Sejak awal Oktober 2025, sebagian besar perhatian dunia tertuju kepada kesepakatan gencatan senjata yang diberlakukan di Jalur Gaza. Setelah melewati dua tahun genosida, Gaza dan dunia merasa bisa bernafas dengan sedikit lebih lega, tanpa menyadari bahwa Israel sedang menyiapkan rencana “genosida” berikutnya. Ketika banyak mata terpaku pada Gaza, 33 kilometer dari sana, para pemukim dan tentara Israel semakin gencar menyerang penduduk sipil di Tepi Barat.
Gencatan senjata tahun ini disepakati bertepatan dengan momen panen zaitun, membuat gelombang kekerasan yang terjadi di Tepi Barat menjadi semakin intensif. Para pemukim ilegal, seringkali dengan perlindungan dari pasukan Israel, semakin berani menyerbu kebun-kebun zaitun petani Palestina, menghancurkan pohon-pohon zaitun yang siap dipanen, bahkan menyerang para petani dan penduduk sipil. Penyerangan ini bukanlah yang pertama kali terjadi, dan kemungkinan belum akan menjadi yang terakhir, selagi Israel belum mendapatkan sanksi dari dunia internasional atas pembangunan permukiman ilegal dan aneksasinya atas Tepi Barat.
Musim Panen Zaitun, Antara Sukacita dan Air Mata

“Ini bukan sekadar pohon, ini adalah warisan nenek moyang kami; dari mereka kami bertekad untuk melindunginya.” – Mohammed Abu Al-Rabb, petani zaitun di Tepi Barat
Beberapa hari setelah gencatan senjata Gaza disepakati, tepatnya pada 13 Oktober 2025, pemukim-pemukim ilegal Israel mencabut 150 pohon zaitun di Desa Bardala, Lembah Yordan utara, menghancurkan mata pencaharian beberapa keluarga di daerah tersebut. Pada hari yang sama, para pemukim juga menyerang petani Palestina di Beit Fajjar, selatan Betlehem. Saksi mata mengatakan bahwa para pemukim melemparkan batu, membawa anjing untuk menyerang penduduk, juga membakar kendaraan di area tersebut.
Di Palestina, terkhusus di Tepi Barat, musim panen zaitun selalu menjadi momen yang membahagiakan sekaligus mengerikan dalam satu waktu. Bagaimana tidak, musim panen yang seharusnya membawa sukacita, seringkali kandas karena meningkatnya serangan pemukim dan pasukan Israel. Sejak genosida Gaza dimulai pada Oktober 2023, kekerasan pemukim di Tepi Barat juga semakin meningkat. Menurut data dari Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA), pemukim Israel telah menyerang warga Palestina hampir 3.000 kali di Tepi Barat selama dua tahun terakhir.
Jumlah serangan pemukim di Tepi Barat telah meningkat tajam sejak 2016; tercatat 852 serangan pada 2022; 1.291 serangan pada 2023; dan 1.449 serangan pada 2024. Pada delapan bulan pertama tahun 2025, OCHA telah mencatat 1.069 serangan pemukim Israel di Tepi barat, membuat tahun ini menjadi tahun yang paling kejam dan mengerikan dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Meningkatnya serangan pemukim Israel saat musim panen zaitun bukanlah tanpa alasan. Sejak berabad-abad yang lalu, zaitun telah menjadi tanaman yang paling banyak dipanen di Palestina. Middle East Eye menyatakan bahwa saat ini, sekitar setengah dari seluruh lahan pertanian di Palestina digunakan untuk budidaya zaitun. PBB juga menambahkan bahwa sekitar 100.000 keluarga di Tepi Barat sangat bergantung pada pendapatan dari hasil panen zaitun, termasuk sekitar 15 persen perempuan pekerja.
Zaitun adalah tanaman yang batang hingga buahnya memberi manfaat. Sejak berabad-abad lalu, penduduk Palestina terbiasa mengonsumsi buah zaitun dan mengolahnya menjadi berbagai masakan, mengekstrak minyaknya untuk dijadikan sabun, kosmetik, obat-obatan, dan bahan bakar, juga menggunakan batangnya untuk konstruksi.

Zaitun, yang akarnya menghunjam dalam ke bumi Palestina, telah menjadi saksi perjuangan dan ketahanan penduduk Palestina dari masa ke masa. Pada masa kekuasaan Utsmani di Palestina yang berlangsung hingga tahun 1917, zaitun merupakan produk ekspor penting dalam perdagangan pada masa itu. Pusat Perdagangan Palestina melaporkan bahwa pada tahun panen yang baik, ekspor zaitun musiman bisa menyuplai sekitar USD 200 juta ke dalam ekonomi Palestina. Hal tersebut, jelas, sangat tidak disukai oleh Israel.
Sejak lama, zaitun telah menjadi tanaman yang sangat “dimusuhi” oleh Israel. Pada tahun 2020, 40 persen petani zaitun melaporkan bahwa tanaman mereka dicuri atau dirusak oleh pemukim Israel, sejumlah petani juga diserang dan dilecehkan selama musim panen. Pada tahun 2024, OCHA mencatat 200 kekerasan pemukim, meningkat dua kali lipat dari jumlah tahun sebelumnya. Dan pada 2025, sepanjang bulan Agustus saja, militer Israel dilaporkan telah menghancurkan 10.000 pohon zaitun selama pengepungan tiga hari di desa Palestina Al Mughayyir, Tepi Barat.
Sejak 7 Oktober 2023, Israel juga meningkatkan pembatasan perjalanan yang diberlakukan terhadap warga Palestina di Tepi Barat. Israel seringkali hanya memberi warga Palestina beberapa hari untuk bekerja di lahan pertanian meskipun dibutuhkan waktu berminggu-minggu untuk memanen. Akibatnya, sekitar 20 persen tanaman zaitun di Tepi Barat tidak dapat dipanen pada tahun itu karena kurangnya akses. Para petani Palestina diperkirakan kehilangan USD 10 juta, menurut Kantor Komisaris Tinggi untuk Hak Asasi Manusia (OCHCR).
Menurut media Israel Haaretz, Mayor Jenderal Militer Israel, Avi Bluth, mengatakan bahwa pencabutan pohon zaitun bertujuan untuk menghalangi siapa pun yang “mencoba menodongkan tangan” terhadap para pemukim Israel. “Setiap desa harus tahu bahwa jika mereka melakukan serangan, mereka akan membayar harga yang mahal,” katanya. Akan tetapi, meski penduduk Palestina tidak melakukan hal-hal yang merusak ketenangan, Israel tetap mengintervensi musim panen zaitun, sebab tujuan mereka bukan sekadar mencabut pohon, melainkan juga untuk mematikan perekonomian di Palestina dan memaksa penduduk Palestina meninggalkan tanah mereka melalui kekerasan dan intimidasi.
“Permainan Politik” AS Terhadap Rencana Aneksasi Tepi Barat

Pada saat ini, diperkirakan terdapat 700.000 pemukim ilegal Israel yang tinggal di 150 permukiman dan 200 pos terdepan di Tepi Barat. Kedua jenis permukiman tersebut ilegal menurut hukum internasional, namun jumlahnya terus bertambah dari waktu ke waktu, membuat semakin banyak tanah, lahan perkebunan zaitun, dan rumah-rumah penduduk Palestina dirampas oleh pemukim Israel.
Pada 22 Oktober lalu, para anggota parlemen Israel memberikan suara untuk memajukan dua rancangan undang-undang yang menyerukan pencaplokan wilayah Tepi Barat. Dalam pembacaan awal, para anggota parlemen menyetujui pemeriksaan dua rancangan undang-undang yang akan diajukan untuk pembacaan lebih lanjut di Knesset. Usulan pertama berisi rencana pencaplokan Maale Adumim, sebuah permukiman besar Israel yang dihuni sekitar 40.000 orang di sebelah timur Al-Quds (Yerusalem), dan usulan kedua berisi rencana untuk mencaplok seluruh wilayah Tepi Barat.
Pemungutan suara yang dilakukan oleh parlemen Israel tersebut berlangsung bersamaan dengan jadwal kunjungan Wakil Presiden AS, JD Vance, ke wilayah Palestina yang dijajah oleh Israel. Dengan adanya perwakilan AS di sana, kabar mengenai penolakan Presiden AS, Donald Trump, terhadap rencana parlemen Israel tersebut segera menyebar.
Mengenai rencana aneksasi tersebut, Trump mengatakan, “Itu tidak akan terjadi. Itu tidak akan terjadi. Itu tidak akan terjadi karena saya telah berjanji kepada negara-negara Arab. Dan Anda tidak bisa melakukan itu sekarang… Israel akan kehilangan semua dukungannya dari Amerika Serikat jika itu terjadi.” Sejalan dengan pernyataan Trump, JD Vance juga menyebut pemungutan suara tersebut sebagai “aksi politik yang sangat bodoh.” Trump juga mengutus Menteri Luar Negerinya, Marco Rubio, untuk memberikan teguran kepada Israel. Rubio mengatakan, “Itu bukan sesuatu yang bisa kami dukung saat ini.”
Sekilas, pernyataan dari para pejabat AS tersebut tampak seperti dukungan kepada Palestina. Akan tetapi, Joseph Massad, seorang koresponden MEE, menyebutkan bahwa ungkapan-ungkapan tersebut dikeluarkan sekedar untuk menyelamatkan muka AS di mata klien-klien Arabnya. Pernyataan tersebut bukan dukungan yang didasari atas rasa kemanusiaan, melainkan permainan politik AS untuk menjaga citra dan rencana mereka. Ini terlihat dari pernyataan Trump yang menyebutkan tidak bisa melakukan itu “sekarang”. ditambah Rubio yang mempertegas bahwa itu tidak akan didukung oleh AS “saat ini”. Artinya, saat ini memang AS menolak rencana aneksasi tersebut, tapi di waktu lain, tidak ada jaminan bahwa sikap mereka akan terus sama.
Rekam jejak Trump terhadap rencana-rencana aneksasi Israel seolah sudah bisa memprediksi apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang. Pada tahun 2017, Trump mengakui aneksasi Israel atas Al-Quds (Yerusalem) bagian timur dan pada 2019 ia kembali mengakui aneksasi Israel terhadap Dataran Tinggi Golan di Suriah. Massad menyebutkan bahwa AS menunda aneksasi di Tepi Barat saat ini, dengan tujuan agar Israel bisa memperluas wilayahnya melampaui Tepi Barat. Israel memang sangat berambisi untuk membentuk “Israel Raya”, kawasan yang tidak hanya mencakup Palestina, tetapi juga mencakup wilayah Yordania, Suriah, Lebanon, Mesir, dan Irak.
Pernyataan lebih lanjut yang menunjukkan bahwa AS hanya menunggu waktu untuk menyetujui aneksasi Tepi Barat adalah kata-kata Marco Rubio yang menyebutkan, “Saat ini, hal tersebut merupakan sesuatu yang kami anggap mungkin kontraproduktif” dan “berpotensi mengancam kesepakatan damai.” Mengingat ini terjadi di tengah-tengah kesepakatan gencatan senjata Gaza, pernyataan tersebut terdengar masuk akal karena gencatan senjata juga merupakan salah satu “proyek perdamaian” yang ditengahi oleh AS. Akan tetapi, di masa yang akan datang, ketika aneksasi Tepi Barat mereka anggap “produktif” dan tidak mengganggu prospek “perdamaian”, keputusan AS bisa jadi berubah.
Tepi Barat, Kado Berisi Bom Waktu yang Akan Segera Meledak

Sudah sejak lama, seluruh desa dan kota di Palestina seolah menjadi “mainan” bagi Israel dan para sekutunya. Gaza dengan genosida dan gencatan senjata berulangnya, Tepi Barat dengan rangkaian rencana aneksasi dan penghancuran ladang zaitun, serta Al-Quds (Yerusalem) dengan penodaan terhadap situs sucinya. Bagai sedang bermain layang-layang, tarik-ulur yang dilakukan oleh para pejabat internasional sangat menyesakkan. Hari ini mereka seolah bersimpati dan melakukan segala upaya untuk mencapai “perdamaian”, tapi esok hari ketika kepentingan politik mereka sudah berbeda, sikap mereka akan berubah 180 derajat.
Penduduk Palestina sama sekali tidak membutuhkan bom yang dibungkus dengan kertas kado dan pita yang cantik, yang tampilan luarnya indah namun menghancurkan mereka menjadi berkeping-keping. Gambaran yang terjadi di Tepi Barat saat ini kurang lebih seperti itu. Penduduk Palestina sudah merasakan panasnya bom yang akan segera meledak, sedang AS dan sekutunya berusaha “membungkus” bom tersebut agar klien-klien mereka dan dunia melihatnya sebagai “kado yang indah”.
Pada akhirnya, apa yang kita butuhkan saat ini bukan lagi sekadar meningkatkan angka dukungan, tetapi juga meningkatkan edukasi atas apa yang kita dukung. Dengan rencana Israel dan AS yang berlapis-lapis, dibungkus dengan pernyataan-pernyataan yang mereka anggap bisa menyenangkan hati dunia, kita dituntut untuk bisa lebih lihai menentukan keputusan mana yang sungguh-sungguh, dan bagian mana yang hanya “permainan politik”. Terakhir, di tengah gencatan senjata Gaza yang harus kita kawal, jangan lepaskan mata dari Tepi Barat, Al-Quds (Yerusalem), dan wilayah-wilayah Palestina lainnya. Sebab ketika kita lengah, saat itulah “bom di dalam kado” tersebut akan diledakkan.
Salsabila Safitri, S.Hum.
Penulis merupakan Relawan Departemen Penelitian dan Pengembangan Adara Relief International yang mengkaji tentang realita ekonomi, sosial, politik, dan hukum yang terjadi di Palestina, khususnya tentang anak dan perempuan. Ia merupakan lulusan sarjana jurusan Sastra Arab, FIB UI dan saat ini sedang menempuh pendidikan magister di program studi linguistik, FIB UI.
Sumber:
Al Jazeera
Anadolu Agency
CBS News
Middle East Eye







![konvoi truk bermuatan bantuan kemanusiaan melintasi zona penyangga dari Perlintasan Perbatasan Rafah Mesir untuk mencapai Gaza setelah kesepakatan gencatan senjata pada 28 Oktober 2025. [Ahmed Sayed – Anadolu Agency]](https://adararelief.com/wp-content/uploads/2025/11/AA-20251028-39547151-39547147-AID_CONVOY_ENTERS_BUFFER_ZONE_FROM_RAFAH_CROSSING_FOLLOWING_GAZA_CEASEFIRE-75x75.webp)
