Dua tentara Israel yang bertugas sebagai penembak jitu di Gaza mengungkap kesaksian mengerikan tentang perintah menembak warga sipil Palestina, termasuk anak-anak, yang tengah mencari bantuan makanan.
Yoni, seorang prajurit aktif Brigade Nahal, menceritakan kepada Haaretz bagaimana ia terlibat dalam penembakan anak-anak di Beit Lahiya pada Mei lalu. Dalam kepanikan, ia menembakkan ratusan peluru dengan senapan mesin Negev setelah rekannya berteriak “teroris.” Belakangan, ia sadar bahwa korbannya adalah dua anak berusia sekitar delapan hingga sepuluh tahun. Namun, sang komandan dengan dingin menyalahkan anak-anak tersebut karena masuk ke “zona tembak.”
Kesaksian serupa datang dari Beni, penembak jitu lainnya di Brigade Nahal. Ia mengaku diperintahkan untuk menembak warga yang mendekat ke jalur distribusi bantuan di Gaza utara. “Ada garis tak terlihat, jika mereka melewatinya, saya bisa menembak,” katanya. Dalam sehari ia melepaskan 50–60 tembakan, tanpa tahu berapa banyak yang terbunuh. Ia menegaskan bahwa perwira tidak peduli meski anak-anak menjadi korban, sementara dirinya hanya dianggap sebagai alat. Beni kini berusaha keluar dari militer karena tidak lagi mempercayai pemerintah maupun atasannya.
Data PBB mencatat sedikitnya 859 warga Palestina terbunuh saat berusaha mendapatkan bantuan di lokasi distribusi Gaza Humanitarian Foundation (GHF) antara 27 Mei hingga 31 Juli 2025, sebagian besar akibat tembakan pasukan Israel. Selain itu, 514 orang terbunuh di sepanjang jalur konvoi makanan. Human Rights Watch menegaskan situasi ini adalah akibat langsung dari penggunaan kelaparan sebagai senjata perang oleh Israel, sebuah kejahatan perang, serta penolakan bantuan yang disengaja. Ini merupakan tindakan yang masuk kategori kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida. Bagi warga Gaza dan PBB, lokasi distribusi bantuan kini bukan lagi tempat penyelamatan, melainkan “jebakan maut” dan “rumah jagal.”
Sumber:
Qudsnen






