](https://adararelief.com/wp-content/uploads/2025/11/AA-20251021-39476504-39476501-HOT_MEAL_DISTRIBUTED_TO_PALESTINIANS_STRUGGLING_WITH_HUNGER_IN_GAZA-1-120x86.webp)


